*The previous chapter: FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 11):Rahasia Kotak Besi
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
Kevin membuka sebuah tas kecil berisi peralatan seperti obeng dan lain-lain. Dia mengambil sebuah obeng kecil dan menyerahkannya pada Baboon.
“Ini. Aku rasa, baudnya cocok dengan obeng ini,” jelas Kevin. Baboon mengangguk pelan. Semua terlihat begitu tegang, Brian menggigit kuku jempolnya, Alice berkali-kali menelan ludah. Grace memandang AS, alatnya yang canggih dengan serius.
“Aku rasa kita harus membuka engselnya dulu. Setelah itu, kunci di bagian depan,” kata Grace sambil melihat Baboon untuk meminta persetujuan.
“Tidak, itu terlalu riskan!” ucap Alice. Jika bagian belakang di buka, ada kemungkinan tombol yang mencuat itu tertekan. “Bagaimana jika box ini meledak?” Alice memegang tangan Baboon yang memegang obeng.
“Ya, Alice! Kau lihat, kabel itu lebih banyak pada bagian belakang. Lagipula justru jika box ini dibuka di bagian depan tombol itu akan tertekan dan memiliki kemungkinan besar untuk meledak,” kata Brian Gusar. Baboon terdiam.
“Hahhh… Siapa sebenarnya yang mengirimkan box ini?” ucapnya setengah bergumam.
“Aku heran. Kenapa harus ada bom air di dalamnya? Dan apa sebenarnya isi dalam amplop itu?” Grace mendesah pelan.
“Tunggu!” ucap Kevin tiba-tiba. Semua menoleh padanya. “Bagaimana jika… Bagian manapun yang dibuka, box itu tetap akan meledak?” Kevin memandang satu-persatu rekannya.
“Kau benar, itu bisa terjadi.” Brian kali mengigit kuku jempolnya.
Tiba-tiba, pintu ruang kerja Baboon terbuka. Einstein masuk, bibirnya menyunggingkan senyum lebar. Ia berjalan seraya menggaruk kepalanya.
“Hei, kenapa kalian berkumpul di sini? Dan kenapa kalian terlihat begitu tegang?” Einstein terkekeh. Semua yang ada di dalam ruangan itu memandangnya dengan tajam.
“Apa aku salah bicara?” tanya Einstein lagi. Baboon menggeleng pelan. Ia menunjuk box hitam di atas mejanya
“Aku mendapat ini tadi pagi, tidak ada pengirimnya. Dan setelah ditelaah, di dalam box berisi sebuah amplop. Namun yang membingungkan, ada detonator yang bisa memicu ledakan di dalamnya.” Baboon menjelaskan seraya mengerutkan keningnya. Einstein memandang box itu, lalu tertawa keras. Ia terbahak hingga air matanya keluar.
“Kalian serius karena itu?” Einstein tertawa lagi lalu berguling-guling di atas lantai.
“Hey! Apanya yang lucu?!” Bentak Baboon kesal. Einstein tetap berguling-guling dan tertawa terbahak.
Alice mengepalkan tinjunya, lalu berkata sewot, “Profesor Einstein, apa kau pikir ini lelucon? Lihatlah…” Belum selesai Alice bicara, Einstein menghentikan aksinya, lalu menyuruh Alice diam.
“Aku yang mengirimnya,” ucapnya singkat.
“APA?” Semua yang ada di dalam ruangan itu, termasuk Baboon berseru kaget. Einstein tertawa kecil.
“Iya, aku lupa memberitahumu. Itu adalah surat dari Brigith sebelum kejadian penembakan di Central Park.” Einstein menutup mulutnya seraya terkekeh pelan. Baboon melemparkan obeng yang dipegangnya, Alice, Grace, Kevin dan Brian terduduk lemas.
“Sialan kau kakek tua!” Brian mengumpat pelan. Grace tertawa pelan.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Kevin.
“Bukankah ini lucu? Kita terlalu skeptik menghadapi berbagai hal,” Grace tersenyum geli. Brian, Alice dan Kevin saling memandang.
“Kau benar. Mungkin kita terlalu serius untuk banyak hal. Tapi, Prof. Kenapa kau mengirimkan surat dalam kotak berbahaya seperti itu,” Alice merengut.
“Berbahaya? Apanya?” Einstein berkata bingung. Grace menunjukkan gambar di layar AS, alat canggih miliknya. Einstein kembali tertawa.
“Ini tidak seperti dugaanmu. Lihatlah.” Einstein menekan tombol kunci box hitam itu. Terdengar bunyi KLIK, tutup box terbuka. Perlahan, surat itu muncul ke permukaan. Semua terdiam dan menganga.
“Tombol itu hanya untuk penggerak saja,” jelas Einstein enteng.
“Lalu airnya?” tanya Brian.
“Itu untuk memberikan tekanan. Dari bawah saja,” kata Einstein sambil mengelus dagunya. Brian mendesah kecewa. Baboon cemberut. Kevin dan Alice hanya terdiam memandang Einstein. Sementara Grace mengambil surat itu, dan mengibaskannya di udara.
“Ini Surat dari ibuku? Bagaimana jika kita baca sekarang?” Grace begitu bersemangat dengan adanya surat itu. Dia ingin tahu, apa yang dituliskan ibunya di dalam surat itu. Apakah itu wasiat? Atau informasi penting yang seharusnya diungkap?
“Baiklah, kita buka surat itu. Dan Einstein, lain kali, jika kau ingin mengirimkan barang padaku. Beritahu aku dulu sebelumnya,” ucap Baboon kesal. Einstein tertawa.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Sudah Mati!
(Di Kantor Polisi)
“Inspektur Richard, ada laporan dari salah satu warga Fifth Avenue. Dia mengatakan ada sekelompok gangster berkeliaran bolak-balik di jalanan. Walaupun tidak terjadi keributan, namun banyak warga yang ketakutan,” ucap seorang opsir polisi dengan wajah bulat dan berkumis tipis. Richard yang sedang menaiki tangga berhenti dan menanggapi laporan tersebut.
“Bagaimana pelapor tahu itu gangster?” tanya Richard seraya memandang opsir itu.
“Dia melihat ada tato di lengan mereka,” jawab sang opsir.
“Tato?” Richard mengernyitkan keningnya.
“Iya. Tato dengan huruf ‘H’ latin. Ini fotonya,” Opsir itu menyerahkan sebuah map berisi cetakan gambar yang diambil oleh pelapor.
“Ah… Baiklah. Kirim patroli ke daerah itu. Siapkan beberapa personil berpakaian preman untuk berjaga di sana. Laporkan jika ada sesuatu yang janggal,” ujar Richard sambil mengembalikan Map itu.
“Tapi Inspektur…” Opsir itu menatap Richard penuh arti.
“Kenapa?” tanya Richard.
“Mereka berkeliling di daerah tempat tinggal teman baik Anda,” kata Opsir masih memandang Richard dengan aneh.
“Teman baikku?” Richard menggaruk kepalanya.
“Iya, mereka berkeliling di daerah tempat tinggal Dokter Grace,” ucap opsir yang membuat Richard terdiam sesaat.
“Baiklah. Lakukan perintahku tadi. Aku akan menghubungi Grace untuk memastikan sesuatu.” Richard menepuk pundak opsir itu lalu melangkah menaiki tangga menuju kantornya.
“Grace, aku harap tidak ada sesuatu yang terjadi padamu,” batin Richard. Ia mengangkat ponselnya, laku menekan nomor Grace. Namun berkali-kali ia mencoba menghubungi, Grace tidak mengangkatnya.
“Sedang kesulitan menghubungi seseorang.” Sebuah suara mengejutkan Richard. Ia menatap sosok itu, wajahnya berubah menjadi pucat.
“Kau?”
[To the next Chapter]