Banyak relawan selfie dengan wajah sumeringah di lokasi bencana, adalah tidak etis yang tidak perlu.
Bencana longsor kembali menimpa warga Kabuapaten Sukabumi. Kali ini nasib nahas dialami warga Kampung Garehong, Dusun Cimapag, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, yang diterjang bencana memilukan itu pada Senin (31/12/2018), sekira pukul 17.00 WIB.
Tangis korban dan keluarga belum kering, tetapi ada banyak catatan yang wajib diperhatikan semua pihak, baik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi, relawan, hingga jurnalis yang meliput di lokasi bencana.
sukabumiXYZ.com sedikitnya merangkum lima catatan yang perlu mendapat perhatian semua pihak ya, Gengs, sebagai berikut.
1. Penanganan recovery bencana masih wacana
Kedalaman tanah longsor di Desa Sinar Resmi bervariasi, dari mulai satu meter hingga 10 meter. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sesuai hasil analisis satelit menunjukkan, total panjang area longsor mencapai satu kilometer, dan luas longsoran tanah mencapai delapan hektar
Acungan jempol untuk tim relawan gabungan yang berhasil mengevakuasi seluruh korban longsor, dan pencarian korban sudah dinyatakan ditutup, sesuai masa Tanggap Darurat Bencana Longsor pada Sabtu (6/1/2019).
Dari total 34 rumah dan 101 jiwa diduga tertimbun, 63 korban selamat dan diselamatkan, dan 33 orang dinyatakan hilang. Hingga Sabtu (6/1/2019), sudah 32 orang berhasil dievakuasi tim relawan gabungan dan diidentifikasi. Sementara satu korban lagi sudah dikhlaskan pihak keluarga korban.
Tetapi persoalan tidak selesai sampai di sini. Karena fase terpenting setelah itu, adalah recovery pasca-bencana, dan hingga kini publik belum mendengar pernyataan resmi terkait penanganan pasca-bencana. Walaupun ada, masih bersifat diplomatis dan wacana.
Kenapa?
Kemudian, jika melihat berbagai postingan di media sosial Facebook, tim relawan tidak hanya dari pihak pemerintah dan TNI/Polri, tetapi juga komunitas dan organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Front Pembela Islam hingga Perbakin.
Bencana alam sudah sering terjadi di Sukabumi, tetapi tidak pernah ada pelatihan penanganan bencana yang terprogram dan terjadwal melibatkan semua komunitas dan ormas yang kerap terjun ke lokasi bencana.
Kenapa?
2. Bagaimana nasib pendidikan 10 anak yatim korban longsor?
Dari 68 korban selamat dalam bencana tersebut, 23 di antaranya masih anak-anak dan 10 anak kini harus diasuh keluarga dekat karena kedua orangtuanya menjadi korban dalam musibah tersebut.
Dari 23 anak korban longsor yang selamat terdiri dari delapan balita (di bawah lima tahun) dan 15 anak berusia 7 hingga 18 tahun, dan berstatus pelajar (11 pelajar sekolah dasar, tiga SMP, dan satu siswa SMA).
Kesepuluh anak korban longsor yang kini menjadi yatim piatu perlu penanganan serius dan komprehensif. Mereka kini hidup dengan keluarga baru, kerabat dekat yang selamat dari bencana tersebut. Tetapi tidak kalah penting adalah masa depan pendidikan mereka.
Walaupun Bupati Sukabumi Marwan Hamami mengungkap jika nasib anak-anak korban gempa ini akan menjadi fokus perharian dinas terkait, terutama pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya.
Namun, dari riset yang dilakukan redaksi, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemkab yang menyebut kesepuluh anak tersebut mendapat beasiswa penuh hingga selesai sekolah menengah.
Bahkan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam kunjungan ke lokasi bencana ini, Rabu (2/1/2018) silam, hanya menjadikan dua kakak beradik di antaranya, Hengki (12) dan Farel (5), sebagai anak asuh.
Namun, bagaimana dengan nasib delapan anak yatim lainnya, seperti Reza yang masih berusia empat bulan, Sindi Putri (10) yang kehilangan ibu dan fotonya viral di media sosial karena dipeluk bupati, atau Melgiansyah (7) dan Yeni (10)?
BACA JUGA:
Keren, remaja belasan tahun dari Sukabumi bantu korban tsunami Selat Sunda
Masuk musim penghujan Sukabumi waspadai banjir dan longsor, ini 5 infonya
PVMBG: longsor dan banjir bandang ancam Sukabumi, 5 info gen XYZ mesti aware
3. Ada 33 kecamatan rawan bencana, seberapa siap Pemkab Sukabumi?
Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho menegaskan, Cisolok menjadi kawasan rawan jika intensitas hujan tinggi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) turut memperkirakan terdapat 33 kecamatan di Kabupaten Sukabumi masuk kategori longsor menengah hingga tinggi pada Januari 2019.
BNPB mengkategorikan lokasi terjadinya longsor sebagai terjal karena memiliki kemiringan lebih dari 30 derajat. Selain itu, tanah di daerah tersebut bersifat poros, atau mudah menyerap air, dan tanahnya gembur sehingga berstruktur seperti remahan.
Tanah yang subur di daerah itu membuat fungsi daerah mulai beralih menjadi kawasan budidaya. Masyarakat bercocok tanam di daerah yang seharusnya merupakan kawasan konservasi. Akibatnya, tanah tersebut tidak memiliki pegangan atau tidak ada tumbuhan yang menahan tanah tersebut hingga terjadi longsor.
Sutopo juga menyebut, sudah 132 kali bencana tanah longsor terjadi di Sukabumi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Kejadian tanah longsor di Dusun Cimapag, merupakan yang terbesar selama tahun 2018.
Hingga kini belum ada konsep resmi dari pemerintah daerah terkait tindak lanjut hasil mitigasi bencana dari BNPB tersebut.
Haruskah menunggu korban lainnya berjatuhan? Atau akankah kembali menyalahkan alam?
4. Infrastruktur jalan adalah persoalan lain
Akibat akses jalan yang sulit menuju lokasi bencana, disebut menjadi salah satu kendala bagi tim relawan, karena kondisi tanah yang labil, jalan kecil, dan aspal mengelupas. Hal ini membuat alat berat kesulitan mencapai lokasi bencana.
Sutopo mengungkapkan, dalam proses evakuasi Tim SAR gabungan mengalami kendala, yakni kendala medan yang sempit untuk mengevakuasi dan mencari korban yang tertimbun tanah longsor.
Pada proses evakuasi ini, dilakukan oleh Tim Gabungan dari BPBD, TNI, Polri, Basarnas, PMI, Tagana, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Relawan, dan masyarakat.
5. Banyak pihak belum siap menghadapi bencana alam
Pertama, setiap terjadi bencana alam, pemerintah daerah seperti cenderung hanya fokus kepada peristiwa bencana an sich, terutama pada masa tanggap bencana.
Padahal, bencana longsor bukanlah yang pertama di Kabupaten Sukabumi, dan mungkin bukan terakhir. Sehingga ketiadaan toilet portable seperti dikeluhkan relawan dan jurnalis di lokasi bencana, tidak perlu terjadi.
Perlu upaya lebih dari pemerintah, mengingat 33 dari 47 kecamatan yang ada di kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa dan Bali, ini adalah rawan bencana longsor.
Kedua, mungkin warga Kampung Garehong sendiri belum pernah mendapat edukasi terkait bencana yang suatu saat terjadi, hingga akhirnya bencana itu benar-benar terjadi dan menelan puluhan korban jiwa.
Ketiga, di luar persoalan ekonomi karena dekatnya tempat tinggal dengan lokasi bercocok tanam, yang jelas keberadaan pemukiman warga di daerah rawan bencana longsor “Tinggi” menunjukkan hal tersebut (poin kedua).
Keempat, pada 2 Januari 2018, salah seorang pemilik akun Facebook bernama Budi Setiawan mem-posting status: “Geus 3 poe can mandi, jaba sinyal hese… #sinaresmi“. Dari sisi moral, baik relawan maupun jurnalis yang sedang bertugas di lokasi bencana, adalah tidak etis mengeluhkan persoalan pribadi di lokasi bencana di akun media sosial miliknya sekalipun.
Perlu kesadaran bersama, keberadaan jurnalis di lokasi bencana adalah untuk melakukan peliputan demi kepentingan publik, bukan untuk berwisata. Begitupun dengan relawan, keberadaannya untuk memberi solusi bagi korban. Sehingga, banyaknya relawan yang selfie dengan wajah sumeringah di lokasi bencana, adalah ketidaketisan lain yang tidak perlu terjadi.
Kelima, sehari pasca bencana longsor terjadi, bantuan dari warga baik Sukabumi maupun luar, mengalir deras. Dari penulusuran redaksi tidak ditemukan list kebutuhan korban dari pemerintah sejak hari pertama bencana. Pernyataan resmi baru keluar pada hari kelima pasca-bencana. Ini penting diketahui publik agar tidak terjadi penumpukan jenis bantuan tertentu.
Nah, Gengs, walaupun sering dilanda bencana alam, tetapi catatan redaksi di atas, menunjukkan jika warga Sukabumi sebenarnya tidak pernah siap menghadapinya. (dari berbagai sumber)