Buron selama 22 tahun, Eddy Sampak ditangkap di usia 67 tahun.
Gaess, jika Amrik punya penjahat-penjahat legendaris yang terkenal seperti Billy the Kid, Jesse James, Bonnie dan Clyde, dan lainnya, Indonesia juga tak kalah. Dengan tidak bermaksud membenarkan kejahatan mereka, Indonesia juga punya penjahat-penjahat legendaris seperti Kusni Kasdut, Mat Peci, Slamet Gundul, Jhonny Indo, Eddy Sampak, dan lain-lain.
Nama-nama di atas dikenal sebagai perampok kelas kakap yang melegenda. Kisah hidup mereka pun sebagian menjadi inspirasi film. Nama terakhir, Eddy Sampak, melakukan kejahatannya di Sukabumi dan Cianjur. Kemudian dia lari dari penjara dan selama 22 hidup buron mengelabui aparat hukum.
Penasaran Gaess? Ini dia lima fakta tentang Eddy Sampak yang mungkin kalian belum tahu, Gaess!
BACA JUGA: Mobil listrik keren Indonesia, nomor 5 karya urang Jampang Sukabumi Gaess
1. Ditangkap setelah buron 22 tahun
Proses penangkapan Eddy Sampak berjalan cukup mulus. Jauh dari kesan hiruk-pikuk lazimnya mencokok penjahat berbahaya. Tanpa todongan pistol, apalagi rentetan tembakan. Malah bentakan tak terdengar. Mungkin karena targetnya sudah sepuh. Mula-mula aparat hukum mengetuk pintu rumah target di kawasan Jayanti, Tangerang, Banten. Berpura-pura menjadi tamu, petugas menyapa, ”Saya dari Garut,” sambil menyalami tuan rumah, seorang lelaki tua.
Sesaat sang tuan rumah termangu keheranan, aparat pun langsung memborgolnya dengan cekatan. ”Bapak ikut kami,” katanya. Tak lupa si tamu juga berpamitan pada nyonya rumah. Mereka kemudian meluncur pergi. Lelaki gaek itu pasrah. Mulanya ia mengira diculik dan akan dibunuh. Setibanya mobil di Pemasyarakatan Militer (Masmil) Cimahi, Jawa Barat, barulah ia ngeh telah dicokok aparat dari polisi militer. Berakhir sudah pelariannya yang sudah berjalan selama 22 tahun.
BACA JUGA: Si Jampang urang Sukabumi bukan orang Betawi, ini 5 faktanya
2. Perampok dan pembunuh berdarah dingin dari Cianjur
Pria tua yang ditangkap oleh aparat polisi militer itu tak lain dari Eddy Maulana Sampak, perampok dan pembunuh berdarah dingin dari Cianjur, Jawa Barat. Ia adalah terpidana mati yang kabur dari Inrehab Cimahi (sekarang Masmil) pada tahun 1984. Eddy baru tertangkap di tahun 2003, saat ia berusia 67 tahun. Sampai kini, Eddy meringkuk di penjara Nusa Kambangan dan usianya sudah sepuh, 82 tahun.
Peristiwa perampokan dan pembunuhan yang dilakukan Eddy sendiri terjadi pada 20 Agustus 1979. Akibat kejahatan Eddy, empat orang tewas di tempat dan satu meninggal di rumah sakit. Empat lainnya luka-luka, termasuk Enung Sumpena yang tertembak dua pelor di bahu kanannya dan kemudian menjadi saksi kunci kejahatan Eddy.
Korban tewas adalah Sersan Mayor Sutardjat, Daeng Rusyana, Djudjun, Sugandi, dan seorang lelaki yang tak diketahui namanya. Mereka diberondong peluru. ”Tanpa ngomong, Eddy langsung nembak,” tutur Enung Sumpena.
BACA JUGA: Dulu menakutkan kini jadi label kaos gaul, 5 fakta teluh Jampang Sukabumi
3. Kisah kejahatan Eddy dari Sukabumi sampai Cianjur
Pada hari naas itu, Senin 20 Agustus 1979, 4 hari menjelang lebaran, Sersan Sutardjat seorang juru bayar Kodim 0608 Cianjur, bertugas mengambil gaji pegawai di Bank Karya Pembangunan, Sukabumi. Sersan Sitardjat ditemani Enung Sumpena dan dua pegawai sipil, Daeng Rusyana dan Djudjun.
Uang gaji itu kemudian dibawa ke Kodim Sukabumi untuk dibagi-bagi ke dalam amplop. Saat itu, muncul Sersan Mayor (Serma) Eddy Sampak. Eddy meminta gajinya diberikan duluan, ia beralasan untuk beli bensin. Karena tak mau melanggar prosedur tapi tidak enak dengan Eddy, Sutardjat meminjamkan uang alakadar miliknya.
Siangnya, rombongan Sutardjat pulang ke Cianjur menumpang minibus Colt bernomor polisi D-5791-G, yang dikemudikan Iding dengan kenek Sugandi. Eddy bersama temannya bernama Odjeng ikut menumpang. Mereka duduk di bangku belakang. Masuk Cianjur, di daerah Gekbrong, Eddy minta sopir belok ke perkebunan teh. Eddy pura-pura hendak mengambil kambing. Sopir manut saja, penumpang lain juga tak keberatan.
Melewati kampung kecil nan senyap, Eddy minta sopir menepikan kendaraan. Saat itulah Eddy mengeluarkan senjata Carl Gustaf dari tas jinjingnya. Lalu rentetan tembakan terdengar membahana. Eddy mengaku melakukannya sambil memejamkan mata. Ia kemudian membakar minibus berisi penumpang yang terluka tembak. Eddy dan Odjeng kabur menggondol duit gaji pegawai Rp 21,3 juta.
Enung Sumpena, yang melarikan diri terhuyung-huyung, ditolong dua pemuda dusun yang membawanya kepada kepala desa setempat. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit di Sukabumi. Nyawanya terselamatkan. Enunglah yang melapor perihal ulah Eddy Sampak.
BACA JUGA: Tionghoa Sukabumi penerjemah Bung Karno, 5 hal mengenal Szetu Mei Sen
4. Perburuan besar-besaran Eddy Sampak
Eddy Sampak dan Odjeng pun diburu secara besar-besaran oleh aparat polisi militer dan Polri karena Eddy dianggap sangat berbahaya. Sepekan berselang, 28 Agustus 1979, Eddy ditangkap di Desa Cigintung, Sumedang. Saat ditangkap, kaki dan pantat Eddy nampak ada luka borok akibat baku tembak dengan petugas keamanan beberapa hari sebelumnya. Sementara itu, Odjeng tertangkap lebih dulu pada 24 Agustus di Desa Nagrak, Cianjur.
Dari pemeriksaan petugas terungkap, Eddy memang berencana membunuh Sutardjat. Bahkan Eddy mengaku terus terang hendak pula menghabisi Komandan Kodim Cianjur Letnan Kolonel Kahya dan Bupati Cianjur Adjat Sudradjat. Rupanya Eddy menyimpan dendam akibat kegagalannya menjadi Kepala Desa Nagrak padahal ia telah menghabiskan Rp 3 juta hasil jual sawah dan utang kiri-kanan.
Itulah alasannya kenapa ia merampok. Eddy merasa komandannya menghalangi langkahnya menjadi kepala desa. Apalagi, sang komandan menawarkan posisi kepala desa yang kosong kepada Sutardjat yang ia bunuh. Kendati Sutardjat menolak tawaran itu, tetap saja Eddy mendendam.
Pengadilan militer Priangan-Bogor lalu mengganjar Eddy hukuman mati pada 13 Juni 1981. Mahkamah Agung (MA) telah menguatkan putusan ini. Eddy pernah mengajukan grasi tapi ditolak. Akhirnya, pada 24 Desember 1984 Eddy nekat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Inrehab Cimahi.
BACA JUGA: Gen Y Sukabumi, ini 5 info kyai pejuang asal Jampang Prawatasari
5. Menghabiskan masa tua di Nusa Kambangan
Kini, Eddy Sampak alias Abah Eddy, begitu ia dipanggil oleh sesama napi, menghabiskan masa tuanya di penjara Nusa Kambangan. Usianya sudah 82 tahun dan tidak jelas apakah ia akan dieksekusi mati atau tidak. Abah Eddy kini lebih banyak beribadah dan mendekatkan diri pada tuhan. Walaupun usianya sudah tua, namun ia nampak sehat secara fisik dan mental. Ini dia rekaman video Abah Eddy pada April 2016 yang kalian bisa temukan di Youtube.
Saat burnon, rupanya Abah Eddy tak pernah menetap lama di satu tempat. Menurut penuturannya, dari Cimahi ia langsung ke Serang, Banten. Eddy kemudian mengantongi KTP dengan nama Shiddiq. Dia kemudian berkeliling ke sejumlah kota, seperti Palembang, Lampung, Jambi, dan Bengkulu.
Eddy juga menggeluti banyak profesi, dari mulai pedagang hingga menjadi ustad. Lelaki yang aslinya dari Banten ini rajin mengirim wesel pos kepada istri ketiganya, Saeti, yang tinggal di rumah sederhana di Jayanti, Tangerang. Merasa aman, Eddy kemudian menetap di Jayanti. Warga sekitar pun tahu siapa dia. Kepada warga, Eddy bilang kasusnya sudah selesai dan warga percaya.
Eddy lalu membuat kesalahan fatal. Beberapa kenalannya mengajak menerbitkan koran dan tabloid dan Eddy setuju. Celakanya, ia nekat memakai kembali nama aslinya kendati agak diubah susunannya menjadi Maulana Eddy Sampak.
Nama ini tercantum dalam masthead di tabloid berita Alternatif dan koran Surya Pos Banten. Di dua media cetak itu, Eddy masing-masing menjadi pembina dan penasihat. Nampaknya nama terang itulah yang tercium petugas keamanan. Eddy akhirnya tertangkap.
Itulah dia sekelumit kisah tentang penjahat legendaris Eddy Sampak. Sekali lagi, dengan tidak bermaksud membenarkan kejahatan yang sudah ia sesali dan jalani hukumannya ya, Gaess! (dari berbagai sumber)