Ort menikahi Noeraini, dan di museumnya disebutkan jika sang kakek meninggal di Sukabumi. Jika benar maka yang dimaksud adalah George Anton Ort pengusaha hotel yang mengakuisisi Hotel Victoria Sukabumi.
Hai XYZ-ers, pasti tahu dong siapa pahlawan MH Thamrin? Beliau adalah pahlawan dari Batavia (Jakarta) yang memperjuangkan hak-hak kaum pribumi, dan bahkan namanya diabadikan menjadi nama jalan.
Namun, yang belum banyak kita ketahui ternyata MH Thamrin memiliki hubungan emosional erat lho dengan kota kita tercinta. Kita simak yuk lima faktanya, Gaess.
[1] Pejuang muda Betawi
Muhammad Husni (MH) Thamrin lahir di Sawah Besar, Jakarta, 16 Februari 1894 dari keluarga terpandang Thamrin Mohammad Thabrie, seorang yang pernah menjabat wedana Batavia sekira 1908. MH Thamrin seorang pahlawan yang ditetapkan melalui Surat Keterangan Presiden Nomor 175 Tahun 1960, karirnya di pemerintahan sudah ditempa sejak dini yaitu semasa bersekolah di Hogere Burgeschool (HBS) Koning Willem III di Salemba.
Saat itu Thamrin sudah magang di kantor patih Batavia, sesudah itu dia bekerja di kantor residen Batavia dan berlanjut di perusahaan pelayaran KPM Afdeeling Boekhouding, sebuah usaha pelayaran terbesar di Hindia Belanda saat itu. Thamrin kemudian diangkat menjadi anggota Volksraad tahun 1919 dalam usia sangat muda, 25 tahun.
Dia juga aktif dalam perkumpulan kepemudaan dan bergabung dalam Batavia Berichiar pada 1920. Perkumpulan itu menjadi tulang punggung perkumpulan Persatuan Kaum Betawi yang kemudian meleburkan diri ke dalam Partai Indonesia Raya pada 1935. Thamrin dikenal sangat keras, ia kerap mengkritisi persoalan pajak, sewa tanah, dan lainnya yang dianggap memberatkan rakyat.
Thamrin juga sempat menjadi pejabat hukum (Wethouder) pada 1923, dan Wakil Wali Kota Batavia (loco Burgemeester) pada 1929. Sebagai pejabat, ia kerap memperjuangkan hak pribumi untuk memperoleh pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang layak. Setelah dr. Sutomo wafat pada 1938, Thamrin menggantikannya sebagai wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra).
[2] Kakeknya pemilik Hotel di Sukabumi?
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kakeknya adalah Ort, seorang warga negara Inggris, pemilik hotel Ort di kawasan Weltreveden Batavia. Ort menikahi Noeraini, seorang perempuan Betawi. Bahkan di museumnya disebutkan bahwa sang kakek meninggal di Sukabumi, jika benar maka yang dimaksud adalah George Anton Ort pemilik Hotel Ort di Batavia yang kemudian mengakuisisi Hotel Victoria Sukabumi.
Namun, 3 bulan sebelum kelahiran Thamrin, G.A Ort meninggal di Sukabumi pada 28 Desember 1893. Dalam keterangan keluarganya konon Ort sudah tinggal di Sukabumi sejak 1876 dan memiliki Hotel. Sementara fakta mengenai Hotel Victoria baru dibuka pada 1 Mei 1883 oleh Mr Broers seiring dengan pembukaan jalur kereta api Buitenzorg-Soekaboemi pada 1882.
Belum diketahui apakah Hotel Victoria sebelumnya sudah ada dengan nama Ort ataukah Mr Broers ini sebenarnya manajer yang diperkejakan oleh Ort. Penelusuran penulis dari beberapa media saat itu ternyata G.A. Ort mengakuisisi Hotel Victoria pada 1 Januari 1887 dari pemilik lama, Mr. Broers. Setelah beberapa tahun, hotel yang cukup terkenal dan kerap dikunjungi orang-orang penting tersebut kemudian dijual kepada Lenne pada Desember 1894, tepat setahun sesudah kematiannya.
Ort sendiri mempunyai istri resmi bernama Ida Wilhelmina Abraham de Melverda yang dinikahinya pada 6 Oktober 1894 di Sukabumi. Sayangnya, dua minggu kemudian sang ibu meninggal dunia di Sukabumi, yakni pada 18 Oktober 1894.
Jika riwayat Thamrin yang dihubungkan dengan Ort benar, dimungkinkan bahwa dimasa akhir kejayaanya, Ort sempat menikahi seorang Nyai asal Betawi yang melahirkan seorang anak, namun kemudian dia meninggal sebelum anaknya lahir. Hubungan Nyai pribumi dan tuan eropa saat itu tidak diakui sebagai pernikahan resmi sehingga catatan resmi mengenai pernikahan ini tidak ada sama sekali.
Penjualan Hotel Victoria bisa dipastikan karena tidak ada keluarga yang meneruskannya, mengingat putra satu-satunya, George Marinus Cornelis Ort, memilih menjadi perwira di KNIL.
BACA JUGA:
Sempat akan dibatalkan, Gemeente Soekaboemi berawal dari ketidakpuasan orang Eropa
Catatan dari balik sejarah Balai Kota Sukabumi, dari Lie Ek Tong, resesi ekonomi, hingga sosok hitam
Kisah perdebatan Nyai Roro Kidul yang ingin hidup sampai kiamat, netizen Sukabumi tahu?
[3] Diincar Belanda karena kasus-kasus di Sukabumi
Selain hubungan dengan leluhurnya di Sukabumi, Thamrin juga memerhatikan kasus-kasus yang terjadi di Sukabumi, salah satunya adalah masalah keuangan yang terjadi di Gemeente Sukabumi. Thamrin meminta penyelidikan resmi atas kasus maladministrasi dan keuangan yang dilakukan oleh Wali Kota Sukabumi Rambonnet, hal yang akhirnya mematikan karir Rambonnet di pemerintahan. Baca kisahnya Akhir tragis “Si Rambo”, Wali Kota Sukabumi pertama.
Thamrin juga sudah menjalin hubungan lama dengan beberapa kelompok di Sukabumi, dalam beberapa kasus mengenai hak-hak pribumi yang terjadi di Sukabumi dibawanya ke Volksraad untuk diangkat. Pada 4 september 1931 Thamrin mengangkat kasus tentang penunjukan layanan reparasi alat ukur di wilayah Cibadak dan Cicurug (sekarang Kabupaten Sukabumi), kasus ini muncul karena banyak masyarakat merasa pengukurannya keliru sehingga merugikan masyarakat.
Kasus ini diungkap Thamrin dengan menuduh adanya tindakan akal-akalan antara dinas yang mengurusi kalibrasi di Bandung, pemilik modal, serta tukang reparasi. Karena kegiatannya Thamrin terus dibuntuti intelijen Belanda (PID), April 1932 kendaraan yang dikendarainya tiba-tiba mengalami kecelakaan di Cicurug yang menyebabkan beberapa orang luka-luka, namun ia selamat.
Kedatangannya ke Hotel Victoria Sukabumi bersama Koperdiningrat pada 23 Juli 1932 diisukan sebagai kasus pernikahan tidak sah. Koperdiningrat yang menemui penghulu Sukabumi dituduh hendak melakukan pernikahan tidak sah dan Thamrin menjadi saksinya.
Namun, isu-isu tersebut tak menghentikan perjuangan Thamrin, malah pada Oktober 1932 Thamrin membahas pentingnya kepemilikan lahan perkebunan oleh pribumi di Sukabumi, salah satunya adalah perkebunan Goalpara yang mempekerjakan 500 orang.
Menurut Thamrin orang Bumiputera harus membeli perkebunan-perkebunan tersebut, kemudian disewakan kepada para pengusaha Eropa untuk dikelola sambil melakukan transfer pengetahuan. Karena sikapnya itu dalam beberapa media dia dicap sebagai nasionalis yang anti imperialis dan modal asing.
[4] Hampir menjadi Wali Kota Sukabumi
Ketika desas desus tentang rencana pemindahan Wali Kota Sukabumi Rambonnet ke Buitenzorg (Bogor) yang berkembang di kalangan politisi, terutama terkait isu pemimpin pribumi makin menguat dan didukung banyak tokoh pergerakan termasuk Thamrin, hal ini menyebabkan perlawanan dari Indo Europeesche Verbond (IEV) sebuah organisasi yang membawa kepentingan orang-orang Indo Eropa yang mulai terdesak oleh pribumi di kalangan pemerintahan.
Organisasi ini dimaksudkan untuk meredam ide-ide radikal nasionalis di kalangan pribumi terdidik dan orang Eropa yang menghendaki otonomi hingga kemerdekaan penuh Hindia Belanda dari Belanda.
Sjam Ratulangie yang mencalonkan sebagai Wali Kota Ambon berhasil digagalkan oleh kelompok ini, namun dalam kasus Thamrin di Batavia, IEV gagal membendungnya sehingga akhirnya Thamrin menduduki jabatan Wakil Wali Kota (loco Burgemeester) Batavia.
Kelompok lokal dan Dewan Kota dari golongan pribumi di Sukabumi mulai menemui gemeente dan berharap Rambonnet segera pergi sehingga mereka bisa mempromosikan kandidat pribumi asli. Sementara kandidat yang mereka ajukan adalah MH Thamrin, anggota Volksraad yang kemudian menjadi Wakil Wali Kota Batavia pada 1929.
Namun, pemerintah Hindia Belanda tidak berkenan dengan upaya pengajuan ini dan membuat isu tentang kecilnya remunerasi Burgemeester Sukabumi. Sebagai anggota delegasi dari Volksraad, Thamrin menerima remunerasi bulanan sebesar 1.000 Gulden (NLG), ditambah 800 NLG sebagai kompensasi atas hilangnya pendapatan usaha. Selain itu, ia menerima biaya sesi biasa dari anggota Volksraad, ditambah tunjangan 300 NLG per bulan dari Alderman Batavia. Nilai ini dianggap jauh lebih besar dibanding jika ia menjabat Wali Kota Sukabumi, karena upah maksimum sebagai Wali Kota Sukabumi hanya 1.100 NLG sebulan.
Beberapa media memastikan bahwa Thamrin akan melakukan penolakan karena apa yang dia terima sekarang jauh lebih besar daripada yang akan diterima di Sukabumi.
Upaya ini besar kemungkinan hanya upaya menghalangi Thamrin karena kekhawatiran bahwa kaum pribumi akan menguasai kantong-kantong orang eropa di pemerintahan. Pada akhirnya pemerintah menunjuk orang Eropa untuk menduduki jabatan walikota Sukabumi dan menolak pengajuan nama Thamrin dari daftar kandidat.
[5] Petisi Sutardjo dari Cicurug
Sikap Thamrin yang keras terus berlanjut, sekira 1936 sebuah petisi dirumuskan di rumah seorang anggota Volksraad, Soetardjo, di Kampung Cimalati, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug. Rumah tersebut berhadapan dengan rumah seorang tokoh nasionalis asal Minahasa, Dr. Sjam Ratulangie yang turut membaca dan menandatanganinya.
Petisi yang kemudian ditandatangani oleh tokoh-tokoh lain yaitu Kasimo, Datuk Tumenggung, Mr. Ko Kwat Tiong dan SA. Alatas, kemudian dibawa ke Jakarta dan dibacakan dalam sidang Volksraad. Petisi Soetardjo tersebut menuntut agar Hindia Belanda memiliki parlemen sendiri dan diberikan kedudukan yang setara dengan Belanda (dominion status).
Pada Nopember 1938, pemerintah Hindia Belanda menolak Petisi Soetardjo dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari tokoh-tokoh Nasionalis. Petisi Soetardjo semakin meningkatkan kesadaran rakyat pribumi terjajah akan pentingnya pemimpin pemerintahan oleh pribumi, sehingga banyak rakyat pribumi yang menyetujui petisi ini.
Kepada pemerintah kolonial, Soetardjo pernah memperingatkan dewan bahwa Thamrin akan melakukan aksi pada saat petisi ditolak, karena baginya ‘tidak semestinya pada saat banyak negeri jajahan maju ke depan kearah kemerdekaan, rakyat kami akan berdamai menghadapi penolakan secara halus’.
Kegagalan petisi ini menimbulkan reaksi keras dari Thamrin, pada akhir dekade 1930an dan awal 1940an penggalangan organisasi politik di luar Volksraad mulai menyebar secara masif. Thamrin kemudian membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama kawan-kawan pergerakannya.
Thamrin terus dikejar polisi Belanda, menjelang kematiannya Thamrin diperlakukan kasar oleh aparat Belanda, rumahnya digeledah oleh intelejen Belanda (PID) saat ia sedang sakit. Pada 6 Januari 1941, Thamrin ditangkap oleh Belanda dan dijadikan tahanan rumah, rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorangpun diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin polisi, termasuk anak perempuannya yang masih sekolah. Seminggu kemudian Thamrin meninggal dunia dalam usia 46 tahun karena sakit yang dideritanya.
Keren kan, Gaess, ternyata Sukabumi juga menjadi bagian dari perjuangan para pahlawan nasional kita. Patutlah kita berbangga dan menyerap semangat para pendahulu kita.