Sepanjang 2019 sebanyak 16 anak di Kota Sukabumi sudah kecanduan game dan menjalani konsultasi untuk proses penyembuhan.
Gengs, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah secara resmi menetapkan kecanduan game atau game disorder sebagai penyakit gangguan mental. WHO telah menambahkan kecanduan game ke dalam versi terbaru International Statistical Classification of Diseases (ICD), yaitu pada pertengahan 2018.
Nah, kecanduan game ini ternyata menjadi fenomena di seluruh dunia, termasuk di Sukabumi. Berikut lima info ter-update yang dirangkum sukabumiXYZ.com tentang fenomena kecanduan game di Sukabumi, dari berbagai sumber.
[1] Jumlah anak Sukabumi kecanduan game meningkat
Sepanjang tahun 2019, pengaduan kasus anak kecanduan game dengan platform gadget atau smartphone semakin meningkat di Kota Sukabumi. Fakta itu terungkap dari data Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Bina Sosial Kota Sukabumi yang berada di bawah Dinas Sosial (Dinsos).
“Warga yang mengadukan anaknya kecanduan game di gadget mulai banyak,’’ ujar Ketua LK3 Bina Sosial Kota Sukabumi Joko Kristianto seperti dikutip dari Antara, Selasa (30 Juli).
Joko menambahkan, tingkat kecanduan dari anak-anak itu berbeda-beda. “Sebagaian besar masih dalam level ringan atau biasa saja. Hanya ada satu anak yang sudah sampai level berat, dengan kata lain hidupnya hanya untuk game,” ungkapnya.
[2] Ada 16 anak dalam perawatan konsultatif
Data LK3 Bina Sosial juga menyebutkan ada sebanyak 16 orang anak di Kota Sukabumi sudah kecanduan game. “Yang konsultasi ke LK3 itu ada 16 anak. Dari berbagai tingkatan usia, tapi kebanyakan usia SD sampai SMA, dan didominasi laki-laki,” ungkap Joko.
Joko menambahkan, dari 16 anak yang terkena kecanduan game tersebut, sembilan di antaranya berhasil dipulihkan. Sedangkan enam lainnya gagal dipulihkan karena semua proses pemulihan mengandalkan dirinya sendiri.
Perihal proses konsultasi untuk penyembuhan yang akan dilakukan adalah konselling, observasi dan treatment. Adapun treatment yang diberikan juga harus ada perjanjian kesepakatan dengan pihak penyintas dan orangtua, dan harus disepakati bersama.
[3] Bilamana kecanduan game bisa disebut penyakit mental?
Dirangkum dari Science Alert, 2018 lalu, kecanduan game bisa disebut penyakit (mental) bila memenuhi tiga hal. Pertama, seseorang tidak bisa mengendalikan kebiasaan bermain game. Kedua, seseorang mulai memprioritaskan game di atas kegiatan lain. Ketiga, seseorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat.
WHO menambahkan game yang bersifat adiktif mencakup berbagai jenis permainan yang dimainkan seorang diri atau bersama orang lain, baik itu online maupun offline. Meski demikian, bukan berarti semua jenis permainan bersifat adiktif dan dapat menyebabkan gangguan.
“Bermain game disebut sebagai gangguan mental hanya apabila permainan itu mengganggu atau merusak kehidupan pribadi, keluarga, sosial, pekerjaan, dan pendidikan,” menurut WHO. “Sudah banyak cukup bukti yang menunjukkan kecanduan game dapat menimbulkan masalah kesehatan,” tambahnya dalam situs resmi WHO.
Editor’s Picks:
Game Dilan sudah didownload 200 ribu kali, 5 fakta ini gen XYZ Sukabumi sudah tahu?
Roblox, game online anak tembus 90 juta user, 5 fakta gamer Sukabumi sudah tahu?
[4] Cara agar anak tak kecanduan game
Psikolog klinis Ratih Ibrahim mengatakan banyak cara yang bisa dilakukan, terutama oleh orangtua, agar anak tidak kecanduan bermain gadget. “Orangtua harus simpen gadget, berikan waktu bersama anak. Mungkin anak pasti akan sakau, rewel kalau nggak dikasih gadget tapi bisa dicoba dengan mendongeng, bercerita apapun ke anak,” ujar Ratih dalam acara Dongeng Aku dan Kau, Dancow Advanced Excelnutri+seperti dikutip dari Antara.
Ketika anak sudah kecanduan, merebut gadget dari anak itu harus dilakukan orangtua. Anak marah sudah pasti, namun ia memiliki cara untuk menenangkan si anak. Oleh sebab itu, setiap orangtua harus berani untuk disiplin untuk membiasakan tidak bermain gadget di depan anak. Selain itu juga orangtua harus berani repot-repot bila rumahnya diberantakin oleh anak.
[5] Ganti gadget dengan buku
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Harris Iskandar menganjurkan orang tua untuk lebih baik memperkenalkan buku pada anak usia dini ketimbang memberikan gawai (gadget) yang malah membawa dampak buruk.
“Marilah kita kembali ke baca buku salah satunya. Gawai coba kurangi kalau memang tidak bisa menghentikan sama sekali kita kurangi, dan jangan menunjukkan di depan anak, jangan terlalu demonstratif dalam setiap kesempatan,” kata Harris.
Harris tidak menampik ada beberapa gawai dan layanan internet yang memberikan fitur-fitur pengaturan pengawasan orang tua saat anaknya bermain gawai. Namun menurut dia fitur tersebut jarang dimanfaatkan oleh orang tua karena tidak mau repot.
[dari berbagai sumber]