Tumbuhan penanda awal Sukabumi.
Halo gen XYZ, saat ini sukabumixyz.com memiliki rubrik khusus bernama Kipaharé. Rubrik ini khusus mengulas kegiatan-kegiatan komunitas kesukabumian yang positif dan bermanfaat tentunya.
Mungkin sebagian besar gen XYZ Sukabumi banyak yang belum mengetahui apa itu Kipaharé. Sebagian mungkin hanya mengenal lembaga yang menggunakan nama terkait seperti Yayasan Dapuran Kipaharé, atau nama museum, dan komunitas-komunitas yang berlabelkan Kipaharé.
Kipaharé ternyata bukan sembarang nama lho, Gaess, tapi memiliki makna filosofis yang juga berkaitan dengan wilayah yang kita diami, Sukabumi.
Pengen tau lebih lanjut? Simak lima fakta tentang Kipaharé ini ya, Gengs.
1. Tumbuhan dari Kahyangan yang bertuah
Kipaharé merupakan tumbuhan jenis paku (pakis-pakisan) atau biasa disebut juga Pakujajar. So, Kipaharé sebenarnya adalah nama lain dari Pakujajar.
Di dalam bahasa Sunda, tumbuhan ini disebut tangkal, meski agak kurang pas jika diartikan sebagai pohon dalam bahasa indonesia. Saat ini di sebagian wilayah Bogor yang merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran masih menyebut tumbuhan tersebut sebagai Kipaharé.
Dalam kisah-kisah Kasundaan, konon tumbuhan ini pada masa awalnya berada di Khayangan, dinamai Kipahare sendiri oleh Aki Lengser. Kemudian dipindahkan oleh Sang Hyang Wenang ke Kawah Hyang sebagai tanda untuk Aki Lengser.
Menurut Kang Wilang Sundakalangan, putra budayawan Anis Djatisunda yang menggali pantun Bogor, tumbuhan ini disebut Kipaharé karena pahare-hare (tidak sinkron alias berbeda jauh) antara sirung (tunas) dengan daun. Sehingga warna daun dan pucuknya berbeda jauh.
Saat daunnya masih muda atau pucuk hampir persis dengan tanaman Suji, sehingga kerap disebut Suji Domas. Namun, saat sudah menua justru mirip dengan tanaman hanjuang sehingga disebut hanjuang siyang.
Suji domas dan suji badak adalah jenis berbeda meskipun satu rumpun. Konon, di satu sudut benteng Pajajaran yang sudah tiada, masih terdapat tangkal Kipaharé yang terlihat bercahaya jika malam hari, dan cahayanya akan menghilang kita dekati.
Kipaharé tersebut tidak boleh diganggu. Alkisah, pernah ada seorang anak yang hendak memetik daunnya, dan kemudian hilang. Ada juga seorang kyai yang mencoba menebang pohonnya, seketika tubuhnya menjadi lumpuh. Dan cerita tentang orang yang mempermainkan pohon Kipaharé, seketika gila dan kemudian meninggal.
2. Simbol Kerajaan Sunda Pajajaran
Konon tanaman Kipaharé alias pakujajar ini juga menjadi simbol Kerajaan Sunda Pajajaran, karena Pakujajar itu sendiri adalah nama Kerajaan Pajajaran (Pakuan Pajajaran) alias tanaman paku yang berjajar).
Dalam umbul atau bendera kerajaan Sunda, Pakujajar atau Kipaharé menjadi bagian tidak terpisahkan dari simbol kerajaan. Disebutkan dalam Pantun Bogor bahwa “Umbul-umbul Sunda hideung sawaréh bodas, sawaréh disulaman kujang jeung Pakujajar nu lalayanan” yang artinya, “bendera Sunda itu sebagian hitam sebagian putih, disulam oleh kujang dan Pakujajar yang berpasangan.
Menurut naskah Sunda kuno Carita Waruga Guru (1750), disebutkan bahwa lokasi kerajaan banyak terdapat pohon Pakujajar, hal ini senada dengan pendapat KF Holle (1869)yang menyebutkan bahwa Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar (op rijen staande pakoe bomen).
Namun, peneliti lain yaitu G.P Rouffaer berpendapat, paku ini diartikan sebagai paku jagat (spijker der wereld) karena Pakuan setara dengan Maharaja, dan Pajajaran diartikan dengan sejajar.
Sebagian lagi masyarakat mengartikan paku sebagai pamageuh atau penguat, sedangkan jajar adalah papayeun yang diartikan pamageuh nu keur mapay tapak lacak nu baheula atau penguat bagi yang sedang menelusuri jejak orang-orang terdahulu.
BACA JUGA:
Upaya mengembalikan kemasyhuran Sari Oneng Parakansalak ke Sukabumi
Personel Sari Oneng Parakansalak, pionir mogok tenaga kerja Sukabumi di pentas internasioal
3. Tanda dan juga batas sebuah wilayah
Tanaman Kipaharé juga menjadi tanda yang disebut tetenger untuk sesuatu yang disakralkan atau penting, misalnya wilayah pajajaran tengah yang meliputi Sukabumi dan Bogor, sekarang ditandai dengan banyaknya tanaman Kipaharé yang tinggi besar.
Dalam kisah penghancuran Pakuan Pajajaran oleh pasukan Banten, Pantun Bogor juga menegaskan mengenai tanda Kipaharé ini. Disebutkan “Tah eta! Pakujajar sadapuran, jiga dikarikeun pieun saksi anu nyorang pieun ngalaman jaya jembar pajajaran, nu nalangsa walakaya neuleu pajajaran lebar jadi awun-awun“, yang kira kira artinya, “Pakujajar (Kipaharé) seperti disisakan untuk menjadi saksi bagi yang mengalami masa pajajaran, yang bersedih melihat pajajaran hancur.”
Kemudian disebutkan pula “Jiga ditingalkeun pieun bukti yen mun jaga raja panyelang hayang nuar tangka awisan anu nyesa tina Kipaharé sadapuran, eta tanda wayahna caringin agung baris rungkad kaanginan, buah hejo jadi bareureum“, yang diartikan umum, “Serumpun pohon Kipaharé seperti meninggalkan bukti bahwa nanti jika raja pengganti sementara ingin menebang pohon awisan yang tersisa dari rumpun Kipaharé, itu merupakan tanda bahwa beringin agung akan roboh terkena angin dan buah hijau akan memerah.
Pohon ini konon masih ditemukan di Kampung Cipaku oleh KF Holle. Konon, jika pohon Pakujajar ini dipindahkan menjadi penghias taman, maka itu pertanda pewaris Pajajaran akan melajutkan kejayaannya dan mengobrak abrik pemimpin pengganti sementara (raja panyelang).
BACA JUGA:
Prasasti Jayabhupati bukti peradaban tinggi Sukabumi dan 5 fakta raja Sunda
Gen Y Sukabumi, ini 5 info legenda Wangsa Suta dan asal muasal Gunung Parang Cikole
4. Diambil dari Pantun Bogor karya pujangga misterius
Nama Kipaharé sendiri diambil dari salah satu Pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor) Karya Aki Buyut Baju Rambeng, seorang pujangga misterius jaman VOC (abad 18) yang juga fenomenal.
Pantun yang mengisahkan legenda Babakan di Sukabumi ini meski belum menjadi pijakan sejarah, namun menjadi satu-satunya kisah legenda yang mengisi kekosongan sejarah wilayah sukabumi pasca Pajajaran runtuh dan sebelum masuknya bangsa asing ke wilayah Sukabumi tahun 1687.
Pantun ini konon diwariskan kepada Raden Wanda Sumardja kemudian kepada Raden Mochtar Kala, dan terakhir kepada Drs. Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda. Pantun ini cukup fenomenal karena sesudah meninggalnya Ki Anis, pantun tersebut menjadi rebutan klaim beberapa fihak yang merasa sebagai pewaris atau pembuka.
Ada yang mengklaim sebagai murid atau sekadar karena pengalaman mistis ritual. Hingga sebagian terus menelusuri baik yang direstui oleh keuarga pewaris maupun yang dianggap sebagai maling karena mengambil dan menyebarkan kesakralannya tanpa izin.
Konon, pantun ini tidak sembarangan dibuka ke publik, dan hanya patut dilakukan oleh orang yang terpilih. Pleyte (1906), mengkategorikan Pantun Bogor sebagai historiografi tradisi melalui jurnal Volk en Volkenkunde yang merupakan jurnal kisah-kisah rakyat yang tidak menjadi acuan sejarah utama.
Historiografi tradisional sendiri memang lebih merupakan ekspresi kultural dibandingkan rekaman masa lampau. Namun, setidaknya kurun hidup sang pujangga yang tidak terlalu jauh dari masa hancurnya Pajajaran, lebih terlihat orisinil dan menggambarkan kisah aslinya dibandingkan versi lain yang dibuat beberapa dekade ke belakang, dan terkesan sebagai pseudo sejarah yang jauh dari gambaran faktanya.
5. Sebagai penanda kelahiran Babakan, awal Kota Sukabumi
Dalam Pantun Bogor juga dikisahkan asal muasal munculnya Babakan di Gunung Parang (cikal bakal Kota Sukabumi). Konon, pasca Pakuan dihancurkan pasukan Banten, Kadatuan Pamingkis yang berpusat di Gunung Walat juga mengalami serangan serupa. Pemimpinnya tewas, sementara istrinya yang sedang hamil melarikan diri ke selatan bersama para pembantunya.
Sang istri kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Nyi Raden Pudak Arum. Semakin dewasa semakin terkenal kecantikan Nyi Pudak Arum ini sehingga menjadi incaran para menak saat itu. Namun, siapapun yang menikahinya langsung meninggal seketika.
Setting Nyi Pudak Arum ini dimungkinkan berlangsung sekira 1614, di mana pengaruh Mataram sudah masuk ke Sukabumi dan mengklaim wilayah yang tidak diduduki Banten ini.
Dalam versi Sumur Wangi, Raden Kartala (Demang Mangkalaya) menyarankan supaya Nyi Pudak Arum dihadiahkan kepada Sultan Mataram. Tetapi Penasehat Demang, Mas Sakatana, melarangnya karena tanah Sunda akan menjadi habis oleh kejayaan bangsa Jawa. Untuk menghindari dunia berat sebelah sebelum waktunya, sang Demang diberi saran gila, membunuh Sang putri!
Namun, diam-diam Nyi Pudak Arum ternyata menjalin kasih dengan pemuda bernama Ki Wangsa Suta yang sedang belajar di Resi Saradeya di Kiara Gantung dan ngababakan di Gunung Parang. Dalam versi lain, disebutkan bahwa Ki Wangsa Suta adalah anak yang kehilangan orang tua dan diadopsi oleh Nyi Puntang Mayang saat dalam pelarian dari kejaran Banten.
Untungnya, sebelum eksekusi mati dilaksanakan, Wangsa Suta berhasil menyelamatkannya dan menyuruh Pudak Arum melarikandiri dan menunggunya di Tegal Kole pada tempat yang ada Pakujajar (Kipaharé) berdahan lima.
Setelah berhasil mengalahkan para eksekutor, Wangsa Suta mendatangi tempat yang dijanjikan bertemu Pudak Arum. Namun, ia tak mendapati sang kekasih di tempat yang dijanjikan tersebut.
Di luar pengetahuan Wangsa Suta, ternyata Pudak Arum ditangkap oleh Bajo (rampok) yang kemudian menjualnya ke Dayeuh Muhara Cihaliwung (Jakarta sekarang). Ki Wangsa Suta kemudian meminta pertolongan Resi Saradeya yang sudah bertempat di Gunung Arca. Resi Saradeya memberi petuah dan uga (wangsit) bahwa Nyi Pudak Arum sedang sembunyi di balik zaman dan akan kembali saat Sukabumi penuh dengan rumah-rumah.
Resi Saradeya juga meminta Wangsa Suta untuk membangun babakan di Tegal Kole (saat ini lokasinya sekitar Supermarket Yogya). Babakan inilah yang menjadi cikal bakal berdiriya Kota Sukabumi sekarang.
Duh, ternyata ada kisah herois dan romantis dibalik sejarah berdirinya Kota Sukabumi ya, Gaess.
Nah, Gengs, yuk kita isi rubrik ini dengan kegiatan-kegiatan komunitas yang bermanfaat, sekaligus menjadi ajang untuk menyalurkan minat dan kemampuanmu dalam menulis.