*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 14): Konspirasi Sang Penguasa
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
“Hei, A. Kenapa kau melakukan semua ini?” Seorang pria tua dengan janggut panjang menepuk pundak Anonymous. “Aku yakin ada sesuatu dengan gadis bermata hijau itu, kan?” Pria tua itu terkekeh.
“Bukan urusanmu,” Anonymous menjawab singkat. Matanya menatap layar ponselnya seolah tak berkedip.
“Dia benar-benar mencarimu, kau tahu?” kata pria tua sambil mengelus jenggotnya.
“Aku tahu. Dia tidak jauh berbeda dengan Brigith. Terlalu mencampuri urusan orang lain.” Anonymous mematikan ponselnya, lalu menaruhnya di atas meja.
“Itu salahmu. Kenapa kau membereskan Brigith di depan umum. Terlebih, kau meloloskan putrinya itu.” Pria tua itu berjalan ke arah meja kayu yang penuh dengan minuman, membuka sebuah botol, lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah sloki.
“Aku tidak meloloskannya. Lagipula, aku tidak tahu jika dia akan berubah menjadi singa yang kelaparan. Aku yakin kau juga berpikir begitu, Dren. Terlebih dengan si James Lyn yang culun itu. Aku heran kenapa Brigith menikah dengan pria biasa seperti dia.” Anonymous mendengus.
“Aku dengar dia akan kembali ke New York.” Pria tua bernama Dren itu berdecak seraya memandang Anonymous dengan tajam.
“Iya, tapi aku yakin dia tidak akan menemukanku,” ucap Anonymous tersenyum dingin.
“Kenapa kau begitu yakin?” Dren menenggak minumannya.
“Karena sebelum dia maju lebih jauh, aku akan memutuskan semua rantai yang terhubung padaku,” tandas Anonymous mengusap dagunya.
“Apa maksudmu?” Dren terlihat bingung.
“Lihat saja nanti, Dren. Aku sudah mempersiapkan penyambutan untuknya. Dimulai dengan sambutan dari Harem, para preman jalanan yang haus akan uang. Mereka sudah kubayar untuk membuat sedikit keributan di Fifth Avenue. Kita lihat, sehebat apa putri dari Black Widow dalam mengahadapi para preman receh itu,” Anonymous terkekeh pelan.
Dren kembali menuang minuman kedalam selokinya, lalu menghabiskannya dalam satu tegukan. “Terserah kau, A. Jangan sampai semua langkahmu menyusahkan bos besar.” Dren tersenyum geli.
Anonymous mengangguk seraya mengambil ponselnya lagi. Terlihat sebuah pesan masuk, mata Anonymous berbinar. “Akhirnya kau datang, Grace.”
***
“Jadi, kau tinggal di sini?” Alice menatap keluar jendela mobil dengan penuh antusias.
“Iya, di sini lah aku tinggal dan hidup sehari-hari,” jawab Grace dengan santai.
“Aku tidak menyangka kau orang kaya.” Brian tersenyum kagum seraya melihat rumah-rumah yang berjejer sepanjang Fifth Avenue.
“Kau beruntung,” ucap Kevin yang duduk di kursi depan. “Kau hidup dengan keluarga yang berkecukupan. Tidak seperti keluargaku.” Ada nada sedih dalam ucapan Kevin. Baboon yang duduk di kursi kemudi menepuk pundaknya pelan. Alice dan Brian turut menunduk sedih.
“Kami berasal dari keluarga biasa. Seandainya kejadian sepuluh tahun lalu tidak terjadi…” mata Alice berkaca-kaca.
“Kita sudah sampai,” ucap Grace tiba-tiba. Baboon mengurangi kecepatan.
“Ini bukan rumahmu,” Baboon melihat ke arah Grace melalui kaca spion depan.
“Tidak, rumah dengan gerbang tinggi berwarna hitam itu adalah rumahku. Di sinilah kita akan tinggal.” Semua mata memandang rumah yang Grace maksud. Mulut mereka menganga.
Rumah itu memiliki gerbang besar dan halaman yang luas. Tanaman merambat yang menutupi tembok pagar membuatnya tampak klasik, dan pohon yang berderet rapi seolah menyambut kedatangan mereka. Terlihat ada sebuah patung wanita dengan pedang berdiri kokoh di kiri-kanan gerbang.
“Kau benar-benar yakin ini rumah mu?” tanya Brian menatap tak percaya rumah yang ditunjuk Grace.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: I have selulit, so what?
“Hahaha. Apa kau sudah gila? Tentu saja aku yakin ini rumahku!” Grace terbahak. Baboon ikut terbahak. Grace meminta Baboon menunjukkan sebuah kartu pada scanner di depan gerbang. Tak lama pintu gerbang itu pun terbuka. Dua orang pria berbadan tegap menyambut mereka dengan senyum. Grace membuka pintu mobil, lalu keluar. Brian, Kevin, Alice, Einstein, dan Baboon mengikutinya.
“Hudsky, Bulldog. Mereka adalah tamuku. Mereka akan tinggal di sini untuk sementara waktu.” Dua pria itu membungkuk, lalu pria bernama Hudsky mengantarkan mereka masuk ke depan pintu rumah yang bak istana itu dengan sebuah mobil bak terbuka kecil yang sudah berada di sana seolah memang sudah dipersiapkan. Sementara pria bernama Bulldog memarkirkan mobil mereka entah di mana.
“Nona, saya yakin anda sudah tahu tentang para Harem yang sedang mencari anda.” Pria bernama Hudsky itu mulai berbicara. Grace mengangguk.
“Iya, aku tahu. Mereka mencariku. Shadow sepertinya tahu aku akan kembali kemari,” Grace mendesah pelan.
“Iya, mereka sudah mulai bergerak juga.” Hudsky memarkirkan mobilnya tepat di dekat tangga pintu masuk. Semuanya turun, kecuali Grace yang sedang berbincang dengan serius.
“Laporkan semua informasi yang kau dapat padaku secara berkala,” akhirnya Grace turun. Hudsky membungkuk lalu berlalu dengan mobilnya. Baboon menghampiri Grace dengan alis berkerut.
“Harem?” tanya Baboon. Grace mengangguk.
“Iya, cecunguk-cecunguk mata duitan yang sering disewa Shadow untuk melakukan hal kotor di jalanan.” Jawab Grace. Alice dan Brian terkejut. Kevin hanya terdiam seraya menyandarkan tubuhnya pada pilar rumah Grace.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Alice.
“Aku membacanya dari buku Ibuku.” Grace berkata singkat lalu melangkah menuju pintu masuk. Kevin, Brian dan Alice saling memandang. Baboon mengelus dagunya seraya menggeleng. Einstein tetap terdiam dan mendengarkan musik.
Pintu rumah itu terbuka lebar, dua orang pelayan wanita berseragam menyambut mereka. Grace berjalan masuk, dengan diikuti yang lain. Mereka masuk dan menaiki sebuah tangga besar menuju lantai dua.
“Wuah… Rumahmu luar biasa!” Brian terlihat sangat antusias. Grace tidak menjawab, dan terus berjalan. Akhirnya mereka berdiri di depan sebuah pintu bercat hitam. Grace mengeluarkan kunci dari sakunya, lalu membuka pintu itu. Di balik pintu itu terdapat pintu lain yang jauh lebih kokoh, terbuat dari besi, dan memiliki akses kode untuk membukanya.
Grace menekan beberapa digit angka, dan pintu itupun terbuka. Kevin, Brian, Alice, Baboon, bahkan Einstein terpaku dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ruangan itu cukup luas, terdapat sebuah layar dengan banyak gambar. Tiga buah laptop berada di atas sebuah meja panjang layarnya terus bergerak menampilkan banyak kode-kode. Kabel-kabel melilit sana-sini, terdapat sebuah kotak panel dengan banyak saklar.
Dan yang membuat mereka semakin terkejut, seorang wanita berbadan besar sedang duduk di sana, menikmati sekantung keripik kentang dengan santai. “Celina, ada kabar terbaru?” kata-kata Grace membuat wanita itu terkejut hingga refleks berdiri.
“Tentu, nona,” ucap wanita bernama Celina itu riang. Dia melihat banyak orang yang mengikuti majikannya itu. “Aku tidak tahu kita akan kedatangan tamu,” dahinya mengerut.
“Mereka temanku. Dan mereka yang akan membantuku mencari A.” Grace tersenyum dingin.
“Baiklah. Target selanjutnya sudah terlihat,” Celina menunjukkan sebuah gambar pada layar. Sesosok pria klinis dan tampan terpampang pada layar itu.
“Arlos… Seharusnya aku tahu dia terlibat,” Grace berdecak.
“Tapi ada kabar buruk,” wajah Celina terlihat serius.
“Apa?” Grace menatap Celina dengan cemas.
“Dia sudah mati.” Ucapan Celina membuat Grace terpaku.
*to the next Chapter