Tiga koran kompak menurunkan berita berdasarkan telegram dari Cibadak ke Gubernur Jenderal bahwa ada 15 kapal perang Jepang terlihat di Teluk Palabuhanratu.
Halo, Gen XYZ Sukabumi, masih suka nonton film-film Jepang gak? Awas bukan film Jepang tentang kakek kakek itu ya. setidaknya sudah pada tahu kan kalo kita juga pernah di jajah oleh Negeri Matahari Terbit itu. Walaupun hanya tiga tahun saja, tetapi sebenarnya hubungan jepang dengan negeri kita sudah terjalin sejak dulu lho, Gaess.
Khususnya di Sukabumi, Jepang sudah melakukan aktivitas perdagangan dan menjalin hubungan dengan para pengusaha lokal, meskipun sebenarnya pemerintah Hindia Belanda masih merasa khawatir akan ekspansi Jepang.
Nah, bagaimana sih catatan sejarah ihwal hubungan dagang dan diplomatik ketika itu, kita simak yuk kisahnya.
[1] Pasang surut hubungan Jepang dan orang Sunda.
Ternyata hubungan orang Sunda dengan Jepang sudah terjadi sejak masa kerajaan Sunda Pajajaran, Gaess. Kapal-kapal Jepang tercatat oleh Tome Pires melakukan jual beli di Pelabuhan Sunda Kelapa. Tahun 1423 Kapal Ryukyu dari Jepang berlayar ke wilayah Sunda, yaitu Banten dan Sunda Kalapa (saat itu disebut Karava (Kalapa)”. Kapten kapal, Kotaba dan Matsuda, memimpin perdagangan Ryukyu dalam mencari rempah dan komoditas lainnya, sekaligus menjadi mediator Pajajaran dengan Cina.
Jual beli yang dilakukan dengan koin tercatat membawa 90 kerang keong dan 58.000 Crowries (semacam alat tukar). Ada 458 dokumen yang menjelaskan pelayaran Ryuku ke Asia Tenggara termasuk Pajajaran sekira 1425-1509, kunjungan ke Sunda Kalapa pada 1513 itu membawa 226 awak kapal. Setidaknya dua dokumen mencatat kunjungannya ke Sunda Kalapa pada 1513 dan 1518.
Orang Jepang juga sudah berkeliaran di Tatar Sunda pada waktu itu. Tercatat seorang pelukis pernah wara wiri di pedalaman Tatar Sunda pada masa kolonial untuk mencari bentuk fisik binatang badak. Tani Buncho (1764-1840), sang pelukis Jepang, kemudian melakukan ekspedisi ke Priangan Banten selatan untuk melukis badak.
Konon makanan tradisional campuran Jepang, yang kita kenal dengan nama Moci dan saat ini dikenal sebagai penganan khas Sukabumi, juga dibawa orang Jepang. Hal tersebut membuktikan adanya interaksi ekonomi antara orang Jepang dan penduduk lokal Sukabumi sebetulnya sudah terjadi sebelum Jepang menduduki Indonesia.
Sebelum pecah Perang Dunia I, Jepang mulai melakukan unjuk kekuatan, diawali dengan menyerang Rusia di Port Arthur dengan torpedonya, dan berhasil menghancurkan kekuatan Rusia di Manchuria. Pada 1910, Semenanjung Korea, Pulau Taiwan dan Sakhalin sudah dikuasai Jepang. Hal ini cukup mengkhawatirkan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
[2] Telegram hoax dari Cibadak tentang kedatangan kapal Jepang
Ada kisah lucu dalam buku The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918 yang ditulis Kees Van Dijk, berkisah tentang kekhawatiran Hindia Belanda akan munculnya nasionalisme bangsa Asia, termasuk bangsa Indonesia.
Bahkan, di Hindia Belanda ternyata pernah heboh akibat pemberitaan tiga koran ternama, Java Bode, de Locomotief, dan Preanger Bode, ketiganya menurunkan berita bahwa Jepang sudah memasuki Palabuhanratu. Sumber berita berdasarkan telegram dari Cibadak ke Gubernur Jenderal yang melaporkan bahwa ada 15 kapal perang Jepang terlihat di Teluk Palabuhanratu. Sontak isi telegram menimbulkan kehebohan di internal pemerintah Hindia Belanda.
Asisten Residen Sukabumi diminta untuk menginvestigasi kabar tersebut. Lalu, telegram dikirim ke pejabat di Palabuhanratu, namun jawabannya tidak ada yang tahu mengenai hal ini. Demikian juga saat dikonfirmasi ke perusahaan paket di Pelabuhanratu (KPM), jawabannya sama.
Namun kekhawatiran Gubernur Jenderal di Batavia masih ada. Angkatan Darat dan Laut Hindia Belanda pun dalam Siaga 1, dan siap perang dengan mengirim pasukan berkuda ke Palabuhanratu. Bahkan, Jenderal de Greve samapi harus berangkat ke Palabuhanratu menggunakan mobil untuk memantau langsung situasi.
Namun sayangnya, di Palabuhanratu tak terlihat satupun kapal perang Jepang. Staff KPM juga mengonfirmasi bahwa tidak ada tanda-tanda kapal Jepang di situ. Tidak masuk akal kapal Jepang tiba-tiba muncul di Pantai Selatan sebelum melewati Selat Sunda.
Sialnya, ternyata ada seseorang di Cibadak mengirimkan telegram ke kantor Gubernur Jenderal untuk sekadar guyonan dengan mengirim kabar hoax. Tidak diketahui siapa pengirimnya, namun akibatnya cukup menggemparkan saat itu.
Editor’s Picks:
Menggali serpihan sejarah Pabrik Teh Goalpara Sukabumi yang terbakar
Freemasonry dan Illuminati: Menyingkap sejarah organisasi rahasia di Sukabumi
Mengungkap tuduhan radikal dan ketakutan terhadap Muslim Sukabumi masa kolonial Belanda
[3] Konsep Ruang Asia Timur Raya terhadap Hindia Belanda
Pada dasarnya Jepang berupaya menegaskan posisinya terhadap Hindia Belanda dengan sikap tak bermusuhuhan. Konsep “Ruang Asia Timur Raya”, menurut bahasa Jepang mengecualikan Hindia Belanda.
Menurut Mr M. A. Cageling, editor Onze Vloot, “Berkenaan dengan konsep Ruang Besar Asia Timur, yang disebutkan dalam perjanjian antara Jerman, Italia dan Jepang, dan berkenaan dengan apakah Hindia Belanda atau tidak milik Asia Timur yang luar biasa ini, mungkin penting untuk mengetahui apa arti Jepang sendiri dalam pidato mereka. Orang Jepang membedakan dua konsep, masing-masing berkaitan dengan ruang yang terpisah, yaitu Toa dan Nanyo, tidak seperti kita orang barat, yang, karena kita tinggal sangat jauh, kedua ruang tanpa sadar melihat satu ruang“.
Toa adalah Ruang Asia Timur Raya, termasuk kepulauan Jepang sendiri, Manchukuo, Cina, Formosa, dan lautan intervensi termasuk bagian utara Laut Cina Selatan, sebenarnya berhubungan secara linguistik dan geografis dengan apa yang kita sebut Timur Jauh.
Nanyo, walau bagaimanapun, secara harfiah berarti “pulau-pulau di Selatan”, dan yang pertama dan terutama termasuk Hindia Belanda. Bagi Jepang, Hindia Belanda bukan milik Asia Timur, Hindia Belanda adalah daerah tersendiri: Selatan. Hal ini sepenuhnya terkonfirmasi oleh pandangan dan pernyataan resmi Jepang, juga terlihat dari misi perdagangan Jepang ke Hindia Belanda.
[4] Hubungan dagang tetap terjalin
Sukabumi menjadi bukti hubungan Jepang-Hindia Belanda terjalin indah. Sekira 1920-an, ditemukan toko-toko bahan makanan Jepang yang dikenal dengan sebutan Bussando di Kota Sukabumi dan Cianjur. Di Sukabumi ada toko Nanyo milik jepang di Tjiwangiweg, dan di Cianjur ada toko Jepang dengan pemiliknya bernama Togashi Takeomi. Toko-toko Jepang tersebut menjual berbagai kebutuhan pokok sehari-hari.
Toko milik orang Jepang juga muncul di Pelabuhanratu, tercatat oleh Kwee Tek Hoay yang menjual barang-barang dengan harga murah. Secara ekonomi hubungan Jepang-Hindia Belanda cukup mesra, Jepang bahkan mengundang para pengusaha hotel untuk datang mengunjungi Jepang pada Februari 1934. Beberapa pelaku bisnis perhotelan di Hindia Belanda termasuk Sukabumi melakukan perjalanan ke Jepang dan menyepakati kerjasama perhotelan pada 5 Maret 1934.
Mereka berangkat melalui Surabaya dengan kapal S.S. Nagajo Mom. Beberapa pengusaha hotel ikut di antaranya W. S. Buenen sebagai Direktur Grand Hotel Preanger di Bandung, lalu H. A. C. Hacks. pemilik Hacks Radiumhotel di Garut, dan C. Dalmeyer dari Hotel Commissioned Berglust yang ditugaskan Presidennya, W. Kramers yang juga pemilik Hotel-Pension Benvenuto di Bandung, serta L. Rossbacher, Direktur Hotel Salabintana di Sukabumi. Perjalanan ke Jepang atas biaya sendiri, tetapi akomodasi selama di Jepang sepenuhnya ditanggung oleh tuan rumah selama enam minggu, termasuk perjalanan.
Kegiatan ini kemudian dibalas pemerintah dengan mengundang pihak Jepang datang ke Hindia Belanda. 11 Desember 1934, Jepang mengirimkan delegasi ke Sukabumi untuk menegosiasikan perdagangan antara Jepang dan Hindia Belanda. Jepang yang berambisi memenangkan persaingan dengan perusahaan-perusahaan Eropa, Maret 1935, menjadi pemenang tender pengadaan mesin tekstil yang baru di buka di Sukabumi senilai 15.000 Gulden, dan Jepang menawarkan harga 100% lebih murah.
Saat pecah Perang Dunia 2, posisi Jepang masih tetap disegani meskipun sudah melakukan kerjasama dengan Jerman dan Italia. Sementara itu, saat orang-orang Jerman di Sukabumi mulai ditangkapi, dan perusahaannya ditutup seperti yag terjadi pada perusahaan tambang Cikotok. Konsul Jerman di Sukabumi bernama W. Timann juga akhirnya terpaksa pergi ke Jepang. Sebagai negara sahabat, Jerman menggunakan kapal Nichan Maru karena situasi politik saat itu sedang panas.
[5] Perundingan Selabintana, memicu sikap ekspansif Jepang
Situasi mulai meruncing tatkala Jepang mulai membutuhkan bahan bakar lebih banyak untuk menunjang perang. Jepang sangat membutuhkan tambahan pasokan minyak kemudian mengirimkan 24 orang delegasi ke Hindia Belanda, pada 24 September 1940.
Dilakukan pertemuan susulan dengan mengirim Kepala misi Jepang di Hindia Belanda Kobajasji, Konsul Jenderal Jepang Saito, dan anggota delegasi Jepang Ota ke Sukabumi pada 4 Oktober 1940 atas undangan delegasi Belanda-Jerman.
Pertemuan digelar di Hotel Selabintana dan berlangsung hingga 16 Oktober 1940. Delegasi Jepang diberikan kenyamanan luar biasa dengan suasana kebun teh, air terjun, sawah dan dusun di sekitar Sukabumi. Mereka mengatakan merasa seperti berada di sekitar Gunung Fuji.
Kepala delegasi Belanda, HJ v. Mook, ditemani konsultan, JE V. Hoogstraaten dan anggota orang Hindia Belanda (Indonesia), Djajadiningrat, Kepala Urusan Umum Departemen Pendidikan. Baca lengkapnya di Cinta, karya dan politik, 5 fakta Selabintana mewarnai Sukabumi di kancah internasional
Dalam perundingan, Jepang meminta diberi tambahan kuota minyak 3.150.000 metrik per tahun dan garansi lima tahun. Namun, Van Mook menyatakan, Hindia Belanda hanya mengawasi minyak yang selama ini dimiliki perusahaan-perusahaan asing, karenanya tuntutan Kobajasji dirasa tidak masuk akal oleh van Mook karena Hindia Belanda tidak bisa memaksa perusahaan minyak itu untuk menambah kuota ekspor.
Perundingan pun deadlock dan dibahas di koran-koran AS sebagai kegagalan diplomatik Jepang di Selabintana.
Jepang akhirnya melakukan tindakan agresif dengan menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941 untuk bisa menguasai langsung sumber minyak di Hindia Belanda. Orang-orang Jepang kemudian mulai ditangkapi, muncul istilah rasis kepada Jepang sepetri Nip, Jap dan Yellow Men. Konflik semakin meruncing, hingga kemudian Jepang menghancurkan Hindia Belanda dan membebaskan para tahanan Jepang di Sukabumi.
Ternyata begitu kisah orang Jepang di Sukabumi ya, Gaess. Namun, ada yang patut kita tiru yakni semangat orang Jepang yang pantang kalah dengan orang Eropa. Meskipun secara militer Jepang tidak lagi sekuat dulu, tetapi secara ekonomi, Jepang tetap hebat hingga kini.
Oiya, Gaess, sekadar mengingatkan, pembangunan Hotel Samudera Beach di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, dibiayai oleh pemerintah Jepang sebagai kompensasi perang.
Mungkin salah satu penyebab jepang menjajah Indonesia karena potensi alamnya yang sudah mereka rasakan dari dulu. Hubungan perdangangan dll masa lalunya dijadikan referensi tuk menduduki Indonesia…Sungguh negara kita kaya raya dalam segala hal… I
Postingan yang keren kang Irman… Menambah wawasan sejarah dilihat dari sisi yang paling strategis negara kita, kekayaan Indonesia yang menjadikan salah satu penyebab bangsa lain invasi ke Indonesia
betul kang