“Sekarang saja air permukaan sudah terganggu, apalagi kalau perusahaan juga melakukan pengeboran air bawah tanah.”
Gaess, tahukah kamu, wilayah Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi masuk dalam kategori zona merah rawan bencana di Jawa Barat. Tiga titik di antaranya Desa Cijurey, Ciengang, dan Sukamanah. Penyebab ditetapkannya sebagai zona merah, lantaran wilayah tersebut rawan bencana longsor dan kondisi kuntur tanah yang labil dan dikelilingi tebing.
Nah, Gaess, sejak beberapa bulan lalu, aktivitas cut and fill untuk pembangunan kandang ayam yang dilakukan PT Male Karya Prima (MKP) di Bukit Bongas, Kecamatan Gegerbitung, menuai sorotan karena perusahaan belum mengantongi IMB. Ngerinya lagi, Gaess, aktivitas PT MKP tersebut membawa dampak terhadap lingkungan. Lokasi pembangunan berjarak lima kilometer dari hulu wotan, mata air anak sungai Cimandiri.
Bupati Sukabumi Marwan Hamami, menyayangkan aktivitas pembangunan kandang ayam yang dilakukan PT MKP tersebut. Kepada wartawan Marwan Hamami mengungkapkan pemerintah di wilayah seharusnya dari awal dan terdepan mengawasi aktivitas tersebut.
Hutan memang terlanjur dibabat seluas delapan hektar, tetapi ironisnya, setelah dicek oleh pihak DPRD Kabupaten Sukabumi ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), ternyata perusahaan belum mengantongi izin. Karenanya DPRD meminta Satpol PP untuk turun ke lokasi memberikan tindakan.
Tak hanya itu, Gengs, ternyata Camat Gegerbitung, Endang Suherman menyebut, pihaknya telah dua kali mengirimkan surat penghentian aktivitas perusahaan tersebut. Saat ini, pihak kecamatan sedang mendata petani yang mengalami gagal panen, berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pertanian dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Nah, bagaimana sih sikap warga setempat sebenarnya, kok bisa sampai berlarut-larut seperti itu ya, Gaess? sukabumiXYZ mewawancarai Aris Setiawan, seorang tokoh pemuda Gegerbitung. Kepada redaksi, pemuda kelahiran 31 Agustus 1986 yang sehari hari sebagai perawat disalah satu klinik kesehatan dan aktivis LSM Almagribi yang bergerak di bidang kesehatan ini menceritakan duduk persoalan sebenarnya. Berikut petikannya.
Bisa ceritakan bagaimana sebenarnya awal penguasaan lahan oleh perusahaan?
Dari dulu memang warga sedikit banyak sudah dirugikan, seperti pembayaran tanah yang dicicil. Warga bahkantidak tahu harga per arenya berapa. Hal ini karena ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.
Pada awalnya warga percaya lahan tersebut untuk penanaman kopi dan aren. Warga Kampung Bongas percaya saja, karen sejak dulu memang kampung tersebut dikenal sebagai sentra industri gula bongas.
Bagaimana sikap masyarakat terkait penggundulan hutan sumber air yang terganggu?
Jelas warga dirugikan. Selain itu, langkah yang dilakukan adalah menuntut supaya lahan yang sudah digunduli agar dipulihkan kembali, karena selain mengakibatkan kekeringan dan gagal panen, dikhawatirkan bencana longsor mengancam. Namun, usul agar kembali dilakukan penghijauan, kemungkinan disetujuinya kecil, soalnya tanah tersebut sudah sertifikat hak milik perusahaan, dan proses perizinan sudah ditempuh pihak perusahaan dari 2015, dengan tanah yang dimohonkan 20 hektare.
Kalau unjuk rasa kita belum ya, tapi kalau bentuk penolakan warga terhadap aksi korporasi tersebut dari awal sudah, bahkan sudah pernah membuat surat penolakan yang ditandatangani oleh warga. Tetapi anehnya surat tersebut tidak jelas nasibnya. Entah ke mana dan malah yang beredar adalah surat persetujuan dari warga.
Suarat penolakan warga waktu itu dibawa kang Yayan sebagai Ketua Forum Komunikasi Gegerbitung Bersatu (FKGB). Forum tersebut dibentuk oleh warga sebagai bentuk penolakan terhadap kegiatan perusahaan. Jadi sampai sekarang warga tidak mengetahui surat tersebut di mana.
Editor’s Pick:
Ketiadaan museum bukan alasan Sari Oneng tak bisa kembali ke Sukabumi
Kenali kuy cara kerja alat deteksi longsor karya guru honorer di Cicurug Sukabumi
Owner Bakso Mewek Sukabumi: Dari gagal kuliah, hingga jadi pemurung beruntung
Bupati Sukabumi Marwan Hamami tidak tahu aksi korporasi tersebut, dan seharusnya pemerintah di wilayah yang melakukan tindakan, bagaimana menurut akang?
Saya rasa tidak mungkin ya. Pasti tahu tapi pura pura tidak tau seolah-olah ini masalah berdiri sendiri. Jadi kalau Bupati Sukabumi mengaku tidak menerima laporan dari kades atau Camat Gegerbitung dengan adanya aksi korporasi tersebut, silakan terjemahkan sendiri. Hahaha.
Sekarang memasuki musim kemarau panjang, dan petani setempat terancam mengalami kekeringan lahan pertanian. apa yangg dilakukan?
Bukan terancam lagi, tetapi sudah terjadi kekeringan dan sumur warga menjadi keruh. Kami khawatir, terlebih jika musim kemarau berkepanjang. Silakan bayangkan, jika sudah beroperasi, perusahaan ini pasti juga akan melakukan pengeboran sumur juga pastinya. Sekarang saja air permukaan sudah terganggu, apalagi kalau perusahaan juga melakukan pengeboran air bawah tanah.
Selain itu, kamu juga khawatir akan terjadi longsor jika musim hujan tiba. Pasrah we da mau apalagi, karena seharusnya semua pihak berpikir dan bertindak untuk menyelesaikan segera semua masalah ini jangan sampai masyarakat dirugikan lebih banyak lagi.
Langkah apa berikutnya yang dilakukan Almagribi dan warga Gegerbitung?
Begini ya, Kecamatan Gegerbitung ini kan berseberangan dengan Kecamatan Campaka, Kabupaten Cicanjur. Kecamatan kami hanya dipisahkan aliran Sungai Cimandiri saja. Karenanya, yang terdampak tentunya bukan hanya warga kami. Untuk itu, kami juga sudah berkoordinasi dengan tokoh-tokoh pemuda di Campaka.
Bisa dibayangkan, dua desa terdekat saja, Sukamanah dan Gegerbitung saat ini sudah terdampak kekeringan dan petani mengalami gagal panen. Semakin ke depan, dampaknya akan semakin luas, siapa yang bertanggungjawab? Sedangkan, jika perusahaan beroperasi, paling hanya menampung 500 sampai seribu karyawan. Sementara warga Gegerbitung saja, itu 40 puluh ribu lebih.