Gaess, tahukah kamu jika konflik agraria terus bergulir di berbagai daerah di tanah air. Meskipun pemerintah mencanangkan perombakan besar di bidang pertanahan, tetapi konflik lahan yang disertai intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi, masih saja mewarnai berbagai perselisihan tanah.
Di Desa Pasirdatar dan Sukamulya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, misalnya, pada 2017 lalu terjadi permasalahan perampasan lahan. Bahkan, hingga kini konflik agraria antara petani melawan PT Suryanusa Nadicipta (SN) tersebut belum juga selesai. Upaya warga menggarap lahan yang sejak 1991 seluas 85 hektare sudah disertifikasi oleh BPN itu, kembali disambangi PT SN. Sehingga, 45 hektare lahan warga beralih ke PT SN, dijual seharganya Rp1.250 per meter.
Tak sampai di situ, dipicu isu salah satu petani diculik PT SN, terjadilah kasus perusakan dan pembakaran kantor PT SN. Akibatnya, 10 petani diadili bersalah oleh Pengadilan Negri Cibadak. Oktober 2018, petani Pasirdatar pun mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP) dan Ditjen Penataan Agraria Kementerian ATR. Didukung Serikat Petani Indonesia (SPI) Sukabumi, petani Pasirdatar mengawal usulan tanah objek reforma agraria (TORA) yang menjadi prioritas.
SPI juga meminta para pemegang kebijakan untuk tidak lagi terjadi kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani, karena reforma agraria merupakan program nasional yang tertuang dalam RPJMN 2014-2019, serta diperkuat Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Memeringati hari jadi yang ke-21 SPI yang jatuh pada 8 Juli 2019 lalu, pada Selasa (9/7/2019) sukabumiXYZ.com mewawancarai Ketua DPC SPI Sukabumi Rozak Daud. Nah, bagaimana sih catatan SPI Sukabumi terkait konflik agraria yang masih sering terjadi di Sukabumi ini? Simak kuy petikan wawancara dengan pria bertubuh kecil dan berambut keriting kelahiran 28 Februari 1984 ini.
Bagaimana SPI lahir, dan apa sebenarnya yang ingin diperjuangkan?
Iya, SPI lahir pada 8 Juli 1998. Kelahiran SPI merupakan hasil dari perjalanan panjang perjuangan petani Indonesia termasuk di Kabupaten Sukabumi untuk memperoleh kebebasan berkumpul, berorganisasi, menyuarakan pendapat, dan kemandirian secara ekonomi.
Bagi SPI, kemandirian ekonomi petani tersebut hanya bisa dicapai dengan menerapkan konsep reforma agraria dan kedaulatan pangan, yang mana salah satunya adalah melalui penguasaan masyarakat tani atas tanah dan benih sendiri sebagai alat produksi, dan proses produksi secara agroekologis, serta koperasi sebagai kelembagaan ekonomi kolektif petani.
Di tingkat lokal, di mana sebenarnya peran kepala daerah dalam menjalankan konsep reforma agraria ini?
Pemerintah tak memungkiri konflik pertanahan yang terjadi di akar rumput, sehingga Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria yang menjadi jalan dalam mewujudkan keadilan hak atas tanah. Dalam amanat Perpres tersebut, harus dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Di tingkat propinsi, kota dan kabupaten, jabatan Ketua GTRA dijabat oleh kepada daerah, Ketua Harian oleh Kepala Kantor ATR/BPN, dengan melibatkan unsur masyarakat terutama yang concern di bidang agraria.
Namun masalahnya, sejauh ini GTRA Kabupaten Sukabumi belum terlihat gregetnya dalam menjalankan Perpres tersebut. Sehingga keberadaannya belum menjadi solusi dari konflik yang berkepanjangan… Entah sudah terbentuk dan diam, atau memang belum terbentuk.
Banyak kasus konflik lahan di Kabupaten Sukabumi, menurut catatan SPI apakah trend setiap tahunnya meningkat atau sebaliknya?
Iya, ini masih menjadi PR dan sangat memprihatinkan. Dalam menilainya tidak melulu berdasarkan pada jumlah kasus saja, tetapi juga dari nilai kerugian yang diderita petani. Menurut catatan, konflik agraria di lahan perjuangan SPI Sukabumi, pada 2016 di Kecamatan Jampang Tengah ada 23 orang dituduh melakukan penyerobotan lahan, dua orang perusakan, dan satu korban ancaman pembunuhan karena menjadi panitia peringatan Hari Pangan 2016.
Sementara pada 2017, di Kecamatan Lengkong, tujuh aktivis agraria dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan penyerobotan lahan. Lalu di Kecamatan Ciwaru, pada tahun 2018, 30 hektare pohon mangga milik petani ditebang oleh BKSDA, dan di Kecamatan Caringin sebanyak lima orang dituduh melakukan penyerobotan lahan, 10 orang perusakan. Kemudian pada 2019, di Kecamatan Kalapanunggal satu orang dituduh melakukan penyerobotan lahan.
Dari semua kasus di atas, tertuduh adalah aktivis, para penggiat reforma agraria, dan petani. Negara belum hadir secara maksimal baik dalam penyelesaian masalah hukum, maupun persoalan ketidakadilan hak dalam penguasaan dan pemanfataan lahan oleh petani dalam membangun kemandirian ekonomi.
Editor’s Picks:
Izin belum keluar, hutan dibabat, dan Bupati Sukabumi tidak tahu, silakan terjemahkan sendiri
Kenali kuy cara kerja alat deteksi longsor karya guru honorer di Cicurug Sukabumi
Berbicara keberpihakan, seberapa besar keberpihakan Bupati Sukabumi terhadap reforma agraria ini?
Bupati Sukabumi, pak Marwan Hamami, menurut saya belum berpihak dalam masalah reforma agraria. Setidaknya bisa dilihat dalam perjuangan SPI Sukabumi di mana kami sudah mengusulkan sembilan Titik Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang terdiri dari Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai (HGU/HGB/HP), baik aktif yang diterlantarkan dan yang sudah tidak aktif haknya.
Nah, dari sembilan lokasi tersebut ada empat lokasi yang menjadi prioritas untuk segera diselesaikan karena sudah masuk dalam 666 Lahan Konflik di Indonesia yang terdaftar di Kantor Staf Presiden (KSP), termasuk eks perkebunan PT Sugihmukti di Kecamatan Warungkiara, PT SN di Caringin,
eks perkebunan PT Bumiloka Swakarya di Jampang Tengah, serta di Kecamatan Lengkong, dan lainnya.
Saya berharap negara, dalam hal ini Bupati Sukabumi sebagai Ketua GTRA benar-benar hadir mengambil peran, bukan sekadar bagi-bagi pupuk, bibit, dan alat pertanian. Harus hadir dan bisa mengimplementasikan amanat Perpres No 86 Tahun 2018 sebagai jalan perjuangan mendapatkan tanah sebagai kebutuhan dasar petani.
Apa sebenarnya yang mendesak dilakukan oleh pemerintah daerah?
Iya, yang paling mendesak saat ini, pertama, penyelesaian masalah konflik agraria. Jangan lagi menggunakan pendekatan hukum, tetapi lebih kepada pertimbangan tanah sebagai kebutuhan dasar hidup petani. Dengan begitu, Pemda bisa menekan perusahaan untuk setiap masalah yang timbul untuk tidak selalu melapor kepada polisi. Penting negara hadir, agar dalam setiap masalah yang muncul, tidak selalu menyalahkan petani dan membenarkan perusahaan.
Kedua, dalam hal pembentukan GTRA yang diketuai Bupati Sukabumi, harus melibatkan unsur masyarakat yang konsen dan memahami persoalan, bukan sekadar sebagai pelengkap saja. Dan ketiga, harus tegas dalam melakukan pengawasan terhadap pengusaha perkebunan yang menelantarkan lahan. Harus ditegur dan dicabut izin usahanya, karena menurut catatan SPI, dari 64 perusahaan HGU/HGB yang aktif kegiatannya hanya sekira 17 saja, dan sisanya diterlantarkan. Dari catatan ini belum dilihat dari masa aktif haknya, tapi dari sisi pemanfaatan lahannya. Parahnya lagi, ada perusahaan HGU yang menguasai luasan hingga 800 hektare, tapi tidak ada kantornya.
Bahkan ironisnya, sejak tahun 1980-an Desa Bantaragung, Kecamatan Jampang Tengah kantor desanya masih menumpang di Yayasan Darul Mu’minin karena tidak memiliki lahan untuk membangun kantor. Padahal, desanya dikepung oleh lahan perkebunan.
Labih miris lagi, ada kasus di Desa Panumbangan, Kecamatan Jampang Tengah, tepatnya di Kampung Panumbangan RT 01 Kedusunan 1 Bojongduren, jumlah kepala keluarganya berkurang sangat signifikan. Bayangkan saja, dari sebelumnya terdapat 22 KK, saat ini yang tersisa hanya 8 KK saja. Hal ini karena keberadaan mereka di lahan perkebunan, padahal sebelumnya adalah tanah kampung. Karena sekarang masuk tanah perkebunan, masyarakat akhirnya pindah dengan sendirinya.