Selain di Bojongkokosan, pertempuran melawan Sekutu juga terjadi diantaranya di Cicurug.
Peristiwa pertempuran Bojongkokosan pada tanggal 9-12 Desember 1945 adalah salah satu momentum perlawanan bangsa Indonesia, terutama rakyat Sukabumi, terhadap Sekutu yang diboncengi oleh NICA yang hendak menguasai wilayah Indonesia.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibantu oleh berbagai kelompok laskar dan masyarakat Sukabumi melakukan perlawanan sengit terhadap Sekutu yang memiliki persenjataan lengkap dengan tank baja dan panser.
[1] Pentingnya pertempuran Bojongkokosan
Dampak dari pertempuran Bojongkokosan adalah terhambatnya bala tentara Sekutu menuju kota Bandung dari Jakarta. Maka dikatakan tak akan ada peristiwa “Bandung Lautan Api” jika tidak ada Perang Bojongkokosan! Itulah peran penting pertempuran Bojongkokosan dalam konteks perjuangan menuju kemerdekaan Republik Indonesia.
Sayangnya, peran penting pertempuran Bojongkokosan dalam perjalanan perjuangan bangsa sangat minim sekali mendapat perhatian. Sampai kini, Perang Bojongkokosan “hanya” diperingati sebagai Hari Juang siliwangi, tak sebanding dengan peristiwa Bandung Lautan Api atau Hari Pahlawan 10 November, Perang Surabaya.
[2] Melawan konvoi 150 kendaraan perang Sekutu
Nah, orang tidak ngeh bahwa pertempuran 9-12 Desember 1945 tidak hanya terjadi di wilayah Bojongkokosan. Masih banyak banyak yang belum tahu detil peristiwa penyergapan tentara Sekutu oleh TKR dan rakyat dibawah komando Komandan Resimen 3 Siliwangi, Letnan Kolonel Edi Sukardi (putra dari tokoh nasional dari Sukabumi, RH. Didi Sukardi) itu.
FYI, saat itu TKR dan rakyat mencegat konvoi sebanyak 150 lebih kendaraan, terdiri atas tank, panser, truk, jeep, dan motor. Saat “kepala” konvoi sampai Bojongkokosan (Parungkuda), “ekor”-nya kabarnya berada di Kecamatan Cigombong. Bisa dibayangkan betapa panjangnya konvoi sekutu.
Letkol Edi kala itu memerintahkan TKR dan rakyat untuk melancarkan strategi hit and run. Itulah mengapa, pertempuran sebenarnya tak hanya terjadi di Bojongkokosan, tetapi juga di wilayah-wilayah yang dilalui konvoi Sekutu, termasuk juga di (Kecamatan) Cicurug.
editor’s picks:
Di balik penaklukan tentara Inggris di Sukabumi, 5 fakta Letkol Eddie Soekardi
5 info tur sejarah ke-Sukabumi-an Yayasan Kipahare buat milenials
Generasi milenial Sukabumi Utara butuh ruang menuang? Nomor 5 entah di mana
[3] Peristiwa tanjakan Majenet
Baku tembak di wilayah Cicurug terjadi tepatnya di tanjakan Majenet (tepatnya di Desa Benda). Bahkan, menurut sumber saksi hidup orang-orang tua dulu, baku tembak di tanjakan Majenet terjadi cukup sengit antara TKR dibantu rakyat melawan pasukan Sekutu. Kabarnya, ada banyak korban tewas juga dari kedua belah pihak.
Lokasi tanjakan Majenet berada setelah Balai Desa Benda kalau dari arah Sukabumi. Dahulu, menurut orang-orang tua dulu, tanah di sebelah-sebelah tanjakan Majenet lebih tinggi, mirip dengan lansekap Bojongkokosan, walaupun bukitnya tak setinggi Bojongkokosan.
[4] Aping Tolib Sang Martir
Tahukah kalian Gaess, bahwa peristiwa baku tembak di tanjakan Majenet tak bisa lepas dari nama Aping Tolib. Jika kalian main ke Palagan Bojongkokosan, maka kalian akan menemukan nama Aping Tolib sebagai salah satu prajurit TKR yang gugur dalam Perang Bojongkokosan (di urutan no 18). Siapakah Aping Tolib? Redaksi sukabumixyz.com berkesempatan mengobrol santai dengan salah satu cucu dari Aping Tolib bernama Rully Herdiansyah.
“Sebetulnya yang benar bukan Aping Tolib, tapi Baping Tolib,” ujar Rully mengawali. Rully mengaku sebagai cucu dari Aping Tolib yang namanya tercantum sebagai salah satu korban gugur di Palagan Bojongkokosan. “Baping,” menurut Kang Rully, adalah kependekan dari “Bapak Pangaping” alias kokolot atau tetua.
Aping Tolib, masih menurut Rully, bukanlah prajurit TKR seperti yang ditulis di Palagan. Aping Tolib hanyalah rakyat biasa yang turut berjuang bersama TKR. “Kemungkinan saat gugur, kakek saya dianggap saja sebagai tentara karena dia juga berteman baik dengan Aki Sibli, tokoh prajurit TKR dari Cicurug (Cibeber),” kata Rully.
[5] Gugur di hari wedalan
Kang Rully lalu mengisahkan cerita yang ia dapatkan dari neneknya (istrinya Aping Tolib) bernama Ningrum.
Alkisah, saat ramai-ramai tentara dan laskar hendak mencegat iring-iringan Sekutu yang lewat Cicurug, Aping Tolib sebagai tetua kampung Pamoyanan berinisiatif untuk ikut berperang. Hal itu wajar karena kala itu semua orang terbakar semangatnya untuk bertempur.
Padahal sebelum berangkat (tak jelas hari dan tanggal), nenek Ningrum sudah mengingatkan suaminya untuk mengurungkan niatnya. Kala itu nenek Ningrum sedang mengandung bapak dari Rully, (alm) Suhendri (Puri Garden).
“Jangan, pak? Ini kan hari wedalan (kelahiran) bapak?” demikian kira-kira kata nenek Ningrum. Menurut nenek Ningrum, suaminya sakti dan kebal peluru, namun hari apesnya di hari wedalan-nya.
Namun Aping Tolib bersikeras. “Daripada mati di atas ranjang, mending mati di medan perang,” tandas Aping Tolab seperti dikisahkan nenek Ningrum.
Berbekal senapan Dorlok (sejenis senapan tradisional untuk berburu babi) dan golok panjang buatan sendiri, Aping Tolib pergi bersama rekan-rekannya dengan tujuan mencegat pasukan Sekutu di tanjakan Majenet.
Singkat cerita, Aping Tolib memimpin rekan-rekannya menyerbu iring-iringan tentara Sekutu. Saat melihat tentara Sekutu yang kebanyakan merupakan tentara bayaran Gurkha, rekan-rekan Aping Tolib sempat ketakutan dan hendak balik langkah. Namun, Aping Tolib mengobarkan semangat mereka dengan menyerbu seraya berteriak “Allahu Akbar.”
Akibatnya, Aping Tolib pun tewas bersimbah darah diberondong oleh tentara Gurkha. Menurut nenek Ningrum, ada tiga peluru bersarang di kepala Aping Tolib. Gugurnya Aping Tolib ternyata tak membuat gentar rekan-rekannya. Gugurnya Aping Tolib malah membakar semangat berjuang mereka. Mereka pun maju tak kenal takut walau nyawa sebagai penggantinya.
Kematian Aping Tolib menjadi martir bagi semakin semangatnya gerakan perlawanan sampai ke seluruh Sukabumi. Itulah mungkin alasan Letnan Sibli, mengakui Aping Tolib sebagai prajurit TKR.
Aping Tolib lalu dikuburkan di pemakaman umum Cicurug, Astana Gunung, sebelum akhirnya digali dan dipindahkan ke Pemakaman Suryakancana di Nyomplong, Kota Sukabumi. Sayangnya, tak banyak peninggalan Aping Tolib karena turut dikuburkan bersama jenazah oleh nenek Ningrum. Salah satu peninggalan Aping Tolib yang masih ada adalah golok miliknya yang dibuat dari besi putih oleh tangannya sendiri.
Demikian sepenggal kisah perjuangan Aping Tolib dalam kerangka besar sejarah Pertempuran Bojongkokosan. Ingat ya Gaess, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. (*)