Sri Jayabhupati adalah saudara ipar Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan (sekarang Jawa Timur).
Gaess, kebanyakan kita mengenal raja Sunda hanyalah Prabu Siliwangi. Padahal ada lho figur raja Sunda hebat lainnya yang justru sangat dekat hubungannya dengan Sukabumi. Namanya Maharaja Sri Jayabuphati dan dia membuat Prasasti Sanghyang Tapak yang berlokasi di Cibadak, Sukabumi. Itulah mengapa prasasti itu juga disebut Prasasti Jayabuphati.
Sang Jayabhupati adalah raja dari Kerajaan Sunda, seperti disebut dalam prasasti dengan istilah Prahajyan Sunda, yang ditulis dalam sebuah prasasti yang ditemukan di tepi sungai Cicatih-Cibadak. Sang Maharaja membuat Tepek (juga dibaca Tapak), yaitu wilayah larangan dengan segala ancaman sanksi jika dilanggar. Larangan ditulis menggunakan huruf Kawi dengan gaya bahasanya mirip dengan corak Jawa Timur-an.
Rupanya sang Maharaja juga punya hubungan kekerabatan dengan Raja Airlangga yang terkenal dari Jawa Timur. Itulah mengapa sang Raja juga bergelar panjang mirip gelar di lingkungan istana Dharmawangsa. Bukti sejarah ini awalnya menimbulkan dugaan awal bahwa Jayabhupati “orang asing,” atau bukan orang Sunda.
Namun temuan dari beberapa sumber justru membuka fakta yang lebih menarik mengenai profil sang Maharaja. Mau tahu lengkap profil sang Raja, Gaes? Berikut lima fakta menarik tentang Prabu Sri Jayabhupati.
1. Silsilah keluarga sang Maharaja
Dalam naskah Carita Parahiyangan, tersebutlah seorang raja bernama Prabu Detya Maharaja yang berkuasa di Tanah Sunda selama 12 tahun dan di Galuh selama 7 tahun. Dalam naskah yang sama, Prabu Detya Maharaja juga disebut sebagai Raja Sunda yang ke-20 dengan nama lain Maharaja Sri Jayabuphati.
Sang Maharaja berkuasa di Kerajaan Sunda sejak 1030 -1042 masehi, menggantikan ayahnya Prabu Sanghyang Ageung (1019-1030 m). Ibu sang Maharaja adalah putri asal Kerajaan Sriwijaya (kini sekitar Palembang) dan masih kerabat dekat Kerajaan Wurawuri dari Lwaram (Ngloram, tepi Bengawan Solo).
Kerajaan Sunda sendiri merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa melalui pelantikan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 M). Dari Tarusbawa, raja Sunda pertama, kemudian terjadi pergantian sekitar 19 raja dalam kurun waktu sekitar 330 tahun hingga naiknya Sri Jayabuphati.
Pada masa Sanjaya (723-732) yang menikahi putri Tarusbawa, keberadaan Kerajaan Sunda tumpang-tindih dengan Kerajaan Galuh karena Sanjaya memerintah di Sunda dan Galuh sekaligus. Bahkan Sanjaya mewarisi tiga kerajaan, dari pihak ayah, ia mewarisi Galuh, dari pihak ibu ia mewarisi Medang i Bhumi Mataram (Kalingga), dari pihak istri ia mewarisi Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, pada masa Tamperan (732-739), Kerajaan Sunda dibagi dua menjadi Sunda dan Galuh kepada dua anaknya, Sang Manarah dan Sang Banga. Keturunan dari kedua anak ini pada faktanya secara cair saling menggantikan di antara kedua kerajaan. Kakek dari Sri Jayabuphati sendiri adalah Dewa Sanghyang yang bergelar Sang Mokteng Patapan karena dikebumikan di Patapan. Ia berkuasa atas Kerajaan Sunda dan Galuh karena Prabu Linggasakti Jayawiguna (adik iparnya yang menjabat sebagai raja Galuh) wafat, karena inilah gelar Dewa Sanghyang adalah Maharaja.
Setelah itu ayah Jayabhupati, Prabu Sanghyang Ageung juga memerintah sekaligus Sunda dan Galuh dengan ibukota di Saung Galah.
Lalu, muncul pertikaian antara kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Medang di Jawa Timur akibat serangan Medang tahun 990 M. Sebagai akibatnya, Dewa Sanghyang melakukan politik pernikahan dengan menikahkan Prabu Sanghyang Ageung dengan puteri dari Kerajaan Sriwijaya.
Dari pernikahannya itu lahirlah Sri Jayabhupati yang mulai bertahta sejak tahun 1030 M, sepeninggal sang ayah. Gelar Maharaja juga dipakai karena dia menguasai kerajaan Sunda sekaligus kerajaan Galuh.
2. Kehidupan sang Maharaja memimpin Kerajaan Sunda
Sejak kecil Sri Jayabhupati dikenal sangat religius. Dari gelarnya Wisnumurti dapat diketahui bahwa ia beragama Hindu aliran Waisnawa. Dalam kepercayaan orang Sunda, kekuasaan merupakan kebenaran sejati yang sifatnya transenden, sehingga spiritualitas merupakan hal penting dalam mengokohkan kekuasaan.
Selain itu, Sri Jayabhupati juga merupakan raja yang sudah matang dipersiapkan. Saat sang kakek Prabu Dewa Sanghiyang masih jumeneng (berkuasa), Jayabhupati sudah diangkat menjadi Senapati Muda sebelum kemudian menjabat Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sunda. Kemudian di masa ayahnya Prabu Sanghiyang Ageung berkuasa, Jayabhupati dipercaya menjadi Mangkubumi (sekelas Patih/Perdana Mentri) dan merangkap sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
Itulah mengapa Jayabhupati menjadi Maharaja yang cakap memimpin. Tak mengherankan jika konon di masa kekuasaan Sri Jayabhupati wilayah Kerajaan Sunda sudah mencakup juga Jawa Barat, Banten dan Provinsi Lampung saat ini. Kehidupan masyarakat juga cukup makmur karena keberhasilan Jayabhupati mengelola perdagangan. Sebagai bukti sahihnya, Raja Balaputradewa dari Kerajaan Sriwijaya berkeinginan menjalin hubungan kerja sama dengan sang Maharaja.
Kebijakan lain yang dibuat Jayabhupati adalah memindahkan ibukota dari Pakuan (Bogor) ke Wahanten Girang (Serang), menurut sumber keterangan dari Lampung. Masyarakat Lampung juga dikabarkan dengan sukarela bergabung dengan Kerajaan Sunda karena kemakmurannya.
Suatu ketika, ketika Balaputradewa wafat, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran, di sekitar perairan Selat Sunda yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan muncul banyak kekacauan dan perompakan. Maharaja Sri Jayabhupati kemudian meminta rakyat Sunda untuk membentengi jalur laut Selat Sunda. Upaya ini dibantu pula oleh masyarakat Lampung sehigga kondisi kembali aman. Karena keberanian dan keberhasilan, dalam mengusir perompak tersebut, Sri Jayabhupati kemudian dianugerahi gelar Jaya Mahen.
Keberhasilan sang Maharaja dalam mengelola alam juga dibuktikan dengan membuat Tepek (wilayah larangan) di sungai Cicatih (Cibadak) yang melarang mengambil ikan di wilayah yang disebut Kabuyutan Sanghyang Tapak. Batas dua batu besar hingga kini masih ada di Sungai Cicatih dekat Leuwi Kalabang.
Prasasti ini menunjukan bahwa sudah ada peradaban besar di Sukabumi pada masa itu. Karena selain tulisan, keterangan tanggal yang disebutkan spesifik menjadi acuan dalam penanggalan Sunda. Penanggalan yang dilandaskan atas isi prasasti, yaitu “Swasti Cakawarsatita 952 Kartikamasa tithi dwadaci cuklapa, ksaha ka ra…” dan seterusnya kemudian diperingati di awal tahun sebagai Pabaru Sunda.
BACA JUGA:
Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 1)
Tuan Paroseng: Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 2)
Menyikapi bijak sumpah berusia ribuan tahun Sri Jayabhupati di Cibadak Sukabumi
3. Politik pernikahan dan keturunan Jayabhupati
Sebagai upaya mengokohkan kerajaan dan meredam konflik, sang ayah menikahkan Sri Jayabhupati dengan putri Kerajaan Sriwijaya. Secara keseluruhan Jayabuphati tercatat memiliki tiga orang istri, yaitu Dewi Wulansari (puteri dari Sri Dharmawangsa Teguh/Kahuripan-Jawa Timur), Dewi Suddhiswari (puteri dari Kerajaan Sriwijaya), dan Bhatari Prethiwi atau Batari Pertiwi (puteri dari Kerajaan Galuh).
Untuk kian memperkokoh persatuan dengan kerajaan-kerajaan tetangga, Sri Jayabuphati juga menikahkan adik-adiknya dengan raja-raja tetangga. Adik perempuan Jayabhupati diperisteri oleh Raja Wurawari dari Lwaram (sekarang Ngloram di sekitar Blora-Cepu Jawa Tengah). Ironisnya, Raja Wurawari adalah musuh dari Sri Dharmawangsa (mertua Jayabhupati) dan Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.
Dari pernikahannya dengan Dewi Wulansari, Sri Jayabhupati dikaruniai empat orang anak, yaitu Prabu Darmaraja (menjadi Raja Sunda sepeninggal Sri Jayabhupati), Panglima Suryanagara (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sunda), Dewi Nirmala (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Bali), dan Dewi Sugara (dinikahi seorang menteri dari Kerajaan Kahuripan).
Dari istri kedua Dewi Suddhiswari, Jayabhupati memiliki beberapa orang anak, 2 di antaranya adalah Wirakusuma (menjadi Menteri Maritim Kerajaan Sunda), Wikramajaya (menjadi Panglima Angkatan Laut).
Terakhir dari Bhatari Prethiwi, Jayabhupati dikaruniai beberapa orang anak, 4 di antaranya Batara Hyang Purnawijaya (resiguru di daerah Galuh), Dewi Purnawangi, Dewi Surabhi, dan Surendra (menjadi pembesar di Kerajaan Galuh).
4. Dilema Kerajaan Sunda di masa sang Maharaja
Sebelum Sri Jayabhupati menjabat sebagai raja, terjadi pertikaian Kerajaan Sunda dengan kerajaan-kerajaan tetangga, terutama degan Sriwijaya di Sumatera dan Kerajaan Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari atau pun Majapahit di timur pulau Jawa. Pertikaian itu disebabkan persaingan untuk menguasai perairan Nusantara.
Posisi Sunda yang cukup sulit ini digambarkan dalam Pustaka Nusantara I/S (h. 103 dan 104) sebagai berikut: “Lawan mangkana Sunda i Bhumi Jawa Kul-wan nityagah dumadi wyawahara pantara ning rajaraja C/riwijaya, Jawa, Cina, Cola mwang akweh manih rajya lenya. I sedeng raja haneng Bhumi Jawa Kul-wan yatiku rajya Sunda lawan rajya Ghaluh tan ahyun ri sewaka ring sira kabeh, tan angga dumadi mandalika nira” {Dengan demikian Sunda di Bumi Jawa Barat selalu menjadi rebutan di antara raja-raja Sriwijaya, Jawa, Cina, Cola serta negara-negara lain; sedangkan raja di bumi Jawa Barat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh tidak mau tunduk kepada mereka semuanya, tidak ingin menjadi raja bawahan mereka).
Saat Sri Jayabupati masih sebagai Putera Mahkota, permusuhan dengan Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya dan juga mertuanya (Dharmawangsa) semakin tajam. Munculah kekacauan akibat desas desus mengenai Raja Wurawuri yang berniat menyerang Dharmawangsa untuk membalas dendam atas serangan Dharmawangsa di masa lalu. Namun Kerajaan Sunda dituntut untuk bersikap netral sehingga Sri Jayabhupati tak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan permusuhan.
Pecahlah peristiwa penyerangan terhadap Dharmawangsa yang terjadi saat pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa di Watan, iibukota Kerajaan Medang (Maospati, Magetan-Jawa Timur sekarang). Ketika pesta digelar, pasukan Wurawuri dengan koalisinya dari Sriwijaya mengobrak-abrik pesta dan membunuh Dharmawangsa. Menurut De Casparis peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Calcutta dengan istilah Pralaya yang terjadi pada tahun 926 saka atau 1016 m.
Peristiwa itu menimbulkan dilema dan kegalauan bagi Sri Jayabhupati, apapun yang dilakukan akan serba salah karena kedua pihak adalah keluarga. Kondisi ini juga dilukiskan dalam Pustaka Nusantara sebagai berikut: ‘Mangkana ta hana pakadangan pantara raja Criwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Tguh mwang raja Bali. Dadyeka yudha nira kawalya rumebut yacawiryya mwang ahyun pinuja’. (Ada pertalian kekerabatan antara raja Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Dharmawangsa Teguh dan raja Bali. Jadi, peperangan di antara mereka itulah hanyalah memperebutkan kemashuran dan ingin dipuja)
5. Pengaruh Jawa Timur
Corak Jawa Timur yang ditampilkan oleh prasasti Jayabhupati di Cibadak dari segi huruf, bahasa dan gelar, pada awalnya dpersepsikan secara negatif terutama oleh peneliti awal naskah Sunda, di antaranya Cornelis Marinus (C.M.) Pleyte, Louis-Charles Damais, dan Johannes Gijsbertus (J.G.) de Casparis bahwa wilayah ini merupakan taklukan Kerajaan Jawa atau setidaknya sang Raja adalah dari Jawa Timur yang lari ke tanah Sunda dan menjadi raja.
Sementara peneliti kenamaan lain, Nicholaas Johannes (N.J.) Krom berpendirian lebih moderat bahwa gaya tersebut hanya mencontoh budaya Jawa Timur-an yang mungkin saat itu sedang kuat berkembang.
Jika ditelaah memang pengaruh Jawa Timur sangat kuat. Sebagai contoh, sumpah Sri Jayabhupati yang tertera pada prasasti yang ditemukan di Pangcalikan, isinya menyeru agar semua kekuatan gaib di dunia dan di surga untuk menghukum para pelanggar dengan secara mengerikan.
Isi prasasti penuh dengan manggala (doa) dan supata (kutukan) yang ditutup dengan kalimat: “I wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu para hyang semua). Cara-cara ini bukanlah tradisi raja-raja Sunda yang sebagai masyarakat bertradisi berladang, tetapi kebiasaan penganut Tantrayana, kepercayaan yang banyak dianut raja-raja Jawa Timur.
Kemudian dalam keempat prasasti ini tertulis jelas istilah “raja Sunda” sebanyak 6 kali dengan rincian 3 kali dalam kata “Prahajyan Sunda” dan 3 kali dalam kata “Paduka Haji i Sunda”. Penulisan “raja Sunda” sebanyak itu bukanlah kelaziman raja Sunda tetapi kebiasaan di luar Sunda seperti Portugis dan Majapahit.
Dalam perkembangannya, dugaan Sri Jayabhupati “orang asing”/bukan orang Sunda, terbantahkan dari keterangan Naskah Wangsakerta yang menyebutkan bahwa antara Jayabhupati dan Airlangga memang ada ikatan kekeluargaan melalui ikatan perkawinan. Salah satu faktanya adalah gelar panjang yang dimiliki Sri jayabhupati, yaitu Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Harogowardhana Wikaramottunggadewa merupakan hadiah pernikahan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh yang juga mertua Raja Airlangga.
Hadiah gelar semacam itu diterima juga oleh Prabu Airlangga dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Maka, Airlangga dan Sri Jayabhupati sama-sama menantu Dharmawangsa Teguh. Jadi, Sri Jayabhupati merupakan saudara ipar Raja Airlangga.
Itulah salah satu logika sejarah mengapa pengaruh Jawa Timur kental dalam tetilas peninggalan Maharaja Sri Jayabhupati. (*)
Sangat bagus… Penjelasan nya simple, sederhana dan jelas mudah dimengerti bahasanya…
Tolong di share lagi sejarah sukabumi dari mulai kerajaan… jaman penjajahan ( keresidenan)… Sampai sekarang…
Terimakasih