Mundt dan Kerkhoven pun mengkampanyekan “Visit Parakansalak and Sinagar”.
Sari Oneng Parakansalak adalah kelompok gamelan dari Sukabumi yang mendunia. Pada masanya, tim gamelan ini sudah melanglang buana ke Amerika Serikat, Perancis, dan Belanda. Bahkan, para pemain gamelan ini tak cuma bermain musik, tetapi juga membawa misi memperkenalkan komoditas dan budaya Nusantara yang saat itu disebut Hindia Belanda.
Bahkan, di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, gamelan sudah menjadi instrumen yang dipelajari.
Berikut adalah lima fakta menarik Sari Oneng yang layak untuk diulas kembali khusus buat gen XYZ Sukabumi.
[1] Berawal dari gamelan perkebunan dan pariwisata lokal
Pada mulanya Albert Walfare Holle membeli dan membuat seperangkat gamelan untuk menghibur para pekerja perkebunan. Holle sendiri sangat lihai memainkan salah satu alat musik tersebut, rebab. Sari Oneng rutin berlatih di sela-sela melepas penat selepas mengurus perkebunan.
Pada masa itu, perkebunan adalah tempat terpencil yang jauh dari hingar bingar hiburan, sementara pekerjaan mereka cukup berat dengan libur satu hari dalam satu minggu. Para pemilik perkebunan teh awal di Sukabumi yakni di Parakansalak dan Sinagar, untuk membuat hiburan berupa gamelan dan tari-tarian untuk menghibur masyarakat.
Seorang jurnalis Eropa bernama Eliza Ruhamah Scidmore sempat menceritakan hiburan untuk para pekerja Parakansalak dan Sinagar ini yang dilakukan setiap malam Minggu dengan pemainnya dari kalangan para pekerja perkebunan teh itu sendiri.
Selain itu, Mundt dan Kerkhoven pun mengkampanyekan “Visit Parakansalak and Sinagar”, atau semacam tur wisata ke dua daerah tersebut yang sudah dikenal para pelancong Eropa pada masa itu. Para wsatawan yang berkunjung pun disuguhi sajian tur perkebunan dengan berkuda, dan hiburan pentas gamelan Sari Oneng dan Wayang Golek.
Kemudian dibentuklah “Syndicat Jawa Chicago” yang beranggotakan dua orang administratur perkebunan teh, yaitu Eduard Julius Kerkhoven dari Sinagar yang terletak di kaki Gunung Gede, dan Gustaf Mundt dari Parakansalak. Sindikat ini membiayai pengangkutan gamelan serta penduduk kampung Sinagar dan Parakansalak dengan hasil pertanian termasuk teh yang disajikan secara gratis.
Kolaborasi tersebut saat itu sangat berhasil sebagai ajang promosi perkebunan sekaligus promosi Hindia Belanda di Eropa. Selain itu, Sari Oneng Parakansalak menjadi pagelaran wajib saat diadakan pesta administratur perkebunan. Misalnya saat bulan perayaan Pernikahan Perak keluarga Mundt yang diadakan selama sepekan mulai 15 Juni 1896, Sari Oneng menjadi sajian utama selain hiburan lainnya yang terdiri dari musik Eropa, kembang api, balon udara, memancing di danau, permainan rakyat, pesta dansa dan seabreg kegiatan perayaan lainnya.
Perayaan dilakukan di alun-alun perkebunan dan dibeberapa ruang fungsional dan juga landhuis Parakansalak (Gedung Patamon). Pesta megah dihadiri para pemilik perkebunan seperti EJ Kerkhoven dari Sinagar, Mr. Kist asisten residen Priangan, Bupati Cianjur dan lain lain.
[2] Didesain khas dan tampil saat peresmial jalur KA Bogo-Sukabumi
Gamelan Sari Oneg ini konon di buat di Sumedang pada 1825, kemudian dipesan oleh Adriaan Walfaare Holle, administratur Parakansalak pada 1856. Dia juga memesan ukiran kayu rancak berbahan kayu besi didominasi warna biru dan hijau dengan kepala harimau di Saron dan naga pada gantungan gong khusus dari Thailand.
Konon Sari Oneng ini tidak cuma satu, tetapi ada juga Sari Oneng lain yang distel secara khusus. Mundt, bahkan memesan Gamelan yang dapat memainkan nada-nada diatonik untuk keperluan tertentu.
Saat peresmian Jalur kereta api (KA) Buitenzorg-Soekaboemi (Bogor-Sukabumi) pada Maret 1882, Sari Oneng Parakansalak menyambut para tamu undangan, tuan tanah, dan pejabat yang pertama kali menaiki KA dan berhenti di Stasiun Parungkuda.
[3] Gamelan Sari Oneng pentas di Benua Biru dan salah satu alat distel dengan Laras Pelog
Gamelan Sari Oneng mulai melanglang buana ke mancanegara yang dimulai pada 1883, saat Gustaf CFW Mundt, pengganti A.W. Holle sebagai administrator Parakansalak membawa rombongan gamelan tersebut dalam pameran di Kota Amsterdam, Belanda.
Uniknya, panitia pameran meminta kepada Mundt untuk meminjamkan gamelan yang distel sedemikian rupa sehingga memungkinkan dapat memainkan lagu-lagu lagam diatonik berdasarkan tujuh nada. Mundt kemudian mengkonstruksikan gamelan Sunda yang berlaras pelog dengan ukiran yang lebih bergaya Eropa ketimbang bergaya Sunda.
Setelah tampil di Belanda, selanjutnya, Sari Oneng mengikuti pameran di Kota Paris, Perancis, selama enam bulan pada 1889.
Kembali ke Hindia Belanda, gamelan diatonik Tuan Mundt dari Parakansalak itu empat memainkan lagu kebangsaan Belanda “Het Wilhelmus,” saat menjamu Gubernur Jendral Cornelis Pjnaker Hordijk yang datang ke Sukabumi pada Agustus 1889. Gamelan berlaras pelog tersebut kini disimpan di Museum Negara Leiden, Belanda.
Gamelan ini dimungkinkan sedikit berbeda dengan yang dibawa ke Paris, mengingat pameran di Paris berlangsung hingga November 1889. Pameran internasional lain juga sempat diikuti yaitu The World’s Columbia Exposition International di Chicago, Amerika Serikat, pada 1893. Pemimpinnya adalah seorang pekerja sekaligus pemain rebab bernama Suminta Mein. Anak perempuan Suminta, Iyi Endah, istri dari Boreel yang menjabat Administratur di Parakansalak.
Dilakukan perekaman gamelan saat mereka tampil memainkan musik yang merupakan rekaman gamelan tertua di dunia.
[4] Gamelan berada di Sumedang
Selepas melanglang buana mengikuti pelbagai kegiatan di luar negeri, Sari Oneng kembali ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Gamelan Sari Oneng tetap digunakan dalam berbagai acara priayi dan pembesar Belanda terutama yang bersifat seremonial.
Hingga pecah Perang Dunia II, dan Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, Gamelan tersebut disembunyikan oleh Bupati Sukabumi Soeria Daoeningrat. Hal ini sangat beralasan karena Jepang terus mencari keberadaan bahan-bahan yang terbuat dari logam untuk dilebur menjadi senjata atau alat perang lainnya.
Atas jasanya itu, Administratur Parakan Salak, MOA Huguenin menghibahkan gamelan Sari Oneng kepada mantan bupati tersebut pada 1957. Setelah Soeria Danoeningrat wafat pada 1975, oleh ahli waris Soeria Danoeningrat, Sari Oneng dititipkan di Museum Geusan Ulun Sumedang.
Sedangkan sebuah gong yang tertinggal di Belanda yaitu goong indung atau goong ageung (gong besar) Sari Oneng yang memiliki garis tengah 92 cm dengan berat 30 kg, masih disimpan di Tropen Museum. Namun, pada April 1989, goong tersebut dikembalikan ke Indonesia karena kerap berbunyi sendiri sehingga membuat takut pengelola dan pengunjung museum.
Hingga saat ini plakat Kepemilikan dan Penyerahan Gamelan Sari Oneng Parakansalak kepada ahli waris R.A.A Soeria Danoeningrat masih tertera alam keterangan di museum. Secara jelas ada keterangan bawa gamelan tersebut dititipkan (bukan diserahkan) kepada Museum Prabu Geusan Ulun, Kabupaten Sumedang untuk dirawat.
Hingga saat ini gamelan tersebut masih sah milik keluarga R.A.A Soeria Danoeningrat, dan bukan milik Pemda Sumedang. Akan ada kebanggaan tersendiri jika gamelan tersebut bisa berada di Sukabumi agar menjadi ikon musik Sukabumi yang pernah ada dan mendunia ya, Gaess.
[5] Upaya mengembalikan fisik dan kejayaannya
Banyak pihak berkeinginan mengembalikan gamelan tersebut sekaligus kejayaannya yang harum di masa lalu. Saat di mana gamelan Sari Oneng menjadi alat dalam membangun kebanggaan dan citra Sukabumi karena gamelan tersebut sudah bersentuhan langsung dengan bangsa Eropa sejak 150 tahun silam.
Komunitas Soekaboemi Heritages misalnya, mempertanyakan keberadaan goong yang dikembalkan tersebut.
Ada masukan penting untuk mengembalikan seperangkat gamelan bersejarah ini kembali ke Sukabumi, namun hingga saat ini menurut keluarga Soeria Danoeningrat masih terkendala dengan ketiadaan museum yang layak di Sukabumi yang kelak akan merawatnya.