Belajar kedalaman makna sabar dari Hamid.
Mungkin karena keterbatasan yang dimilikinya yang menjadikan Hamid (41) bukan penghafal AlQuran yang baik. Hanya surat-surat pendek yang biasa ia gunakan ketika sholat lima waktu. Bahkan berdoa pun dengan bahasa Sunda sehari-hari.
Beruntung bisa mengenal seorang penderita cacat netra warga Cikaracak RT 42/08, Desa Pulosari, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi. Persisnya, Hamid bertetangga dengan perusahaan internasional Star Energy, sebuah perusahaan yang kini mengelola geothermal Gunung Salak.
Karena paling tidak saya belajar tiga hal darinya. Pertama, belajar hidup sederhana sekaligus belajar kedalaman makna kata ‘sabar’, kedua, arti cinta dan menyintai dalam segala keterbatasan yang ada, dan ketiga, saya juga menemukan hakikat syariat Islam dari seorang buta dan bertahun-tahun hidup dalam kubang kemiskinan.
Kita bisa belajar banyak hal dari Hamid dengan lima fakta kehidupannya, Gaess.
1. Hamid dan kemiskinannya
Hamid tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik bambu. Jangan berpikir peralatan elektronik mewah, bahkan ruang tengah rumahnya saja menyatu dengan dapur. Jika hari sudah malam, hawa dingin begitu terasa ketika angin malam berhembus menerobos lobang-lobang besar di ruang tengah.
2. Nama yang sederhana
Namanya Hamid saja, sederhana bukan? Tanpa nama belakang seperti lazimnya sebuah nama, terlebih lagi gelar bangsawan atau akademis. Menurut Mudin (paman), Parman adalah nama Hamid sewaktu kecil. Namun setelah mengalami kebutaan sejak usia tiga tahun, akibat penyakit panas yang dideritanya, barulah dipanggil Hamid.
Baik Mudin maupun Hamid sendiri mengaku tidak tahu alasan pastinya kenapa nama Parman berubah menjadi Hamid.
BACA JUGA:
Jumlah warga miskin Kabupaten Sukabumi mengkhawatirkan, ini 5 infonya
Miris ada lima ketimpangan di Kabupaten Sukabumi, ini 5 infonya Gaess
Ngeri Gaess, Sukabumi daerah dengan kasus stunting tertinggi kedua di Jawa Barat
3. Nama anakpun sederhana
20 tahun lalu, Hamid mempersunting Acih, wanita asal Pasir Menir, Tugu Bandung, Kecamatan Kabandungan. Dari pasangan ini, lahir seorang anak perempuan bernama Rina, tanpa nama belakang, -saya tertawa mendengarnya, ngasal banget ngasih nama anak-. Tapi mungkin, itu cara Hamid mengajarkan kesederhanaan pertama kali kepada Rina.
Namun Acih sudah meninggal dunia enam lalu akibat maag kronis yang dideritanya, sedangkan Rina kini sudah menikah.
Rina hanya lulus sekolah dasar, ia memilih tidak melanjutkan sekolah. Alasan Rina sederhana, ia tidak mau membebani Hamid yang sudah kepayahan, bahkan untuk makan sehari-hari sekalipun.
Waktu belum menikah, Rina lebih memilih menghabiskan hari-harinya untuk menemani sang ayah.
4. Menumbuk batu Rp8 ribu per hari
Sehari-hari Hamid hanya menumbuk batu yang ia peroleh dari sungai Cikaracak, tidak jauh dari rumahnya. Itupun ia harus mengumpulkannya terlebih dahulu di tepian sungai, kemudian dipikulnya ke pinggir jalan agar mudah untuk menjualnya. Batu-batu itu lantas ditumbuk menjadi kepingan kecil-kecil (koral).
“Unggal dinten kitu we, bari ngantosan anu meser…” ujar Hamid datar. “Henteu tangtos, kadang sapuluh dinten, kenging sa–touring. Diical dalapa puluh rebu. Upami nuju sae mah tiasa tujuh puluh rebu. Alhamdulillah, aya wae rezeki mah,” sambung Hamid.
Masya Allah… Ternyata bisa ya, hidup hanya dengan Rp8.000 per hari? Tapi Hamid tidak pernah mengeluh sekalipun kepada saudara-saudaranya.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya Hamid selalu siap sedia diminta bantuan oleh tetangganya seperti belanja ke warung atau lainnya.
5. Menolak mengemis
Hamid memang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Bahkan pendidikan informal sekalipun. Wajar saja jika bacaan niat sholat dan doa-doa yang ia panjatkan seusai sholat pun menggunakan bahasa Sunda sehari-hari. Bahkan AlQuran pun ia hanya hafal surah-surah pendek yang biasa ia gunakan sebagai bacaan sholat.
Kenapa tidak mengemis saja seperti para penyandang cacat yang lain? Hamid menjawab: “Alim ah, isin… Entos we sakieu oge alhamdulillah… Sok aya anu ngajak eta oge. Tapi abdi mah bororaah maling, jigana teh nyapir oge asa teu pantes. da masih dipasihan akal sareng awak anu sehat, bari teu tiasa ninggali oge.”
Nah, Gengs, dari Hamid ini kita bisa belajar kesederhanaan dan kedalamaman makna kata ‘sabar’, cinta tulus, hingga syariat Islam. Bahwa semelarat apapun -apalagi kalau pejabat- bukan alasan merampas hak orang lain. Kalau karena alasan kemiskinan dimaklum untuk mencuri, pasti Rasulullah sudah terlebih dulu mengajarkannya, karena Rasulullah SAW pun bukan seorang kaya harta.