Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Kolonel saat Perang Bojongkokosan berkecamuk di Sukabumi.
Generasi yang melalui era Orde Baru (Orba, 1966-1997/98) pasti lebih familiar dengan sosok Jenderal Besar TNI Abdul Haris (A.H.) Nasution. Sementara kalangan milenial mungkin samar-samar tentang A.H. Nasution. Sebagian hafal mungkin dari film Pengkhianatan G 30S/PKI yang di masa kampanye Pilpres jadi salah satu materi gorengan para politisi di berbagai medsos.
Dalam film itu, A.H. Nasution adalah satu-satunya jenderal yang selamat dari penculikan gerombolan Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung. Namun sayangnya, salah satu putri Nasution bernama Ade Irma Suryani dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean, tewas terkena tembakan pasukan yang hendak menculik bapaknya.
Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional, ia lahir di Kotanopan, 3 Desember 1918 dan meninggal dunia pada 6 September 2000 di Jakarta. Jabatan dalam kabinet yang pernah dipegangnya adalah Menteri Keamanan Nasional, Menteri Pertahanan Republik Indonesia pada Kabinet Dwikora I, Kabinet Kerja I, dan era Kabinet Demokrasi Terpimpin
Well, banyak sudah pastinya tulisan tentang salah satu dari tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia ini (dua lainnya Jenderal Sudirman dan Jenderal Soeharto). Namun demikian, kalian gen XYZ Sukabumi tahu gak kalau A.H. Nasution yang merupakan pahlawan nasional pernah menjadi pelarian dari KNIL dan bolak-balik di Sukabumi dan sekitarnya guna mengelabui Belanda?
Berikut lima fakta sejarah yang diadaptasi Sukabumixyz.com, terutama dari buku autobiografi yang ditulis A.H. Nasution sendiri berjudul Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989: 84).
[1] Saya bukan Belanda
Di masa-masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, ketika balatentara Jepang mendekat ke Hindia Belanda. Letnan muda KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda) bernama Abdul Haris Nasution pun sadar diri. “Saya bukan Belanda,” seperti diakuinya dalam autobiografi “Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989: 84).”
Nasution kala itu berusia 23 tahun tak mau berlama-lama lagi dalam pasukannya yang kala itu (sekitar awal tahun 1942) sudah mundur sampai ke Jember (Jawa Timur, hamper ke Banyuwangi). Nasution muda pun membuat rencana kabur. Pertama yang ia lakukana adalah mendapatkan sarung dan baju ala orang kampong. Nasution menyulap celana panjang tentara warna hijau pun jadi celana pendek.
[2] Nasution kabur dari kesatuan KNIL
Di hari Nasution menjadi komandan piket, tepat pukul 04.00, ia kabur ke kampung tanpa ketahuan serdadu-serdadu lain dengan berjalan kaki. Setelah berjam-jam berjalan, Nasution tiba di jalan besar. Dari sana ia nebeng cikar (sejenis alat transportasi zaman dulu seperti delman namun ditarik oleh sapi).
Sesampainya di kota, Nasution menuju rumah seorang nasionalis dari Partai Indonesia Raya (Parindra) bernama Artawi, kawannya waktu belajar di sekolah guru di Bandung. Di rumah Artawi, Nasution bersembunyi selama 24 jam.
Artawi, sang tokoh Parindra tak hanya menampung. Ia juga mencarikan alat transportasi untuk Nasution kabur, yaitu sebuah sepeda pancal atau sepeda engkol. Nasution menggowes sepedanya dengan berpakaian sarung, seperti kebanyakan kaum santri Jawa Timur-an. Dia mengayuh sepedanya ke arah barat.
editor’s picks:
Meluruskan benang kusut sejarah Hiroshima 2 di Sukabumi
Menjahit catatan sejarah sisa amuk massa di Pabrik Tekstil Tjiboenar Kadudampit Sukabumi
Dibangun 1922, dari Bandara Cikembar pasukan Jepang menguasai Sukabumi
[3] Sepanjang perjalanan teringat kampung halaman
Desa-desa yang Nasution lewati sepanjang pelariannya dari KNIL cukup sepi. Menurutnya, penduduk sedang mengungsi karena takut kena bom atau peluru nyasar dari Jepang atau Belanda. Nasution jadi ingat kampung halamannya. “Medan wilayah ini adalah seperti di kampung saya di Mandailing, yakni berbukit-bukit dan dengan sungai-sungai serta sawah-sawah.” Demikian tulisnya dalam buku autobiografinya.
Nasution tiba di Lumajang. Dari Lumajang, perjalanan Nasution berlanjut menyinggahi kota-kota lain di Jawa Timur. “Saya melewati Pasuruan, Mojokerto, Sala, Yogya, Kroya, Banjar terus ke Bandung dalam tempo lebih kurang dua minggu,” aku Nasution. Di sepanjang jalan, ia menemui orang yang dikenalnya.
Tak seluruh perjalanan pelarian Nasution ditempuh dengan sepeda. Jika ada kereta api yang berjalan ke arah barat, Nasution membawa naik sepedanya sekalian. Namun demikian, tak tiap hari pula Nasution mengayuh sepeda atau berada di atas kereta. Ada hari ketika Nasution beristirahat sehari atau dua hari di sebuah kota. Istirahat terakhirnya di Banjar selama dua hari, sebelum akhirnya naik kereta lagi menuju Bandung.
[4] Tiba di Bandung
Akhirnya Nasution tiba di Bandung yang kala itu masih sepi. Bandung menjadi tempat tujuan Nasution karena ia pernah sekolah di sana dan karenan ya ia mempunyai banyak teman. Tempat yang dituju Nasution adalah rumah Rahmat Kartakusumah, kawannya di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung. Ketika Nasution sampai di kediaman Rahmat, sang tuan rumah sedang jadi tawanan Jepang.
Demi keamanan keluarga Kartakusumah, Nasution naik sepeda lagi menuju ke arah barat lagi. Dia akhirnya sampai di Cianjur dan bermalam di sana. Esoknya, Nasution mengayuh lagi sepedanya menuju Sukabumi.
[5] Bolak-balik Sukabumi demi mengelabui Belanda
Dalam ingatan Nasution kala itu, Sukabumi tidak jauh beda dengan Bandung, masih sepi. Di Sukabumi lah Nasution bertemu kawan gurunya di Sumatra Selatan dulu. Selama beberapa hari, Nasution berdiam di Sukabumi dan kadang-kadang bolak-balok ke Cianjur.
Dua-tiga minggu kemudian, Nasution kembali masuk ke Bandung. Nasution mulai bias menemui rekan-rekannya. Salah satunya Sukanda yang mengantar ia menemui tokoh Bandung, Dr. Djundjunan Setiakusumah. Di rumah Dr. Djundjunan, Nasution juga bertemu dengan berbagai tokoh nasional di antaranya Ahmad Tirtosudiro.
Namun demikian, karena situasi di Bandung masih belum aman bagi Nasution, ia pun bolak-balik lagi Cianjur-Sukabumi-Bandung untuk mengelabui Belanda dan Jepang. Sambil menanti situasi aman, waktu sembunyi di sebuah desa (di Sukabumi atau Cianjur?), Nasution sempat menjadi petani kacang.
Demikianlah sekelumit kisah A.H. Nasution terutama dari sisi persentuhannya dengan Sukabumi. Sebagai tambahan, pada tahun 1946 Nasution menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Kolonel. Di masa kepemimpinannya lah perang Bojongkokosan terjadi. Kolonel A.H. Nasution dikatakan melakukan komunikasi yang intensif dengan bawahannya, Letkol Eddy Soekardi sebagai komandan TKR di Perang Bojongkokosan.