Pembangunan Bukit Algoritma, Silicon Valley ala RI di Sukabumi, dinilai pengamat menghadapi lima masalah, dari mulai anggaran penelitian yang rendah, hingga ancaman serbuan naker digital asing.
Perusahaan teknologi yang menyediakan layanan mulai dari pengembangan web hingga aplikasi, Kiniku Nusa Kreasi dan Bintang Raya Lokalestari membuat perusahaan kerja sama operasional (KSO) bernama Kiniku Bintang Raya. KSO ini menggandeng salah satu BUMN bidang konstruksi yaitu PT Amarta Karya (AMKA) Persero untuk membangun Bukit Algoritma di Cibadak dan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Bukit Algoritma diharapkan menjadi Silicon Valley ala Indonesia yang menjadi pusat pertumbuhan perusahaan-perusahaan teknologi. “Ini mimpi jangka panjang,” kata Ketua Pelaksana KSO Kiniku Bintang Raya Budiman Sudjatmiko dikutip dari Antara, (9/4/2021).
Proyek itu dibangun di atas lahan 888 hektare. Dana awal yang disiapkan yakni Rp 18 triliun dengan total waktu pembangunan selama sebelas tahun, tiga tahun pertama yakni membangun infrastruktur seperti akses jalan raya, fasilitas air bersih, pembangkit listrik, gedung konvensi dan fasilitas lainnya.
Namun, pengamat Indef menilai ada lima tantangan pembangunan Bukit Algoritma yang diharapkan menjadi Silicon Valley ala Indonesia di Sukabumi. Duh semoga cuma kekuatiran semata ya Gengs, kita yakin keberadaan Bukit Algoritma akan bikin daerahmu ini melesat jauh dari papan bawah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) se-Jawa Barat, di mana Kabupaten Sukabumi saat ini menempati urutan kedua dari bawah setelah Kabupaten Garut.
Padahal nih Gengs, dikatakan oleh Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO Budiman Sudjatmiko, seusai penandatanganan kontrak pekerjaan pengembangan Bukit Algoritma pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pengembangan teknologi dan industri, jika beberapa perusahaan swasta berencana membangun pusat pengembangan industri dan teknologi 4.0 bernama Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat yang menelan dana Rp 18 triliun.
Nah biar gak penasaran, apa aja sih masalah yang diprediksi bakal mengancam keberadaan Silicon Valley-nya Indonesia ini? Simak kuy satu per satu.
[1] Jaraknya jauh ke Jakarta
Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai, ada tantangan yang harus diselesaikan sebelum membangun Silicon Valley ala Indonesia ini. Tantangan dimaksud adalah, ekosistem teknologi kurang terlibat dalam pembangunan. “Jadi, tidak bisa menunjang Silicon Valley yang inklusif. Justru, eksklusif bisa membahayakan ekonomi nasional,” kata Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda saat konferensi pers virtual, Kamis (15/4/2021) sebagaimana dikutip dari Tirto.id.
Gak cuma itu, doi juga menilai jika pemilihan lokasi Bukit Algoritma di Sukabumi yang jaraknya relatif jauh dari Jakarta. “Ini akan sulit melibatkan perusahaan teknologi dalam memanfaatkan Silicon Valley ini,” tambahnya.
Desain Bukit Algoritma di wilayah Cikidang dan Cibadak Kabupaten Sukabumi. | Dok. PT AMKA
[2] Sukabumi rawan gempa bumi
Wilayah selatan Pulau Jawa dinilai banyak pengamat rawan gempa. Seperti diketahui, lokasinya di mana Bukit Algoritma dibangun diapit dua sesar, yakni Citarik dan Sesar Cimandiri yang aktif pun dirasa dapat mengganggu keamanan infrastruktur seperti pusat data. Gawat ya Gengs. Padahal, data center itu kan tulang punggung.
Ditambahkan Nailul, hal utama pembangunan wilayah dengan konsep Silicon Valley adalah ekosistem, bukan lokasi. “Di Amerika Serikat (AS), yang pertama dibangun bukan fisiknya, tapi ekosistemnya. Di Indonesia, justru fisiknya terlebih dulu.
[3] Anggaran R&D
Masalah ketiga, adalah soal anggaran penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D) di Indonesia yang masih minim. Porsinya hanya 0,24% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tahun 2021. Bahkan nih Gaess, besarannya masih di bawah Vietnam (0,53%), Thailand (0,78%), dan Malaysia (1,44%).
Berdasarkan data UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) 2021, proporsi dana penelitian dan pengembangan terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB secara total masih berkisar 0,24 persen. Angka itu masih sangat tertinggal dari Singapura yang sudah 2,22 persen.
Masalah ini memang serius Gaess, karena Nailul bilang jika produk berteknologi tinggi dari Indonesia masih sangat sedikit. Berdasarkan data Bank Dunia, ekspor produk manufaktur Indonesia cenderung turun trennya jika mengukur sejak 2011. Belum lagi Nailul menyoroti inovasi Indonesia yang masuk peringkat empat terburuk se-ASEAN. Ia menyebut Incremental Capital Output Ratio atau ICOR Indonesia berada di angka 6,7.
editor’s picks:
Gen XYZ wajib tahu 5 fakta Bukit Algoritma, Silicon Valley Indonesia di Sukabumi senilai Rp18 T
300 investor rebutan proyek di Jabar termasuk KEK Cikidang, 5 info Gen XYZ Sukabumi mesti tahu
[4] Ancaman SDM digital asing
Riset McKinsey dan Bank Dunia juga menyebutkan bahwa Indonesia kekurangan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahun. Fakta ini menunjukkan jika sumber daya manusia (SDM) digital gap-nya masih tinggi antara penawaran dan permintaan tenaga kerja digital di Tanah Air.
Alhasil, beberapa perusahaan teknologi di Indonesia memanfaatkan talenta digital asing. Nah, jangan sampai pembangunan Bukit Algoritma ini malah menyerap tenaga kerja asing yang lebih banyak ketimbang lokal. Ngeri kan Gengs?
Nah, soal ini juga diingatkan oleh Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Esther Sri Astuti, Kamis, 15 April 2021. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hanya 12 persen tenaga kerja lokal yang berpendidikan tinggi, 80 persen berpendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas.
Idealnya, kata doi, kalau kita membuat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan teknologi sangat canggih dan SDM Indonesia tidak bisa masuk, ini tantangan bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas tenaga kerjanya agar dapat memenuhi kriteria dari pabrik-pabrik yang ada di Sillicon Valley tersebut.
Esther mengatakan apabila berkaca kepada Sillicon Valley, tenaga ahli di sana justru banyak berasal dari India dan China, bukan mayoritas berasal dari kawasan sekitarnya. Pasalnya, tenaga ahli dari dua negara itu dinilai lebih melek teknologi tinggi ketimbang Indonesia. Karena itu ia menegaskan permasalahan tersebut harus bisa diantisipasi. Sehingga pembangunan Bukit Algoritma nantinya tidak justru meningkatkan ketimpangan sosial di masyarakat.
“Di mana masyarakat di sekitar KEK itu masih miskin, sementara di sana dibangun teknologi tinggi. Karena itu butuh satu komitmen untuk bisa meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar matching dan memanfaatkan pembangunan KEK di sana,” kata doi.
Masalah SDM yang masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0, bisa dilihat dari rendahnya jumlah peneliti Indonesia, yakni 216 dari satu juta penduduk. Akibatnya, paten Indonesia juga rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Selain itu, proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer masih sangat rendah, hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa. Angka itu hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Belum lagi dengan adanya persoalan nilai PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Thailand.
[5] Ketimpangan digital
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ada 12.548 desa yang belum terakses internet 4G pada tahun lalu. Rinciannya, 9.113 desa berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Sedangkan 3.435 lainnya di luar wilayah ini, sehingga menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G.
