Dalam buku 100 tahun Vihara (Klenteng) Widhi Sakti, Sekitar tahun 1910 di Kota Sukabumi terjadi wabah penyakit kolera.
Jika kita sering melewati Odeon, pasti akan melihat sebuah klenteng megah berhias Naga, itulah Vihara Widhi Sakti, sebuah vihara tertua di Sukabumi.
Kali ini Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB) Kipahare bersama Kuliner Kipahare Sukabumi (Kukis) mengunjungi dan menggali tentang sejarah vihara tersebut yang berhubungan langsung dengan sejarah warga Tionghoa di Sukabumi.
Konon, dulu Vihara Widhi Sakti ini bernama Kelenteng Bie Hian Kong. Hian atau Han berasal dari nama Dewa Han Tan Kong. Patung Dewa Han Tan Kong, berasal dari Tiongkok yang dibawa seorang bermarga Thung, patung tersebut diyakini sebagai dewa pelindung.
Nah, kali ini RPCB Kipahare dan Kukis (baca: Kukis keren bingits! Emak-emak XYZ Sukabumi hobi masak dan nyari duit ngumpul di sini).
dalam kegiatan Telusur Mingguan (Telmi) mencoba mengunjungi dan menelusuri bagaimana sejarah vihara tersebut yang ternyata berhubungan dengan Sejarah Tionghoa.
Kuy kita cek lima faktanya, Gaess:
1. Masuknya orang Tionghoa ke Sukabumi
Belum diketahui pasti sejak kapan orang Tionghoa masuk pertamakali ke Sukabumi, menurut Irman Firmansyah dari Soekaboemi Heritages, yang sedang menulis buku Perjalanan Masyarakat Tionghoa Sukabumi, menyebutkan bahwa seorang pendakwah Islam berdarah Tionghoa bernama Raden Qudratullah juga ada kuburannya di Pelabuhanratu.
Secara umum catatan kedatangan yang terekam dalam dokumen kolonial adalah pada masa Hindia Belanda, terutama dalam sensus tahun 1821, tercatat ada empat orang Tionghoa, laki-laki, wanita dan dua anak tinggal di Cikole.
Tahun 1843 Tan Soeij Tiong membeli konsesi perkebunan Sinagar untuk dijadikan perkebunan teh Cina, dimungkinkan dia juga membawa para pekerja Tionghoa. Tahun 1864 tercatat ada 98 orang Tionghoa di Sukabumi, tersebar di Gunungparang, Ciheulang, dan Cicurug.
Perkebunan Sinagar yang termasuk Distrik Ciheulang kemudian mengalami kemajuan di bawah kepemilikan EJ Kerkhoven sejak 1880 yang juga mempekerjakan mandor Tionghoa, bahkan memperistri orang Tionghoa bernama Goeij La Nio.
Sejak dibangun jalur kereta api pada 1882, semakin banyak orang Tionghoa masuk membentuk perkampungan Cina (Chinatown) sehingga mencapai 2.100 orang hingga 1905. Pada saat itu aktivitas keagamaan orang Tionghoa di Sukabumi berada di rumah-rumah yang disepakati. Salah satu tempat ibadah diantaranya adalah di Jalan Pelabuhan II.
2. Membantu menangkal wabah kolera di Sukabumi
Dalam buku 100 Tahun Vihara (Klenteng) Widhi Sakti, Sekira 1910 di Kota Sukabumi terjadi wabah penyakit kolera sangat berat hingga para dokter tidak sanggup menanganinya. Akibatnya, banyak mayat bergelimpangan di jalan.
Banyak orang yang menolong di antaranya Nyonya Zecha istri Kapitan Sim Keng Koen, Kapitan pertama di Sukabumi. Thung Hoat Tiat bersama beberapa temannya, berinisiatif meminta bantuan Thung Ni di Bogor dan berhasil meminjam patung Dewa Han Tan Kong yang dibawa dengan kereta api, untuk menangkal wabah tersebut.
Selanjutnya, dengan alasan Dewa Han Tan Kong diyakini telah menolong mengatasi wabah kolera, warga Tionghoa di Sukabumi menginginkan agar patung dewa tersebut tetap berada di Kota Sukabumi.
Keluarga Thung di Bogor dan Sukabumi akhirnya “menyerahkan” keputusan kepada Dewa Tan dengan cara menggunakan ciamsi, batang bambu untuk meramal, dan hasilnya ciamsi memilih untuk tetap di Sukabumi.
BACA JUGA:
Transformasi lambang Kota Sukabumi dari era Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka
Film ini dibuat zaman Belanda, nomor 5 produsernya wartawan asal Sukabumi
Tionghoa Sukabumi penerjemah Bung Karno, 5 hal mengenal Szetu Mei Sen
3. Tradisi mengarak Kongco dalam Cap Go Meh
Kongco kemudian ditempatkan di daerah Gudang Balok (Gang Murni, Jalan Pelabuhan II). Kemudian berdatangan warga bersembahyang kepada Kongco serta berdoa memohon keselamatan dan keberkahan. Saat itu juga masih banyak orang yang menguasai ritual Kitang (ritual menggunakan darah yang ditulis di atas kertas siukim) untuk menolong umat.
Dalam proses pengobatan masyarakat, Kongco menginginkan rupangnya digotong mengelilingi Kota Sukabumi untuk mengusir roh jahat yang mengganggu penduduk. Kongco diarak melalui rute Selatan Jl Pelabuhan II bawah (simpang) – sekarang daerah Bank Supra, timur Jl. Ciaul, utara Jl. Selabintana, barat Jl. Jendral Sudirman, Degung.
Di daerah empat penjuru itu kemudian ditanami masing-masing kepala sapi sebagai tumbal untuk melindungi kota Sukabumi dari roh-roh jahat. Akhirnya wabah berangsur-angsur hilang dan sejak saat itu Kongco diarak keliling Kota Sukabumi dalam acara Cap Go Meh.
4. Awal mula didirikannya klenteng
Dalam wawancara Mely G. Tan dengan anak Thung Hiat Tiat sekira 1956-1957, pada 1911 terjadi hujan angin di daerah Gudang Balok. Angin mencabut sebatang pohon bambu yang kemudian terbang dan menancap di daerah pesawahan (Jl, Pejagalan, tempat vihara berdiri sekarang). Konon, hal itu merupakan penanda bahwa Kongco ingin memilih tempat sendiri.
Akhirnya mulai dibangun klenteng di tempat tersebut, sementara dalam masa pembangunan, patung dewa disimpan di rumah Thung Hoat Tiat, sebuah rumah petak kecil di Jl. Plabuan II. Setelah kelenteng berdiri pada 1912 dan patung dipindahkan. Sebagai penghormatan dinamakan Klenteng Bie Hian Kong.
Menurut Bambang, pengurus yayasan di Vihara Widhi Sakti, klenteng ini sudah mengalami tiga kali renovasi sehingga bentuknya berubah total dari bentuk asli pertamakali. Bangunannya sudah meluas ke belakang dan bertingkat, sementara rupangnya sudah dibuatkan duplikat karena sudah rusak.
Waktu zaman orde baru, namanya berubah menjadi Vihara Widhi Sakti.
5. Simbol keragaman dan toleransi
Vihara ini menjadi simbol keragaman di Kota Sukabumi mengingat sudah lebih dari 200 tahun orang Tionghoa menghuni wilayah ini. Pada awalnya orang Tionghoa tinggal di Chinesekamp, Jl. Ahmad Yani sekarang, namun sesudah berdirinya klenteng, banyak yang mulai tinggal di sekitar klenteng.
Peduduk yang mayoritas Muslim sudah lama berinteraksi dengan masyarakat Tionghoa di sini dan hidup berdampingan. Secara sosial mereka berhubungan dalam perdagangan, mengingat kebanyakan profesi warga Tionghoa adalah pedagang.
Ada masyarakat muslim yang bekerja di toko Tionghoa atau berjualan di sekitar klenteng seperti tukang cakwe gado-gado, nasi kuning, dan sekoteng.
Di belakang Klenteng juga berdiri mushola, bahkan sebuah masjid dekat Lapang Danalaga dan Gang Murni menjadi tanda toleransi yang baik. Salah seorang mualaf Tionghoa juga membuka praktek dokter di seberang vihara. Bahkan, banyak pemuda Muslim mengikuti olahraga kungfu di vihara dan menjadi pemain barongsay.
Menjelang imlek Vihara juga menyalurkan bantuan bagi masyarakat tidak mampu, seperti beras sebanyak 5 kg per orang, dan bantuan lainnya.
Selama menerima kunjungan RPCB dan Kukis, keramahan nampak selalu terpancar dari para pengurus vihara dan masyarakat sekitar.
Keren kan, Gaess, toleransi warga Sukabumi?
Sekali-sekali mampirlah ke Odeon, bisa sekadar berbelanja, wisata kuliner, sekaligus mengunjungi vihara untuk menyapa bangunan saksi sejarah perjalanan Kota Sukabumi yang kita cintai ini. Tentunya dengan izin pegurusnya.
Tahun 1843 Tan Tiong Soeij belum lahir dan tidak pernah memiliki perkebunan teh. Di tahun 1843 belum ada marga Tan yang memakai nama Tiong dan umumnya memakai nama Goan. Tan Tiong Soeij pernah menjalani profesi sebagai distributor Teh untuk wilayah Bogor sekitar tahun 1920 – 1923. Keahlian beliau adalah arsitek bangunan.