Permasalahan defisit anggaran BPJS Kesehatan seolah tak kunjung selesai.
Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan, defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat mencapai Rp10,5 triliun hingga akhir tahun ini.
Ngeri ya, Gaess. Berikut lima infonya.
1. Ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, defisit terjadi lantaran ketidakseimbangan antara penerimaan yang berasal dari peserta dan pengeluarannya yang terbilang cukup besar. Ia berdalih, bengkaknya pengeluaran disebabkan karena profil morbiditas penduduk Indonesia yang ternyata banyak menderita penyakit kronis.
2. 51,82% untuk penyakit jantung
Berdasarkan data BPJS Kesehatan per September 2018, pengeluaran untuk penanggulangan penyakit katastropik terbilang Rp14,58 triliun, di mana 51,82% untuk menangani penyakit jantung. Apalagi, penangangan penyakit katastropik tidaklah murah.
2. Perdir Jampelkes dibatalkan MA
BPJS Kesehatan telah menerbitkan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdir Jampelkes) yang berisi pembatasan jaminan bagi pelayanan katarak, persalinan caesar, dan rehabilitasi medik. Keputusan ini bukan berarti terjadi secara kilat, namun berdasarkan rapat koordinasi di pemerintahan.
Namun, amar putusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan tiga peraturan Perdir Jampelkes tersebut, sehingga BPJS Kesehatan harus memutar otak lebih. Kenaikan iuran pun menjadi opsi, terlebih pelayanan kesehatan harus mumpuni di tengah peserta yang kian membludak.
Sementara itu, pemanfaatan BPJS Kesehatan tahun lalu mencapai 223,4 juta pemanfaatan, atau 612 ribu pemanfaatan per hari. Jumlah ini menggembung ketimbang 2014 silam yakni 92,3 juta pemanfaatan.
Maslah klasik lainnya adalah belum ada mekanisme pengenaan sanksi tegas bagi peserta yang tidak bisa membayar iuran secara tekun. Padahal, sanksi sudah diberlakukan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013.
BACA JUGA:
Jangan sampai kamu alami seperti warga Lembursitu Kota Sukabumi nih, Gaess
5 info untuk warga Sukabumi, BPJS cabut tiga layanan kesehatan
Tagihan BPJS RS Bunut Rp20 M per bulan, ini 5 fakta warga Sukabumi mesti tahu
4. Iuran BPJS Kesehatan
Sebagai catatan, penyesuaian iuran BPJS Kesehatan terakhir kali dilakukan pada 2016 silam melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Melalui beleid itu, iuran peserta kelas I per bulan berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, dan kelas III disesuaikan dari Rp25.500 ke Rp30 ribu.
Setidaknya ada tiga kategori peserta BPJS Kesehatan yang bisa menjadi prioritas kenaikan iuran. Kelompok pertama adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang selama ini mengambil klaim lebih banyak, tetapi ternyata iuran yang disumbang sangatlah minim.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, PBPU hanya mengiur Rp6,51 triliun antara Januari hingga September 2018. Sementara itu, klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan untuk kelompok ini mencapai Rp20,34 triliun. Sehingga, di kelompok ini saja, sudah terjadi defisit Rp13,83 triliun.
Kelompok berikutnya yang perlu menerima penyesuaian iuran adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta mandiri khususnya kelas II dan III. Sebab, iuran yang saat ini dibayar oleh peserta tidak sesuai dengan hitungan aktuarianya.
Sesuai hitungan aktuaria, menurutnya PBI seharusnya mengiur Rp36 ribu per bulan alih-alih sebesar Rp23 ribu seperti saat ini. Sementara itu, peserta mandiri kelas II dan III seharusnya masing-masing mengiur Rp63 ribu dan Rp53 ribu.
Kemudian, iuran kelas III dinaikkan sebesar Rp1.500, dan kelas II naik Rp3 ribu per bulan. Dengan hitungan ini, ia yakin penerimaan iuran bisa mengimbangi bantuan yang diguyur pemerintah demi menanggulangi defisit BPJS Kesehatan.
5. Harus memerhatikan daya beli masyarakat
Nah, Gaess, opsi terakhirnya setiap golongan peserta tetap harus mengalami penyesuaian iuran tanpa terkecuali. Hanya saja, kenaikan iuran tetap harus memperhatikan daya beli masyarakat agar tingkat kepatuhan peserta BPJS Kesehatan dalam membayar iuran bisa tinggi. Tentu saja, kenaikan itu juga harus sesuai dengan hitungan aktuaria.
Hanya saja, daya beli masyarakat tentu tertekan jika iuran disesuaikan dengan hitungan aktuaria. Berdasarkan simulasi yang dilakukan BPJS Watch, iuran PBI seharusnya dinaikkan sebesar Rp4 ribu. Ini saja diprediksi bisa meringankan defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp9,8 triliun.
Selain itu, kenaikan iuran juga harus diimbangi dengan pelayanan yang membaik. Selain itu, tingkat kepatuhan pembayaran iuran pun menurutnya juga harus ditegakkan. Sebab, banyak kasus di mana peserta jarang membayar iuran namun mengklaim jaminan kesehatan paling banyak. (dari berbagai sumber)