Wisata alam tidak hanya hanya berbicara ihwal keindahan lho, Gaess, tetapi banyak juga yang menyimpan pesan teladan tentang kepemimpinan dan kesetiaan. Legenda Curug Caweni, Gengs. yang terletak di Kampung Cilutung, Desa Cilutung, Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Masyarakat Cidolog, dan Pajampangan pada umumnya, meyakini bahwa patung batu setinggi tujuh meter yang berada di bawah curug merupakan perubahan wujud Nyi Caweni atau Putri Caweni. Penasaran, bagaimana kisahnya? Simak kuy lima infonya, Gengs.
[1] Caweni atau Cawene
Curug ini memiliki ketinggian air terjun belasan meter. Salah satu ciri khas Curug Caweni adalah keberadaan sebongkah batu berdiri setinggi tujuh meter yang terletak di tengah-tengah air terjun.
Caweni atau cawene dalam bahasa Sunda berarti randa bengsrat: janda yang masih suci karena karena berpisah sebelum sempat melakukan hubungan badan dengan suaminya. Di Kecamatan Cidolog, sekira 86 km di selatan Kota Sukabumi, kata itu diabadikan sebagai nama sebuah air terjun yang saat ini dikenal sebagai Curug Caweni. Lalu apa hubungannya antara air terjun dan randa bengsrat?
Jika tak ada patung batu yang menyerupai seorang perempuan, pesona Curug Caweni barangkali biasa-biasa saja. Meskipun alamnya masih perawan, air sungainya bersih, dan memiliki dinding-dinding batu yang sedap dipandang, air terjun yang tingginya hanya sekitar lima belas meter itu pasti tak akan sepopuler saat ini. Patung batu itulah yang menjadi daya tarik utama Curug Caweni, keberadannya membuat keindahan alam menjadi lebih lengkap karena bersanding dengan sebuah cerita rakyat yang memikat.
Masyarakat Cidolog, dan juga masyarakat Pajampangan pada umumnya, meyakini bahwa patung batu setinggi tujuh meter itu, yang posisinya berdiri seolah menantang air terjun, merupakan hasil perubahan wujud dari seorang randa bengsrat yang dikenal sebagai Nyi Caweni atau Putri Caweni!

[2] Nyi Caweni 99 kali menikah
Warga setempat familiar denga cerita rakyat yang berkembang di Cidolog. Dikisahkan, Nyi Caweni seorang wanita jelita dan telah menikah sebanyak 99 kali! Dari jumlah itu, 98 suaminya dikisahkan meninggal dunia pada malam pertama. Hanya seorang yang lolos dari “maut pada malam pertama”, yakni suaminya yang terakhir, Raden Boros Kaso namanya.
Tidak seperti suami-suami Nyi Caweni sebelumnya yang hanya orang-orang biasa, Boros Kaso seorang keturunan bangsawan, seorang ksatria berilmu tinggi. Setelah mengetahui kisah malang suami-suami Nyi Caweni sebelumnya, ia melewatkan malam pertama perkawinannya.
Boros Kaso memutuskan untuk tidak melakukan hubungan badan pada malam pertama, dan memutuskan untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Malam pertama berlalu, pun malam kedua, tak ada peristiwa luar biasa yang dialaminya. Barulah pada malam ketiga, Boros Kaso menemukan jawaban atas misteri yang selama ini melekat dalam diri isterinya. Ketika Nyi Caweni sedang tertidur pulas, dari kemaluannya keluar seekor ular berbisa yang sangat berbahaya. Boros Kaso yakin, inilah penyebab kematian beruntun itu! Dengan kesaktiannya, Boros Kaso berhasil menangkap ular tersebut dan menyimpannya di suatu tempat yang aman.
Pagi, selepas sarapan, Boros Kaso berpamitan kepada sang isteri. Sebagai ksatria, ia tak bisa mengelak dari tanggung jawab untuk mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Untuk itu, ia harus pergi demi menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepadanya. Kepada istri cantiknya, Boros Kaso berjanji akan kembali. Namun, ia berpesan, jika dalam waktu tertentu ia belum juga datang, ia mempersilakan sang istri untuk menyusulnya.
[3] Setia menunggu suami
Lama berselang, Boros Kaso tak jua kembali, Nyi Caweni pun memutuskan untuk menyusulnya. Ia memulai pencariannya dengan berjalan menyusuri tepian sebuah sungai: sungai yang kini dinamakan Ci Dolog. Di sungai itu, di sebuah air terjun, ia menemukan jejak tapak kaki. Nyi Caweni sangat yakin bahwa itu adalah jejak kaki suaminya, sehingga memutuskan untuk menunggu di sana.
Pada sebuah tapak kaki yang tercetak pada sebuah batu, ia menunggu meski untuk waktu yang tak pasti. Dengan sepenuh cinta, meski berat hati, Nyi Caweni melepas kepergian suaminya. Namun, ia tetap menunggu hingga tubuhnya berubah menjadi batu, kini disebut arca Putri Caweni!
[4] Belum digarap optimal
Nah, Gengs, kini arca yang diyakini sebagai tubuh Nyi Caweni yang membatu tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke curug indah tersebut. Tak apa ya, Gengs, mungkin inilah cara masyarakat, sesuai perkembangan zamannya, memahami alam dengan cara berbeda. Jika orang-orang zaman dulu, meyakini bahwa Putri Caweni adalah nyata, dan memberi penjelasan dengan kekuatan fantasinya. Maka generasi saat ini bisa menjadikannya sebagai teladan kepemimpinan dari Boros Kaso yang lebih mendahulukan kepentingan umum, dan kesetiaan Nyi Caweni menunggu sang suami hingga akhirnya menjadi batu.
Dalam pandangan kekinian, dalam zaman dan dan pengetahuan yang telah jauh berubah, cerita Putri Caweni tentu tidak pernah terjadi. Arca batu yang tingginya setengah dari tinggi air terjun itu, meski bentuknya mirip seorang manusia, tak lebih dari bongkah batuan breksi (batu kutil) yang tergerus dan terpahat oleh air terjun yang demikian deras. Ketika bagian batuan yang lemah hancur oleh air, bagian yang kuatnya tersisa, dan kebetulan menyerupai manusia. Penggerusan itu masih berjalan, dan pada masa-masa mendatang, bentuk Putri Caweni barangkali berbeda dengan apa yang kamu lihat saat ini.
Lepas dari perbedaan pandangan tentang alam, Curug Caweni adalah tempat yang sangat menarik dan membuat orang-orang senang mengunjunginya. Mereka menikmati gemuruh air terjun, dan tentu saja mengagumi keajaiban Putri Caweni, sambil menerka-nerka: “oh, itu kepalanya… itu tangannya… itu payudaranya!” Anda tertarik?
Selama ini, Curug Caweni hanya populer di wilayah Pajampangan, dan pemerintah daerah tampaknya belum tertarik untuk mempromosikan keunikan alam ini sebagai objek wisata yang bernilai jual tinggi. Letak Curug Caweni tak jauh dari pusat Kecamatan Cidolog, dan hanya 200 meter dari jalan lintas menuju Tegalbuleud, salah satu daerah paling selatan di Kabupaten Sukabumi.
Curug Caweni Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi kini punya suasana baru. Dari arah masuk terlihat dua titik parkiran kendaraan roda dua dan roda empat. Masuk ke dalam, terlihat ratusan anak tangga yang siap mengantarkan perjalanan pengunjung menuju lembah curug. Di lokasi curug para pengunjung disambut beberapa gazebo dan beberapa spot untuk berfoto dengan background Curug Caweni.
Kondisi curug yang sebelumnya belum pernah tersentuh pembenahan secara maksimal, kini dibangun lebih profesional oleh pemerintah daerah melalui dana P3K, yang kemudian direspon positif oleh Karang Taruna Desa Cidolog selaku pengelola.
Editor’s Picks:
Curug Mawi, lokasi ngadem baru di Cibadak Sukabumi, cek kuy 5 infonya
Cerita duka sesakkan dada dari balik pesona Curug Cikaso Sukabumi
[5] Antusias wisatawan lokal
Kini di lokasi curug sedang dilakukan penataan, Gengs, walaupun memang belum sepenuhnya rampung. Namun, antusias pengunjung seakan tak terbendung untuk dapat segera menikmati keindahan curug ini. Kehadiran pengunjung kebanyakan hanya untuk melakukan swa foto di lokasi air terjun tersebut.
Antusias pengunjung akan meningkat signifikan pasca Lebaran. Untuk itu pihak pengelola sejak jauh-jauh hari melakukan perawatan dan penataan di lokasi wisata tersebut. Perawatan dilakukan dengan cara melakukan pemungutan sampah dan membersihkan aliran Sungai Cidolog, untuk kenyamanan para pengunjung.
FYI, Gengs, bantaran Sungai Cidolog melintasi pemukiman warga, sehingga sangat rawan sampah, khususnya sampah rumah tangga. Sehingga kerap menumpuk di dasar Curug Caweni.
Oiya, Gaess, keindahan air terjun ini recomended untuk didatangi. Untuk sampai ke lokasi, kamu dari pusat Kota Sukabumi harus menempuh perjalanan sejauh 70 kilometer. Untuk tiket masuk, tahun 2019 masih dipatok Rp10 ribu.
[dariberbagai sumber]