Punk adalah ideologi. Menilai Punk hanya dari penampilan adalah salah kaprah yang paling mendasar.
Gaess, banyak warga Sukabumi yang menilai Punk hanyalah sekumpulan gembel jalanan yang meresahkan, atau genre musik yang lahir pada awal 1970-an. Namun, Punk sesungguhnya bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Tetapi di Sukabumi, kerap kali hanya karena ada anak jalanan berpenampilan a la Punk suka memalak atau meminta-minta di angkot, lalu dicap sebagai anak Punk. Ingat ya, Gaess, yang suka memalak itu gembel tukang palak dan kriminal!!!
Nah, biar tidak salah kaprah, berikut lima penjelasan sederhana tentang Punk dan Skinhead.
1. Gerakan perlawanan anak-anak kelas pekerja
Skinhead adalah subkultur yang lahir di London, Inggris pada 1960-an, sedangkan Punk pada awal 1970-an. Pada awalnya, kelompok Punk selalu dikacaukan oleh kelompok Skinhead. Namun, sejak 1980-an, saat Punk populer di Amerika Serikat (AS), Punk dan Skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama, persamaan kelas sosial dan antikemapanan.
2. Beda Punk dan Skinhead
PUNK:
Kelahiran Punk diinisiasi anak-anak kelas pekerja London, dan dengan mudah merambah AS yang saat itu tengah mengalami krisis ekonomi dan keuangan akibat kemerosotan moral para elite politik sehingga memicu pengangguran dan kriminalitas.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan keyakinan we can do it ourselves. Cara pandang Punk terhadap kondisi tertentu dapat dilihat melalui lirik-lirik lagu yang bercerita tentang politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial, hingga masalah agama.
Banyak yang menyalahartikan Punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra Punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal, tetapi itu hanyalah bersifat kasuitis.
SKINHEAD:
Sedangkan Skinhead adalah sub-budaya yang juga lahir di London, pada akhir 1960-an dan sekarang sudah menyebar ke seluruh belahan dunia. Skinhead merujuk kepada para pengikut budaya ini yang rambutnya dipangkas botak alias plontos. Sebelum era Skinhead, ada sekelompok remaja yang dipanggil Mods yang menjadi cikal bakal Skinheads.
Meskipun Skinhead banyak diasosiasikan dengan kelompok rasis dan Neo-Nazi, namun sebenarnya tidak demikian. Cap rasis itu didapat mereka setelah terlibat pertikaian dengan imigran Pakistan dan Asia Selatan di Inggris pada 1960-an. Tindak kekerasan (yang tidak bisa dibenarkan) tersebut dipicu masalah pekerjaan. Para Skinhead yang merupakan kaum pekerja merasa lahan pekerjaan mereka semakin sempit karena terdesak oleh imigran bargaji murah.
Label rasis juga kian melekat setelah beberapa Skinhead tergabung dan dihubungkan dalam White Power, National Front pada awal ’70-an. Militansi dan karakter Skinhead yang keras khas kaum pekerja sempat membuat mereka dijadikan alat kepentingan politik, termasuk dihubungkan dengan Neo Nazi. Meskipun faktanya berbeda.
3. Mengapa Punk suka berpenampilan seperti gembel dan Skinhead botak?
PUNK:
Punk memang lebih terkenal dari hal fesyen yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut Mohawk (simbol perlawanan terhadap penindasan) mirip suku Indian di AS, atau dipotong a la feathercut dan diberi warna-warna terang. Mereka juga melengkapi diri dengan sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh.
Pada saat terjadi krisis ekonomi di Inggris dan AS, banyak politisi dan pejabat tampil perlente dengan uang hasil korupsi. Nah, Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui penampilan dengan busana belel (tetapi hasil kerja keras sendiri), melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
SKINHEAD:
https://www.instagram.com/p/BqyjiAbAF4p/
Berbeda dengan Skinhead, ketika Mods sedang mengharubiru kaum muda Inggris yang didominasi kalangan menengah ke atas kemudian mewabah dan menyentuh setiap kalangan, termasuk pekerja atau working class. Para Skinhead meskipun harus bekerja keras, sebagian malah buruh kasar pelabuhan, namun mereka memiliki cita rasa tinggi dalam hal life style. Mereka berusaha mengadaptasi perkembangan gaya hidup dengan kemampuan dompet.
Pada sekira tahun 1965, dalam dunia Mods dikenal pula istilah Smooth Mods (Peacock Mods) yang terdiri dari kalangan menengah stylish dengan pilihan kostum mahal serta Hard Mods (lemonheads, gang mods) yang terdiri dari kaum pekerja dan merupakan cikal bakal dari Skinhead.
Hard Mods kemudian baru dikenal sebagai kaum Skinhead sekitar tahun 1968. Generasi pelopor Skinhead tersebut biasanya disebut Trads (Traditional Skinheads) atau Trojan Skinheads, sesuai dengan nama label Trojan Records. Kaum Trads ini mudah dikenali dari setelan seperti shirt Button-Up Ben Sherman, Polo Fred Perry, Bretel/Suspender, celana jeans semi ketat, monkey boots, jaket jeans, jaket Harrington, V neck Sweater, dan lainnya.
Serta yang terpenting adalah potongan rambut Skinhead adalah botak plontos. Pilihan model rambut plontos lebih disebabkan alasan kepraktisan. Ada pula yang berpendapat bahwa itu merupakan counter terhadap life style kaum hippie yang dianggap mewah dan juga sedang berkembang saat itu.
4. Punk, Skinhead, dan selera musik
PUNK:
https://www.instagram.com/p/BmEFCJEBYrv/
Punk dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu Punk mirip para pendahulu gerakan seni avantgarde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup.
Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).
Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi Punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati, tetapi lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia.
Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, sikap represi aparat, pemerintah, dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya Punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.
Yang jelas, spirit musik Punk sendiri anti kapitalis, anti sikap otoriter, otonom dan tidak terikat, membuatnya tidak mencari solusi di dalam sistem yang ada. Tapi, Punkers membuat sistem mereka sendiri.
SKINHEAD:
Karena Skinhead pada dasarnya adalah subkultur, bukan sebuah genre musik, maka selera musiknya pun lebih beragam dibanding Punk. Skinhead juga bisa merujuk kepada kepada kelompok remaja yang merupakan fans musik Oi!, Street Punk dan juga punk.
Para Trads pun pada awalnya sangat terpengaruh musik R&B a la Inggris seperti The Who, The Kinks, dan lain sebagainya. Namun, mereka juga terinspirasi style a la Jamaican Rude Boy yang populer di Inggris pada saat itu. Rude Boy atau Rudy merupakan sebutan untuk imigran Jamaika berkulit hitam pencinta dansa dan musik asal mereka.
Hasilnya, para Trads pun sangat menggemari musik Ska, Reggae, Rocksteady, Soul, oi, dan lain sebagainya. Sehingga kadang-kadang seorang Skinhead pun ikut menikmati alunan dari seorang penyanyi soul seperti Aretha Franklin misalnya.
Sama dengan nasib Mods leluhurnya, pamor Skinhead sempat meredup di era ’70-an, setelah sebelumnya mencapai puncak popularitas mereka pada tahun 1969. Mereka kemudian bangkit kembali, bersamaan dengan kelahiran musik punk pada sekira tahun 1977-an.
4. Punk dan anarkisme
Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi untuk melawan kediktatoran legal konstitusional.
Negara menetapkan pemberlakuan hukum sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Kaum Punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it your self/lakukan sendiri).
Keterlibatan kaum Punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena Punk memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan Punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-Punk.
5. Gaya hidup dan ideologi
Psikolog asal Rusia, Pavel Semenov, mengatakan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni).
Gaya hidup ialah relatif tidak ada seorangpun memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata “ideas” dan “logos” yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai tempat, waktu, dan situasi.
Maka Punk mulai mengembangkan proyek “jor-joran” yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan mereka. Dengan kata lain Punk berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.
Berbekal etika DIY, beberapa komunitas punk di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.
CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga terjangkau.
Sehingga di dalam kerangka filosofi Punk, distro bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan brand-brand luar negeri.
Summary:
Kapan Punk Masuk Indonesia? Budaya Punk mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sekitar awal tahun 1990. Namun, benih-benih kehadiran Punk di Indonesia sudah terbentuk sejak 1980-an, bisa disaksikan pada film Menggapai Matahari (Rhoma Irama). Dalam film itu Punk digambarkan sebagai kelompok yang berperilaku deviatif, ketika Rhoma Irama manggung, terdapat figuran sekumpulan anak Punk yang menghancurkan tempat pertunjukkan sebagai perusuh. Entah siapa yang memberi ide buruk itu kepada Bang Haji untuk melakukan itu. Tapi ya sudahlah.
Nah, milenial Sukabumi, setelah membaca penjelasan sederhana di atas, ada lima poin salah kaprah mendasar, yakni:
Salah kaprah pertama: Ciri utama Punk yang paling mudah dikenali dari sisi penampilan memang model rambut a la Mohawk. Sedangkan Skinhead berkepala plontos alias botak. Hanya saja, ya itu tadi, biar gak salah kaprah menilai maka penting memahami bahwa tidak semua yang berambut a la Mohawk itu Punk dan setiap berkepala botak pasti Skinhead.
Seseorang bisa saja memilih model rambut Mohawk hanya untuk kepentingan sesaat, misalnya seorang vokalis band untuk menarik perhatian dengan kekhasan tertentu.
Salah kaprah kedua: Beberapa waktu lalu sebuah media online memberitakan seorang gadis “mantan Punk” telah hijrah, awalnya wajah bertatto sekarang berhijab. Penulisan istilah “mantan Punk” dan “hijrah” ini bagi penulis merupakan salah kaprah paling elementer yang dilakukan wartawan. Tidak ada kewajiban seorang Punk harus bertatto atau mengenakan tindik, dan tidak ada larangan seorang Punk mengenakan jilbab. Seorang Punk atau SKinhead bisa sekaligus menjadi Muslimah yang baik.
Berdasarkan pemaparan poin 1-5 di atas, jelas Punk lebih bersipat ideologis yang memperjuangkan kesetaraan dan kesederajatan kelas sosial, anti korupsi, anti kesewenang-wenangan, anti pemaksaan kehendak, dan lain sebagainya. Bahkan, anak Punk menjadi benteng terakhir perjuang membela keadilan, seperti Bali Tolak Reklamasi, penolakan Bandara Yogyakarta, penolakan pendirian pabrik semen Rembang hingga, dan lainnya.
Hal menarik terjadi di Gedung DPR, Jakarta, dalam acara Peringatan 20 Tahun Reformasi. Pihak penyelenggara mengundang band Punk Marjinal dan frontman dari band Superman Is Dead: Jerinx, mereka berdua lantang mengkritik pemerintah karena kebijakan yang merugikan rakyat. Di depan para pejabat negara, mulai dari Ketua DPR, MPR, hingga menteri kabinet kerja, mereka membawakan lagu Buruh Tani, Darah Juang, Hukum Rimba, Jadilah Legenda dan Bali Tolak Reklamasi.
Artinya, milenial Sukabumi bisa menyimpulkan bahwa seseorang bisa menjadi Punk atau Skinhead, juga sekaligus menjadi seorang Muslim atau Muslimat yang baik. Seseorang bisa menjadi Punk atau Skinhead, sekaligus menjadi warga negara yang baik.
Salah kaprah ketiga: Terkait style, tidak ada keharusan seorang Punk wajib bertatto model rambut Mohawk dan lain sebagainya, ataupun Skinhead harus berkepala plontos. Tidak! Termasuk juga tidak ada kewajiban harus berbusana layaknya (yang biasa disebut warga Sukabumi sebagai) gembel.
Bahkan, penganut kultur Punk di Indonesia mulai mengadopsi substansi Punk yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya ideologi, etika DIY, pandangan politis, dan lain sebagainya. Salah satunya adalah gaya hidup positif straigh edge yang menolak konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan terlarang, dan perilaku seks bebas.
Salah kaprah keempat: Beberapa kali terjadi kasus kriminal dilakukan sekelompok gembel di Sukabumi yang berpenampilan a la Punk. Lantas media dan masyarakat serta merta mencap sebagai Punk. Bagi penulis ini merupakan konspirasi sempurna yang harus dilawan dengan cerdas dan berkelas.
Kriminal tetaplah kriminal yang tidak bisa ditolelir, dan siapapun bisa melakukannya tanpa harus melekatkan perilaku kriminal dengan identitas seseorang.
Jika milenial Sukabumi mau kembali ke atas (poin 5. Gaya hidup dan ideologi), maka bisa disimpulkan bahwa anak-anak yang berjiwa Punk sejatinya memiliki keinginan untuk mandiri secara ekonomi dan memiliki jiwa entrepreneur dan seni (musik) yang bisa dikembangkan ke arah positif.
Salah kaprah kelima: Punk minoritas?
Faktanya ABC Australia menemukan fakta jika kelompok Punk bawah tanah di Indonesia sebagai yang terbesar di dunia. Hasil investigasi menunjukkan jika para Punkers tetap eksis meskipun banyak upaya memberantas kelompok ini untuk dimasukkan ke dalam program re-edukasi.
Kini, dengan stabilitas politik yang kian “baik”, pemerintah dan para tukang politik yang makin rajin menebar janji manis untuk lepas dari sejarah politik yang korup, apakah Punk masih relevan di Indonesia?
Saya jawab, “Ya, masih!” (dari berbagai sumber)
Penulis adalah seorang Skinhead