Sebelum kematiannya tahun 1955, Boen banyak melakukan aksi sosial dengan mendonasikan hartanya.
Jika gen XYZ Sukabumi pernah ke Situ Gunung di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, pastinya pernah melihat reruntuhan bangunan tua yang masih berdiri dengan tulisan Tjiboenar, lokasinya berada di tengah sawah.
Bangunan ini ternyata sangat bersejarah lho, Gaess, terutama terkait dengan sejarah pertekstilan di Sukabumi. Sayangnya memang tidak semua orang tahu, bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai benteng Belanda.
Duh, jangan sampai kita tidak mengetahui kesejarahan yang ada di kota kita sendiri ya, Gengs. Nah, biar gak gagal paham, simak kuy lima paparan berikut.
[1] Sasaran vandalisme dan baligho caleg
Bangunan ini berada di tengah sawah milik warga, sisa bangunan yang masih terlihat adalah tembok berupa fasade pabrik yang membentang mirip jendela-jendela berukuran besar. Beberapa puing bangunan nampak masih tersisa, kemudian sebuah menara seperti bekas cerobong asap tinggi menjulang sekira 30 meter.
Karena letak bangunannya di pinggir jalan, maka banyak orang memanfaatkannya untuk berswafoto atau melakukan pemotretan pre wedding.
Namun, sayangnya ada saja yang menjadikannya sasaran aksi vandalisme dengan mencorat-coret dinding tersebut sehingga nampak kurang indah. Bahkan, beberapa waktu lalu sempat sebuah baligo caleg dipasang di lokasi tersebut. Selang beberapa waktu baligo itu dicabut kembali, setelah muncul protes dari komunitas sejarah.
Tim dari Reenactor Explore Kipahare (REK) dan Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB) melakukan kunjungan untuk memastikan bahwa bangunan tersebut steril dari baligo dan aksi vandalisme. Irwan Irhas dari tim REK menyebutkan bahwa masih terlihat sisa aksi vandalisme berupa coretan-coretan di dinding. “Padahal sebenarnya bangunan ini bisa menjadi salah satu pilihan wisatawan untuk sekadar melakukan foto-foto.”
Sementara Yepsa Dhinanty dari RPCB berpendapat bahwa sangat sulit untuk menjaga bangunan ini dari aksi vandalisme mengingat bangunan tersebut tidak ditetapkan sebagai cagar budaya. “Di samping itu, karena berada di tempat terbuka, tentu wargapun sulit menegur atau melarang jika ada orang-orang tak dikenal berada di kawasan itu. Jadi salah satu upaya kecil yang bisa dilakukan adalah memagarinya, kemudian membuat plang keterangan bahwa bangunan ini bersejarah sehingga diharapkan orang mengerti dan tidak merusaknya.”
[2] Toponimi Cibunar dan para pejuang di kampung tempo doeloe
Cibunar adalah sebuah kampung yang terletak di Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Kampung ini dilewati oleh para pengunjung yang hendak pergi ke lokasi wisata seperti Situ Gunung, Curug Cibeureum, dan Gunung Gede Pangrango.
Cibunar sendiri berasal dari kata “Ci”, sebutan lain untuk cai yang berarti air. Sedangkan “bunar” berarti sejenis bambu berukuran kecil dibanding jenis bambu lainnnya. Pada umumnya toponimi di daerah sunda memang mengandung unsur air sebagai unsur kehiduan, sementara bunar yang disebut diwilayah Baduy sebagai gombong, yang kemungkinan pernah tumbuh di tempat tersebut sehingga disebut Cibunar.
Pada masa perjuangan, Cibunar menjadi tempat bergerilya para pejuang. Dalam memoar yang ditulis Poncke Princen, seorang desersir Belanda yang berbalik berpihak ke republik. Dalam catatannya, Princen menyebut jika Cibunar menjadi tempat pelarian pejuang sesudah mencuri senjata dari pabrik-pabrik yang berada di sekitar Cisaat.
Dituturkan Heri Sake dari REK, Kampung Cibunar adalah zona gerilya para pejuang, karena letaknya yang strategis, di pinggir jalan. Namun, para pejuang bersembunyi dan berlindung di Kampung Cijarian Panday, Desa Cipetir, Kecamatan Kadudampit, sebuah kampung yang juga dikunjungi Tim REK dan RPCB.
Di Kampung Cijarian Panday pun masih tersisa bangunan-bangunan yang masih asli, dibangun sekira 1925 yang arsitekturnya masih terjaga. Bahkan, sebagian aksesoris rumah masih asli seperti perlengkapan pintu dan jendela.
Selain itu, Cijarian Panday juga dikenal karena hampir seluruh warganya memproduksi senjata tajam berbahan besi seperti golok, pedang, keris, dan lainnya. Melihat lokasinya, sangatlah tepat jika kampung ini dijadikan markas pejuang selain, selain lokasi sedikit tersembunyi, tetapi terdapat kelengkapan dan fasilitas untuk menunjang kebutuhan sehari-hari.
Sungguh sebuah kampung yang cocok menjadi lokasi persembunyian, terlebih pada masa perjuangan, seperti dituturkan warga, kampung ini dari kejauhan terlihat layaknya hamparan kebun salak.
BACA JUGA:
Akhir tragis “Si Rambo”, Wali Kota Sukabumi pertama
Mengungkap catatan sejarah dan suka duka pembangunan jalur KA Buitenzorg-Soekaboemi
Menyingkap alasan MH Thamrin batal menjadi Burgemeester Soekaboemi
[3] Karyawannya 1.000 orang dan menjadi tujuan tour industri
Pabrik Tekstil Tjiboenar merupakan pabrik skala besar pada masanya,
dibangun sekira Mei 1935 dilengkapi mesin-mesinnya impor dari Jepang senilai 15.000 Gulden (NLG). Selain bangunannya yang megah, pabrik ini mempekerjakan sekira 1,000 orang pekerja.
Salah satu yang membangun gedung ini adalah anak pemilik bernama Tan Hiat Tin yang melakukan kerjasama dengan pabrik mesin di Jepang. Sedikit menghebohkan saat itu, karena bekerjasama dengan Jepang diprediksi akan menghemat cost dibanding menggunakan mesin-mesin buatan Eropa.
Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan pabrik-pabrik tekstil milik pengusaha Belanda, bahkan media massa pada saat itu menyebutnya sebagai persaingan Jepang di Hindia Belanda. Setahun kemudian muncul kepemilikan atas nama Tan Tiong Gie dan Tjong Boen Hok di bawah manajemen Handel Mij fabriek Tjiboenar.
Boen tak hanya membuat satu pabrik saja, tetapi tiga pabrik sekaligus di tempat yang berbeda, yaitu Tjiboenar I di Kadudampit, Tjiboenar II di Kota Sukabumi (Jalan Pelabuhan 2), dan di Jakarta (daerah Jembatan Lima). Bahkan, karena ketenarannya, pabrik ini seringkali menjadi lokasi wisata industri, misalnya menjadi tujuan tur industri rombongan yang dipimpin Van Huisvrouwen pada Mei dan November 1941.
Industri tekstil di Sukabumi sebenarnya memang sudah sejak dahulu berkembang, namun terbatas pada industri rumahan dengan peralatan sangat sederhana sehingga produksinya juga terbatas. Pada masa itu, Cisaat hingga Kadudampit merupakan salah satu sentra tenun di Sukabumi, selain wilayah Baros dan Jampang.
Pasca dibangunnya Pabrik Tekstil Tjiboenar, peta pertekstilan mulai berubah, Sukabumi menjadi sentra nasional yang mendukung kebutuhan tekstil di Hindia Belanda.
Kedekatannya dengan industri di Jepang juga melindungi pabrik ini ketika Jepang masuk. Bahkan, ketika pemerintah Jepang kemudian memintanya untuk memasok seragam tentara Jepang. Pada tahun 1943, Boen Hok Tjiong ditunjuk menjadi Ketua Tekstil Nusantara, dan Pabrik Tekstil Tjiboenar menjadi pusat tekstil nasional.
[4] Dibakar pada masa agresi Belanda sentimen warga
Menjelang keruntuhan Hindia Belanda, muncul banyak sentimen etnis dan ideologi di kalangan masyarakat terutama di daerah-daerah. Pabrik Tekstil Tjiboenar yang dimiliki orang Tionghoa tak luput dari sasaran sentimen tersebut, padahal banyak warga setempat yang menggantungkan hidupnya di pabrik tersebut.
Dalam Berita Priangan tahun 1937 disebutkan, selain mampu meningkatkan kesejahteraan warga, Pabrik Tekstil Tjiboenar juga menjadi pendorong mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Pada Februari 1940, dua pemuda Tionghoa staf Pabrik Tekstil Tjiboenar sedang mencari makan di warung sekitar pabrik, kemudian terlibat percekcokan dengan sekelompok pemuda. Kabarnya, sudah ada sentimen etnis pemuda setempat yang tidak terserap bekerja di pabrik terhadap pekerja Tionghoa tersebut, dan mereka hendak mengusirnya.
Percekcokan akhirnya berujung penganiayaan, dimana seorang pemuda memukul wajah pekerja tersebut dengan batu sehingga tulang tengkoraknya patah. Singkat cerita, si pemuda kemudian dijatuhi hukuman enam bulan penjara.
Sentimen sebagian orang yang tak bertanggungjawab ini terus berlanjut ketika Jepang masuk, karena Pabrik Tekstil Tjiboenar malah mendukung aksi penjajahan Jepang. Namun, hal ini bisa diredam karena ketatnya penjagaan Jepang dan kebutuhan sebagian warga yang tergantung dengan keberadaan pabrik tersebut.
Pasca Indonesia merdeka tak terjadi hal apapun terhadap pabrik, mengingat banyak warga yang masih bekerja di Pabrik Tekstil Tjiboenar. Semenatar itu, para pejuang masih berfokus menghadang pasukan sekutu.
Namun, Juli 1947, muncul imbauan untuk melakukan bumi hangus dari pihak pejuang kepada masyarakat agar fasilitas yang ada tidak dipergunakan oleh pasukan Belanda. Akibatnya, banyak pabrik, toko, dan gudang, menjadi korban aksi bumi hangus tersebut.
Pun demikian dengan Pabrik Tekstil Tjiboenar, akhirnya terkena dampaknya. Warga yang yang menuding pabrik itu sebagai simbol kolonialisme, merasa mendapatkan amunisi. Ibarat api yang disiram bensin, warga berbondong-bondong menghancurkan dan membakar pabrik tersebut. Tak ayal, mesin-mesin buatan Jepang yang canggih pada masanya, hancur dilalap api. Bahkan, sebagain besar bangunan pun rata dengan tanah.
Total kerugian diperkirakan 20.000.000 NLG, yang juga berakibat hilangnya mata pencaharian para pekerja dan warga.
[5] Tjiong Boen Hok, wakil rakyat kabupaten jadi sasaran perampokan
Tjiong Boen Hok, pemilik Pabrik Tekstil Tjiboenar, lahir pada 1891 di Cisaat, dari orang tua bernama Gin Tjin Tjiong dan Sioe Nio Tan. Boen sendiri adalah Pemilik Rijstpellerij (sebuah penggilingan padi) di Sawahlega, Cisaat dan pabrik tenun lain di Sukabumi bernama Hwa Nan. Penggilingan padi milik Boen diantaranya Hwa Nan, Sawahan, dan Djati Poetih. Selain itu, Boen juga menjadi administratur onderneming “Pada Asih” sekaligus pemilik NV. Handel, Industrie, Bouw & Cultuur Mij, Tjiong Boen Hok.
Pada 1925, Boen diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat Kabupaten mewakili wilayah Cisaat, mewakili etnis Tionghoa. Posisi Boen yang penting ini tidak lepas dari perhatian para pengusaha saat itu. Ketika Jepang masuk sempat muncul desas-desus bahwa pemilik Pabrik Tekstil Tjiboenar ini dibunuh tentara kempetai. Namun, informasi tersebut ternyata hanya hoaks belaka.
Pada masa revolusi fisik, seperti pada umumnya pengusaha besar saat itu, banyak yang tergabung dengan organisasi Chung Hua Hui dan merekrut pasukan Pao An Tui untuk menjaga asetnya. Tjiong sendiri merekrut pasukan Pao An Tui untuk menjaga pabrik di Pada Asih.
Namun, nahas pabriknya kemudian dijarah pasukan Poncke Princen yang membawa serta beberapa pejuang. Nampaknya kemalangan ini terus berlanjut saat perang usai, pada Kamis malam di bulan Agustus 1950, sekelompok orang bersenjata mendatangi kediamannya, di Jalan Han nomor 1, Jakarta.
Gerombolan tersebut nampak berseragam terdiri dari delapan orang dilengkapi dua colt automatic, tiga stens dan carabine, disusul kemudian powerwagon dengan tanda merah-putih-biru dipimpin kepala gerombolan, seorang warga Eropa. Mereka kemudian merampok rumahnya dan mengambil beberapa jam tangan dan perhiasan senilai 30 juta NLG.
Namun karena kepintaran bisnisnya, Boen tetap bertahan. Tahun 1949 dia mengkuti sekolah tinggi tekstil di Enschede, kemudian melanjutkan perusahaan-perusahaannya (kecuali Tjiboenar, Kadudampit) hingga tahun 1950an. Tahun 1953, ia melakukan konsolidasi semua anak perusahaannya di bawah satu manajemen.
Sebelum kematiannya tahun 1955, Boen banyak melakukan aksi sosial dengan mendonasikan hartanya.
Nah, sekarang sudah tahu dong, ternyata tembok tersebut sangat bersejarah ya, Gaess. Karenanya penting bagi kita generasi penerus bangsa untuk melindunginya bersama.
Jika ada yang bersedia mengecatnya, memagarinya dan bahkan membuat plang supaya dikenal orang, tentu akan sangat bermanfaat, Gaess.
kang admin punten bade naros,abdi teh mndengar info bahwa di daerah cimanggu plabuhan ratu kapungkur aya pabrik karet belanda nu nami katelah na pabrik citano.saur na bangunan na aya knh sreng khas belanda.ku abdi kmri d telusuri leres jaln na mh aya,tp tos jd hutan belantara,abdi ge teu dugi k pabrik na berhubung serem jaln na.mun leres aya knh teh nyaah ktu aya bngunan belanda nu teu k ekpos sreng teu k urus.
ditunggu ya