Baca juga: Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 1)
“Di daerah ini (Jampang Kulon) organisasi perjuangan rakyat kuat, yang antara lain dipimpin oleh Cece Subrata,” kenang Jenderal (purn.) A.H. Nasution dalam bukunya ‘Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda.’
Cece adalah tokoh fenomenal asal Pajampangan. Petualangannya bersama Laskar Bambu Runcing (BR) begitu heroik sekaigus menyedihkan. Di puncak perjuangannya, Cece dicap sebagai pengkhianat bangsa. Padahal di masa pernag kemerdekaan, Cece adalah sosok pejuang militan yang tangguh dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa (Indonesia) ini.
Gimana kisah lanjutannya tentang Cece, Gaess? Simak terus, ya! Dikit-dikit belajar sejarah lokal, ya!
Tuduhan komunis, benar atau tidak?
Secara umum, di masa Revolusi Kemerdekaan pasca Proklamasi Kemerdekaan, tuduhan komunis merupakan bagian dari rumitnya hubungan puluhan “gerakan kiri,” yang sulit dibedakan dengan “kelompok kiri” lainnya. Mengenai hal ini, almarhum Sudrita, anak dari Cece Subrata sempat menyampaikan informasi (periha tuduhan komunis) dari sang ayah kepada seorang teman dekatnya bernama Yance Prasetya Aji (Apih Yance).
Dalam wawancara dengan redaksi SukabumiXYZ, Apih Yance menyampaikan bahwa Sudrita membantah tuduhan (komunis) terhadap ayahnya. “Menurut Sudrita, Pak Cece sendiri menyebutkan bahwa pasukan BR bukanlah komunis, akan tetapi sebagian personilnya adalah simpatisan Tan Malaka, termasuk beliau,” ujar Apih.
Dari alm. Sudrita, Apih Yance sempat melihat dokumen-dokumen BR yang sekarang entah di mana, “tak ada satupun dokumen mereka yang mengakui komunisme. Malah bermusuhan. Lambangnya sendiri bukan palu arit terbalik tapi gigi roda dengan dua bambu,” tambah Apih Yance.
Pendapat Apih Yance lalu dikuatkan oleh Pak Kamal, seorang pensiunan guru yang masih kerabat dari Cece Subrata. “Bukan komunis tapi pengikut Tan Malaka. Malahan, Pak Cece membangun masjid di daerah Bojongkalong, salah satu wilayah pengaruhnya,” ungkap Kamal.
FYI ya, Gengs, tentang sosok yang diikuti Cece, Tan Malaka bernama lengkap Ibrahim dengan gelar Datuk Sutan Malaka. Tan Malaka adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia memang pernah menjadi tokoh PKI, tapi lalu keluar dan mendirikan Partai Murba yang pada perjalanannya menjadi ‘saingan’ PKI. Tan Malaka juga diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Nah, jika mengacu pada informasi dari Apih Yance di atas bahwa lambang BR adalah ‘roda dengan dua bambu runcing,’ itu identik dengan logo Partai Murba.
Gerakan kiri lazim di masa Revolusi Kemerdekaan
Boleh jadi Apih Yance dan Kamal benar. Kenyataannya pada masa awal Revolusi Kemerdekaan (pasca Proklamasi sampai akhir Agresi Belanda II/1945-1949), Sukabumi menjadi tempat lahirnya puluhan kelompok dan laskar dengan beragam ideologi. Tak terkecuali kelompok dan laskar yang berideologi kiri, seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Pemuda Proletar yang bersimpati terhadap cara perjuangan Tan Malaka.
Pesindo, contohnya, bahkan turut dalam Perang Bojongkokosan di bawah pimpinan tokoh pemuda bernama S. Waluyo. Ia adalah sepupu dari Wikana, tokoh pejuang yang memimpin laskar rakyat di Jampang Kulon. Waluyo kemudian bergabung dengan Persatuan Perjuangan (PP) yang didirikan Tan Malaka pada Januari 1946.
Pesindo bukanlah satu-satunya kelompok kiri di Sukabumi. Ada juga PARI (Partai Republik Indonesia) yang merupakan nama lain dari Proletariat Asian Republic International, sebuah organisasi bawah tanah yang didirikan Tan Malaka pada tahun 1927.
Ulasan dalam majalah Perdjoangan tertanggal 1-2/Djuni 1946/02, yang terbit di Sukabumi, PARI mempunyai cabang di Sukabumi. Cece Subrata sendiri tertarik untuk bergabung dengan PARI. Sebelumnya sudah tergabung Sambik, tokoh pergerakan di Sukabumi yang pernah dibuang ke Digul di jaman Hindia Belanda. Sambik adalah pemimpin Barisan Pemuda Proletar yang juga turut dalam Perang Bojongkokosan. Pasukan kelaskarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.
Ketokohan Cece dan konflik dengan RI
Lazimnya wilayah perkebunan terpencil seperti Sukabumi Selatan (Pajampangan), penduduknya kebanyakan buruh perkebunan rendahan. Tak heran jika ideologi kiri subur di wilayah tersebut. Ketertarikan masyarakat Pajampangan terhadap Tan Malaka juga tercermin dari tulisan “Chadam Revoloesi” dalam majalah API 1-2-3 (12 September 1946). Majalah itu adalah majalah pemuda radikal yang terbit di Sukabumi yang mengangkat figur Tan Malaka sebagai tokoh alternatif nasional.
Selain disebut cocok memimpin partai besar seperti Masyumi dan PNI, dalam artikelnya berjudul “Kaoem Merah” juga disebutkan bahwa cara berjuang Tan Malaka bisa jadi alternatif untuk disatukan dengan Muso dan Alimin (dua tokoh PKI) yang radikal.
Konflik pun mulai muncul antara Cece dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). “Tahun itu (1946) di Jampangkulon terjadi keributan penggarongan terhadap rakyat yang dipimpin oleh Cece Subrata. Suatu saat, Cece dan barisannya (BR) tertangkap oleh TKR, dalam mana mereka kemudian diasingkan ke Angkola di Cianjur Selatan. Maka oleh pihak Sdr. Waluyo dan Biro Muhidin diminta dikeluarkan dengan alasan karena Cece Subrata di Jampangkulon sangat berpengaruh.”
Demikian tulis Kementrian Penerangan RI. Pengaruh Cece memang terbukti bisa membantu menggerakkan masyarakat Jampang untuk melakukan gerilya terhadap Belanda. Sekembalinya ke Jampangkulon, sebagian anggota laskar Cece dimasukkan secara paksa ke resimen TRI Sukabumi oleh komandan Brigade Suryakencana, A. E. Kawilarang. Hal ini berlangsung hingga akhirnya Belanda menyerang melalui Agresi Militer I pada Juli 1947.
Para pejuang kemudian terdesak dan mundur ke wilayah selatan menuju pegunungan Jampangkulon. Ketokohan Cece juga diakui oleh tokoh nasional mantan Panglima TNI Jenderal (purn.) Abdul Haris Nasution. “Di daerah ini (Jampangkulon) organisasi perjuangan rakyat kuat, yang antara lain dipimpin oleh Cece Subrata,” kenang A. H. Nasution dalam bukunya ‘Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda.’
Lau ada catatan Batalyon Grenadiers (1945-1950), bagian dari Grup Brigade Infanteri I dari Divisi-C “7 Desember” yang memasuki Jampangkulon. Disebutkan, ”komandan mereka (Cece) bukanlah sosok yang tidak berarti, karena serangan terus berlanjut pada hari-hari berikutnya. Hasilnya adalah berbulan-bulan patroli, baku tembak, dan pembersihan.”
editor’s picks:
Latihan perang Hindia Belanda di Kampung Lio, 5 fakta gen XYZ Sukabumi tahu?
Gentisville: Riwayat Kota Resor Palabuhanratu, Gen XYZ sudah tahu?
Dampak perjanjian Renville terhadap Cece
Lalu terjadilah Perjanjian Renville yang dilakukan pada tanggal 18 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville. Di antara hasil Perjanjian Renville mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengosongkan kantong-kantong perjuangan, termasuk di Jampangkulon.
Ini merupakan duri pertama bagi Cece dan pasukannya, hal ini dibenarkan oleh Apih Yance. “Inti perjuangan BR itu adalah ingin mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta UUD 1945. Jadi ketika Perjanjian Renville meminta untuk pergi dari wilayah yang dipertahankannya, tentu saja mereka (laskar Cece) menolak meninggalkan medan laga,” kata Apih.
Perintah keluar dari arena perjuangan tentu saja sulit diterima oleh Cece dan laskarnya. Cece pun memutuskan untuk tetap bertahan mempertaruhkan nyawa melawan Belanda. Perlawanan laskar Cece terhadap pasukan pendudukan Belanda semakin menjadi-jadi sesudah pelaksanaan perjanjian Renville ini.
Dalam laporan De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad 3 Februari 1948, satu hari sesudah gencatan senjata terjadi kekacauan di Sukabumi, di antaranya sabotase kereta api, penembakan mobil polisi dan kendaraan jemaah gereja. Kekacauan ini menewaskan satu orang tentara Belanda, satu polisi, satu penduduk lokal serta enam lainnya terluka.
Keputusan Cece itu sebenarnya tidak keliru karena secara rahasia Jenderal Sudirman memberikan instruksi kepada Sutan Akbar untuk membentuk divisi Bambu Runcing dan meneruskan perjuangan di kantong-kantong yang ditinggalkan. Cece kemudian ditugaskan memimpin kelaskaran Brigade Citarum sebagai pecahan Divisi BR, mendampingi Muhidin Nasution sebagai pemimpin politiknya.
Penemuan faksimili dari Panglima Perang Jawa Barat Soemarto tertanggal Yogyakarta, 1 Juli 1948 yang dilansir Het nieuwsblad voor Sumatra 15 Juli 1948, menjadi isu panas antara Indonesia dan Belanda. Isi faksimili tersebut menginstruksikan semua elemen di Jawa Barat untuk melawan siapapun yang dianggap menguntungkan musuh dan bisa mencari nafkah dengan cara apapun.
Meskipun hal tersebut dibantah Jenderal Soedirman dan dianggap sebagai hoax, namun isi faksimili tersebut seolah menjadi legitimasi lebih kuat bagi Cece untuk melakukan tindakan-tindakan seperlunya, termasuk jalan kekerasan.
Ceritanya makin seru ya, Gaess. Ikuti terus kelanjutannya, ya!
Bersambung:Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 3)