Rumah tahanan kecil yang melahirkan gerakan besar.
Hallo Gengs, sudah tahukah jika Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Mohammad Hatta, dan pahlawan nasional, Sutan Sjahrir pernah dibuang ke Sukabumi?
Biar gen XYZ Sukabumi gak penasaran, yuk telusuri kelima faktanya.
1. Rumah tahanan saksi sejarah perjuangan kemerdekaan
Hatta dan Sjahrir dibuang dan ditempatkan di sebuah rumah di Jl. Bhayangkara No. 156 A, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi. sebuah rumah yang menjadi saksi sejarah perjuangan kedua tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan dua kekuatan besar kolonial yaitu Belanda dan Jepang.
Rumah tersebut adalah bekas rumah dinas seorang inspektur Belanda. Pada masanya, rumah tersebut berada di paling ujung kompleks karenanya jalan disebut bernama Jl. Kompleks. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan nama dan peruntukan jalan menjadi Jl. Dr. Vogelweg dan digunakan masyarakat luas. Kini, nama jalan tersebut kita kenal dengan nama Jl. Bhayangkara.
Rumah tersebut sempat pula ditinggali kakak dari Sutan Sjahrir bernama Putri Syahrizad (istri Prof. Djoehana Wiradikarta yang biasa dipanggil Nyonya Djuhana). Djuhana kerap datang dengan membawa dua anaknya, Akki dan Hedda. Selain itu, ibunda Bung Hatta, Siti Saleha, juga pernah mengunjungi putranya itu di rumah tersebut.
Bahkan, ketika banyak yang berkunjung dan rumah penuh sesak, Hatta kerap memilih tidur di sebuah bangku panjang. Sedangkan Akki dan Ali tidur bersama Sjahrir, Djuhanna dengan Hedda, Lili, dan Mimi.
BACA JUGA: Dulu Secapa sekarang Setukpa, ini 5 periode sejarah sekolah perwira polisi Sukabumi
2. Pernah menjadi tempat diskusi para pejuang kemerdekaan
Tercatat, beberapa pertemuan penting Hatta dan Sjahrir dengan tokoh-tokoh pergerakan lain pernah dilakukan di rumah tersebut, mulai dari dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang sudah lebih dahulu tinggal di Sukabumi, Soejitno Mangoenkoesoemo dan Amir Sjarifudin yang mengunjungi mereka sebanyak dua kali.
Kemudian penulis, Beb Vuyk, yang juga tinggal di Sukabumi, bahkan sudah tiga kali bertemu Sjahrir. Selain itu, Sastrawan komunis yang menyelinap masuk, dan tokoh lainnya yang belum termuat dalam kisah resmi, seperti KH Ahmad Sanusi dan para santrinya yang sering berdiskusi bersama mereka.
3. Memprediksi kehancuran Hindia Belanda dari Sukabumi
Menjelang keruntuhan Hindia Belanda, Hatta dan Sjahrir dipindahkan dari pembuangannya di Banda Neira ke tempat yang sejuk di pegunungan yaitu Sukabumi, tepatnya di Kompleks Sekolah Polisi. Pemindahan ke Sukabumi dilandasi kepanikan pasca gagalnya Perundingan Selabintana sehingga akhirnya Jepang memutuskan untuk menyerang Hindia Belanda.
LINK TERKAIT: Cinta, karya dan politik, 5 fakta Selabintana mewarnai Sukabumi di kancah internasional
Lokasi Sukabumi yang tidak jauh dari Batavia dan Bandung, justru menjadikan rumah pembuangan tersebut pada akhirnya menjadi lokasi diskusi kaum pergerakan. Hal ini tak bisa dilakukan oleh keduanya saat dibuang ke Boven Digoel atau Banda Neira.
Hatta dan Sjahrir seolah memulai perjuangan riilnya dari Sukabumi, walaupun pembuangan keduanya di Sukabumi berlangsung menjelang Jepang masuk dan selesai tak lama kemudian. Durasinya memang singkat, kurang dari dua bulan, mulai 3 Februari 1942 hingga 22 Maret 1942.
Pertemuan awal keduanya dengan asisten residen Sukabumi P. Huijsting menyiratkan tanda-tanda kehancuran Hindia Belanda sudah tidak lama lagi. Sejarah kecil dengan masa tahanan yang singkat ini, ternyata bergema besar karena menentukan nasib bangsa ke depannya.
4. Dari Sukabumi lahir gerakan bawah tanah dan gerakan kooperatif
Dalam buku Pembuangan Hatta dan Syahrir di Sukabumi terbitan Soekaboemi Heritages dan Yayasan Dapuran Kipahare, pasca masuknya Jepang ke Sukabumi, Sjahrir juga mengadakan pertemuan di Bandung, di antaranya dengan Hamdani, Subagio, dan Jacques De Kadt.
Pertemuan dan diskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan itu melahirkan kesepakatan untuk melakukan gerakan dua arah perjuangan kemerdekaan, yaitu melalui gerakan bawah tanah melawan Jepang dan gerakan kooperatif bekerjasama dengan Jepang.
Pertemuan selanjutnya dengan pembesar Jepang di antaranya dilakukan Sjahrir di sebuah restoran di seberang Stasiun Kereta Api Sukabumi, menyiratkan tekad besar Sjahrir untuk melakukan gerakan bawah tanah non kooperatif melawan Jepang.
Sementara Hatta dalam pertemuannya dengan perwakilan militer Jepang dari Bandung yang dibawa Sulaiman Effendi ke rumah tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sekolah Polisi, serta pertemuan dengan Kolonel Ogura di Pendopo Sukabumi yang diinisiasi Bupati Sukabumi kala itu, Soeria Danoeningrat, menjurus pada sikap kooperatif bersyarat.
BACA JUGA: Menyapa saksi sejarah perjalanan Tionghoa di Sukabumi
5. Titik balik perjuangan kemerdekaan Hatta dan Syahrir berawal dari Sukabumi
Peristiwa ini menjadi titik balik peran Hatta yang kemudian diangkat menjadi penasihat pemerintah terutama dalam melakukan bargaining dengan Jepang untuk melakukan persiapan kemerdekaan. Konon, di Pendopo Sukabumi-lah tercetus pernyataan Hatta untuk mau bekerjasama dengan Jepang, sepanjang adanya janji kemerdekaan.
Hal ini pula yang menjadi poin awal terbentuknya Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atas janji pihak Jepang.
Sjahrir dengan kelompoknya juga melakukan hal sama di bawah tanah, memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Uniknya kedua karakter berbeda ini akhirnya menyelesaikan persoalan bangsa dengan cara ekstrim; Menculik rekannya hingga bersepakat untuk mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan tanpa menunggu persetujuan Jepang atau sekutu.