Pengusaha Belanda bernama Cornelis Gentis (tahun 1985) melihat peluang besar mengembangkan Palabuhanratu dan berencana membuat sebuah kota resor internasional bernama Gentisville.
Palabuhanratu sudah kita kenal sebagai area rekreasi ya, Gaess. Namun gegara wabah Covid-19, kita untuk sementara belum bisa mengunjungi lagi area rekreasi di Palabuhanratu. Nah, kita coba telusuri saja dulu bagaimana perjalanan Palabuhanratu menjadi kota resort alias resor (padanan bahasa Indonesia) dari masa ke masa.
Kebetulan sekali nih Gaess, Pusat Data dan Kajian (Pustaka) Kipahare, sebuah Lembaga riset dibawah Yayasan Dapuran Kipahare (YDK), telah menggali beberapa data terkait sejarah resort Palabuhanratu. Rupanya banyak data-datanya yang baru kita ketahui. Yuk kita arungi lima poin perjalanan sejarah Palabuhanratu sebagai kota resort.
[1] Potensi wisata Palabuhanratu di masa lalu
Saat orang-orang Eropa datang ke Nusantara, mereka banyak yang penasaran mengenai gambaran sebuah pantai yang sering diceritakan masyarakat Batavia bernama Muararatoe (Palabuhanratu). Gubernur Jenderal Jan Pieterszoen Coen sendiri sesudah menguasai Batavia tahun 1619 pernah mencoba menelusuri ke arah laut selatan melalui Selat Sunda dan tiba di Coeh Hoek (Teluk Coen), namun kembali ke Batavia.
Tahun 1622, percobaan pernah dilakukan dari timur Jawa sampai ke Pantai Parigi saja, belum menembus ke Palabuhanratu. Hingga tahun 1687 muncul perintah khusus kepada sersan Scipio untuk mendatangi Muara Ratoe dan menemukan tempat landai yang indah yang menurut F. De Haan adalah Tenjo Resmi. Dua tempat lain yang disebut keindahannya adalah pantai Citepus dan Cimaja.
Saat Abraham Van Riebeeck bersama setengah kavaleri pasukannya melakukan kunjungan lewat laut pada April 1711, dia mendirikan kamp di muara Sungai Cimandiri, area sekitar pantai Palabuhanratu masih kosong. Namun keindahannya memang hakiki. Disebutkan, air di muara sangat jernih sehingga pasukannya mandi di situ.
Konon Van Riebeeck juga sempat berucap bahwa nantinya akan ada ratusan orang yang tinggal di sini. Dan itu terbukti sampai sekarang ya, Gaess. Sejak jaman penjajahan mulai banyak orang berdatangan dan tinggal di sekitar pantai Palabuhanratu.
Tahun 1800 dilakukan pembangunan pertama Gudang dan dermaga oleh 500 orang dari Batavia. Fakta ini tercatat dalam Minutes of Meeting Secrete Besolulein tertanggal Jumat, 5 Oktober 1800 dalam sidang di Hindia atas laporan Kapten Laut Jan Cornelis Baane Tjeringe yang menemukan pelabuhan yang cocok di Wijnkoopsbaai untuk membawa kargo dari kapal.
Trayek darat ke Palabuhanratu saat itu cukup mahal, hingga tahun 1830 untuk pengiriman komoditas saja dengan pedati dihargai 17 Gulden untuk 30 pikul (Staatsblaad No 2 tanggal 8 Januari 1830). Namun para peneliti banyak yang datang kemari seperti Junghuhn yang tiba pada tanggal 17 Juli 1837 dan melakukan penelitian selama 6 hari.
Kapal-kapal besar internasional juga banyak yang berdatangan sehingga tahun 1858 ditetapkan sebagai pelabuhan internasional. Penutupan Palabuhanratu untuk kapal-kapal dagang internasional sejak 1 Oktober 1875, tak menyurutkan pesona Palabuhanratu sebagai tempat rekreasi.
Orang-orang asing tetap berdatangan baik untuk istirahat, berekreasi maupun melakukan penelitian. Tanggal 19 Juni 1885, AD Voderman seorang naturalist mengunjungi Palabuhanratu dan disuguhi tari-tarian di depan pendopo wedana. Selain pantainya sejak dulu sudah dikenal pemandian air panas Cisolok yang tak hanya dikunjungi penduduk asli, namun juga orang Eropa karna khasiatnya. Masyarakat di sana mendirikan rumah sederhana dengan penutup jerami, kemudian pasokan air panas dialirkan melalui pipa-pipa yang terbuat dari bambu.

[2] Gentisville kota resort impian di Palabuhanratu
Melihat potensi wisata ini, pengusaha bernama Cornelis Gentis melihat peluang besar ini dan berencana membuat sebuah kota resor internasional bernama Gentisville. Dia bekerja sama dengan seorang mantan perwira angkatan laut yang sudah tinggal di Palabuhanratu sejak tahun 1895, yaitu R.A Eekhout. Eekhout yang menjadi pegawai pemerintah dan tokoh perkeretaapian ini membantu memuluskan ijin-ijin proyek pembangunan kota resor Gentisville.
Seperti apa rupa kota resort Gentisville ini? Dari brosur berwarna terbitan De Bussy Amsterdam yang disebar di Eropa dan Hindia Belanda, disebutkan bahwa Gentisville adalah resor dengan pemandangan alam yang sangat indah. Resor tersebut dijelaskan sebagai resor pemandian air laut dan sungai di Wijnkoopsbaai (Gentisville, zee- en rivierbadplaats aan de Wijnkocpsbaai, Overzicht van eene reclame-brochure, 1902).
Gaya bahasanya sangat menarik dengan kata-kata, “Di dunia ini Anda bisa menemukan segala sesuatu di sekitarnya, kecuali untuk beberapa tempat indah dan membahagiakan dimana Gentisville berada, pantai berpasir dan berbatu, iklim laut dan pegunungan, Anda bisa pergi jauh ke sungai atau ke pantai Mediterania, padahal yang anda cari hanya beberapa jam dari Ibu Kota Hindia.”
Gentisville ini dianggap sebagai proyek raksasa yang ambisius. Bahkan konon keluarga Gentis merencanakan membangun kota serupa bernama Gentisland di Cape Town dan Greenland. Beberapa liputan koran dan keterangan di media juga cukup bombastis menyebutkan Gentisville ini terintegrasi dengan wisata laut. Jalan penuh pohon nyamplung menuju semburan mata air panas di Cisolok. Kata-katanya juga atraktif, “Nikmati sesekali, bahkan jika hidup anda belum jadi jutawan, Anda bisa menikmatinya Bersama kami bak seorang jutawan.”
Gentisville ini juga dijuluki sebagai surganya anak-anak dengan beragam keunggulan. Mobil khusus yang disebut Omnil mobil disediakan di Cibadak dan Kota Sukabumi khusus menuju Gentisville. Dalam Majalah untuk Industri dan Pertanian di Hindia Belanda (1900, I) disebutkan bahwa Eekhout sebagai rekanan sangat antusias sehingga dia berencana membangun Brunnen hotel di Gentisville.
Spanduk yang dia buat dilokasi bertuliskan Vivat Gentisville: “Front to the Ocean.” Eekhout juga banyak menulis di media mengkampanyekan kunjungan ke Gentisville. Disebutkan bahwa kapal tersedia membawa ke banyak lokasi wisata, sungai indah yang aman, pemandangan gunung yang bisa dinikmati sambul duduk. Hanya butuh dua jam untuk menikmati pemandangan laut yang indah dari hotel di Gentisville.
editor’s picks:
Mengintip pesona peradaban masyarakat purba Sukabumi di Palabuhanratu
Mengarungi samudera kejayaan masa lalu Palabuhanratu sebagai pelabuhan internasional
Mak Erot bakal mendunia di-endorse Menkes Terawan? 5 fakta gen XYZ Sukabumi mesti tahu
[3] Kegagalan proyek Gentisville
Bantuan Eekhout untuk proyek Gentisville tidak tanggung-tanggung. Dia berencana mengimpor puluhan mobil ke Gentisville serta mengadakan Rijkshaw (semacam becak yang ditarik manusia) sebagai transportasi shuttle. Eekhout yang juga direktur Wijnkoopsbaai Exploratie Maatschappij berhasil merayu Van Diemen kepala pelayaran KPM pada musim gugur 1902 untuk membawa kapalnya dan berkunjung ke Gentisville.
Bahkan Wakil Presiden Dewan Hindia, J.E. Abendanon, Komandan Grevers, Letnan di Sea Smit dan Taylor, turut serta membawa wanita-wanita mereka. Kapal KPM juga menurunkan Rijkshaw di Gentisville atas permintaan Eekhout. Eekhout menyebut upayanya semacam konsep ‘telur Columbus’, di mana orang baru bilang bisa sesudah dia kasih contoh.
Pusat kota Gentisville dia bangun di bukit, yang nantinya akan menjadi distrik kota pertama masa depan di pinggiran Batavia. Dengan optimis dia menyebutkan, “Dan aku tidak akan terkejut jika tahun depan banyak wanita yang lebih muda dan lebih tua dengan kimono, mereka mengenakan a la madame Chrysanthème dalam rijkshaw. Ini akan mengubah pantai segar dekat Gentisville seperti buket bunga berwarna-warni.”
Gentisville adalah proyek raksasa, bahkan biaya totalnya saja belum bisa diterka. Dalam rencana awalnya akan dibangun 30 rumah mewah ala Eeropa dengan pasokan air, pasokan listrik yang lengkap. Pasokan lampu dan pabrik es untuk kebutuhan warganya, dalam laporan News of the Day Mei 1902, antara lain disebutkan akan memiliki ruang depan, ruang percakapan, ruang biliar, dan lain-lain.
Selain itu, ada gedung pertemuan, sebuah bangunan lantai kayu dengan 16 kamar tamu berukuran 5 kali 6 meter akan dibangun. Lantai kamar akan ditutupi dengan linoleum, lantai salon dengan karpet, dinding diplester akan ditutupi dengan kulit imitasi di atas bingkai kayu, dan lain-lain. Beberapa hotel akan dibangun di dekat pemandian air panas Cisolok. Rencana koneksi juga dilakukan hingga ke Ciletuh dan Cikepuh. Rumah-rumah mulai dibangun, namun sayangnya semua usaha itu gagal. Bulan Agustus 1902 Gentisland terbakar hebat tanpa sebab yang diketahui dan hanya menyisakan puing.
[4] Skandal Perampokan Javabank
Kebakaran di Gentisville ternyata bukan akhir kisah tragisnya, pada hari Sabtu tanggal 22 November 1902 terjadi kejadian menghebohkan. Pemilik resort Gentisville, Cornelis Gentis bersama adiknya direktur penggilingan padi di Cisaat, Herman Gentis, melakukan perampokan Java Bank dengan mengenakan wig dan jenggot pada siang hari. Cornelis menembak petugas Bank dan membawa tromol uang dengan sado menuju adiknya untuk pergi bersama ke Cibadak.
Di Cibadak mobilnya sudah siap menunggu dan rencananya akan lanjut ke Palabuhanratu untuk segera melarikan diri dengan kapal uap. Peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga sempat menjadi tulisan sastra Melayu Tionghoa dari Kho Tjeng Bie berjudul Syair Bank Java Dirampok.
Dari persidangan terkuaklah adanya penipuan dan pengkhianatan terhadap kolega bisnis lain termasuk Mr. Eekhout. Kakak beradik itu memang piawai mencari para pengusaha yang hendak menginvestasikan uangnya di Gentisville. Kegantengan mereka juga memudahkan untuk bergaul di kalangan sosialita. Herman Gentis sendiri ditengarai menghabiskan banyak uang untuk para wanita.
Kondisi ini menjadi pukulan terhadap Eekhout yang mempunyai rencana serius dalam mengembangkan Palabuhanratu sebagai kota resor tepi laut. Eekhout akhirnya bertahan dengan sisa yang ada dan melanjutkan bisnisnya melalui konsesi perkebunan kelapa di wilayah Ciletuh.
Sisa-sisa proyek Gentisville disimpan di rumah Tendjo Resmi dan Hotel di sebelahnya yang belum jadi. Beberapa barang proyek yang disimpan di sana di antaranya wallpaper, karpet deventer yang mahal, beberapa rijkshaw, bingkai-bingkai kayu jati yang mahal, bahkan beberapa tanaman yang tak terurus.
Palabuhanratu masihlah sepi, pasca kegagalan Gentisville di Palabuhanratu hampir tidak ada apa-apa selain rumah penduduk asli, beberapa toko Cina, beberapa gudang KPM, pesanggrahan (rumah pemerintah penginapan pegawai negeri) dan satu hotel pribadi.

[5] Upaya mengangkat kembali kota resort Palabuhanratu
Eekhout masih berupaya melanjutkan misinya dalam mengangkat Palabuhanratu pasca Grentisville gagal. Dia mengajukan permohonan konsesi kereta api untuk jalur Cibadak Palabuhanratu dan Palabuhanratu Ciletuh yang akan berlanjut ke Bandung melalui Agrabinta. Kemudian mengejar Konsesi Batavia Electric untuk membangun jalur trem di sepanjang Pantai Selatan.
Permohonan tersebut tidak berhasil dilaksanakan sehingga dia mengalihkannya untuk menarik kapal uap Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) untuk membuka jalur dari Palabuhanratu hingga Cilauteureun. KPM akhirnya menambah jalur pada tahun 1908 ke Palabuhanratu. Namun implementasi ke Cilauteureun baru berlangsung 1925 saat pembukaan jalur baru ke Ujung Genteng dan Cilacap.
Eekhout terus berupaya mempromosikan Palabuhanratu melalui brosur yang diterbitkan pada tahun 1907 dengan judul, “Jawa Barat, Pantai Selatan pada tahun 1902.” Kemudian “Bepergian dengan air dan di pedesaan.” Dia juga berupaya mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga air yang besar. Selain itu membuka pusat perikanan di Palabuhanratu dan mendorong Bupati untuk melakukan perbaikan jalan. Upayanya cukup berhasil karena jalan ke Palabuhanratu diperbaiki hingga ia meninggal pada awal 1911.
Sepeninggal Eekhout pembangunan resor di Palabuhanratu tidaklah maksimal, pesanggrahan baru kemudian dibangun di Karang Hawu tahun 1926. Pasca merdeka, Palabuhanratu menjadi objek tujuan wisata orang-orang dari Jakarta dengan menggunakan bis. Namun fasilitas masih apa adanya, favorit kuliner adalah warung Pak Damad di dekat Dermaga Gado Bangkong.
Paling banter ada penyewaan speedboat di tahun 1950an. Pesanggrahan Tendjoresmi yang maknanya ‘pandangan yang bersih’ beralih kepemilikan dan namanya berubah menjadi Vaya Con Dios. Diketahui pemiliknya bernama Mayor Mantiri.
Ketika Bung Karno berkunjung ke Palabuhanratu pada tahun 1964 beliau meninjau Villa tersebut dan tertarik untuk menjadikannya tempat peristirahatan. Dalam beberapa perbincangan akhirnya villa tersebut ditukar guling dengan hotel yang ada di sebelahnya. Rencananya villa tersebut akan dibongkar dan dibangun yang baru, namun akibat kondisi politik yang tak memungkinkan maka rencana tersebut terbengkalai.
Bung Karno malah membangun Hotel Samudera Beach dari dana rampasan perang Jepang. Di situ Bung Karno masih mempunyai mimpi membangun kota resor tepi laut dengan rencana membangun domino internasional. Palabuhan kapal pesiar dan landasan helikopter juga akan dibangun, namun rencana ambisiusnya tak berhasil.
Itulah kisah perjalanan Kota Tepi Resor Palabuhanratu, Gaess, yang awalnya dirancang dari Pesanggrahan Tendjo Resmi. Masyarakat mengenal Pesanggrahan Tendjo Resmi dengan nama Cliff House karena lokasinya di tebing pinggir laut. Tahun 1970an kemudian dibangunlah Istana Presiden di situ sehingga kini kita mengenalnya sebagai Istana Presiden.
Menarik, kan? Semoga wabah Covid-19 cepat usai ya, Gaess. Kita tunggu lagi penggalian kisah kisah sejarah Sukabumi lainnya dari Pustaka Kipahare.
