Jurnalis kelahiran Sukabumi memproduseri film Setangan Berloemoer Darah.
Sejak kapan produksi film dilakukan di Indonesia, ya? Well, sebagai pengetahuan kalian generasi XYZ Sukabumi, film pertama kali diproduksi di Indonesia pada tahun 1926, di era kolonial Belanda. Judul filmnya Loetoeng Kasaroeng, diambil dari cerita rakyat Jawa Barat. Tentunya kala itu masih film bisu hitam putih ya, Gaess.
Berikut lima film yang pertama-tama diproduksi di Indonesia. Salah satunya adalah film yang diproduseri oleh seorang jurnalis beretnis Tionghoa kelahiran Sukabumi. Siapa dia? Silakan disimak ya, Gaess.
1. Loetoeng Kasaroeng (1926)
Loetoeng Kasaroeng diproduksi pada tahun 1926. Meskipun diproduksi dan disutradarai oleh orang Belanda, film ini merupakan film pertama yang dirilis secara komersial yang melibatkan aktor Indonesia.
Film yang masih dalam format bisu hitam putih ini disutradarai oleh duo Belanda, G. Krueger dan L. Heuveldrop. Film ini dibintangi oleh aktor lokal dari Perusahaan Film Jawa NV di Bandung. Film ini pertama kali tayang pada tanggal 31 Desember 1926 di Teater Elite and Majestic, Bandung.
BACA JUGA:
Dari Sukabumi sampai Cianjur dan buron 22 tahun, 5 fakta penjahat legendaris Eddy Sampak
5 alasan munculnya tuntutan Jampang mekar dari Kabupaten Sukabumi
2. Eulis Atjih (1927)
Ini adalah sebuah film bisu hitam putih bergenre melodrama keluarga. Film ini juga disutradarai oleh G. Kruger, namun dibintangi oleh aktris dan aktor lokal, di antaranya Arsad dan Soekria. Film ini diputar bersama-sama dengan musik keroncong yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Kajoon, seorang musisi yang populer pada waktu itu.
Film ini berkisah tentang Eulis Atjih, seorang istri yang setia dan harus hidup melarat bersama anak-anaknya karena ditinggal suaminya yang meninggalkannya untuk berfoya-foya dengan wanita lain. Walaupun dengan berbagai masalah, akhirnya dengan kebesaran hatinya Eulis mau menerima suaminya kembali walaupun suaminya telah jatuh miskin.
3. Lily Van Java (1928)
Lily Van Java adalah film Tionghoa pertama yang dibuat di Indonesia. Filmnya bercerita tentang cewek yang dijodohkan oleh orangtuanya padahal doi udah punya calonnya sendiri. Mirip-mirip Siti Nurbaya gitu kali ya, Gaess?
Film ini diproduksi perusahaan The South Sea Film dan pertama kali disutradarai oleh Len H. Roos, seorang Amerika yang berada di Indonesia untuk menggarap film Java. Ketika Roos pulang, penggarapan film dilanjutkan oleh Nelson Wong yang bekerja sama dengan David Wong, karyawan penting perusaahaan General Motors di Batavia yang berminat pada kesenian. Mereka membentuk Halimoen Film.
BACA JUGA:
Si Jampang urang Sukabumi bukan orang Betawi, ini 5 faktanya
Tionghoa Sukabumi penerjemah Bung Karno, 5 hal mengenal Szetu Mei Sen
4. Resia Boroboedoer (1928)
Dari judulnya, kalian pasti ngeh film ini bercerita tentang Borobudur. Film yang diproduksi oleh Nancing Film Co ini dibintangi oleh seorang aktor kenamaan waktu itu, Olive Young. Film bisu ini bercerita tentang Young Pei Fen yang menemukan sebuah buku resia (rahasia) milik ayahnya yang menceritakan tentang sebuah bangunan candi terkenal (Borobudur).
Diceritakan juga di candi tersebut terdapat sebuah harta karun yang tak ternilai, yaitu guci berisi abu sang Buddha Gautama. Wah, bikin penasaran ya, Gaess.
5. Setangan Berloemoer Darah (1928)
Ini adalah film yang diadaptasi dari sebuah novel yang dibuat oleh Tan Boen Soan (1905-1952), seorang wartawan Soeara Semarang. Tan Boen Soan juga menjadi produser film ini. Seperti film Lily Van Java (1928), film ini juga ditujukan buat penonton dari kalangan Tionghoa. Film ini bercerita seorang pemuda yang hendak balas dendam atas pembunuhan ayahnya, sebelum akhirnya memaafkan sang pembunuh.
Siapa Tan Boen Soan? Ia adalah jurnalis dan novelis kelahiran Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 1905. Ia mulai sekolah HCS di Sukabumi lalu ke Koninklijk Wilhelmina School di Batavia. Ia aktif di persatuan Tiong Hak di Sukabumi. Setelah lulus dari KWS ia bekerja di Staats Spoorwagen (Kereta Api Negara) di Weltevreden (kini Pintu Air), kemudian kembali ke Sukabumi menulis artikel untuk Sin Po dan Perniagaan.
Pada sekitar tahun 1932an, ia kembali ke Sukabumi dan menerbitkan suratkabar dwimingguan Asia yang lalu diubah menjadi Asia Baroe. Ia juga sempat menjadi kepala redaksi Soeara Semarang pada tahun 1947-1952 menjadi kepala redaksi Sin Min di Semarang.
Selain seorang jurnalis, Boen Soan juga seorang novelis. Ia juga menulis untuk Sedar di Jakarta dan Sunday Courier. Pada November 1951, ia dituduh membantu gerakan subversif “Barisan Tjitaroem.” Ia ditahan dan disiksa. Tak lama sesudah bebas ia meninggal dunia tanggal 12 Agustus 1952. (sumber: Tan Hong Boen hal. 230-231 dan Claudine Salmon hal 317). (dari berbagai sumber)