Nama Cibadak mulai populer sejak tahun 1913.
Gaess, seperti yang kamu saksikan saat ini, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, telah berubah menjadi kota dengan hiruk pikuk aktivitas perekonomian dan segala persoalannya, dari mulai kemiskinan, hingga sampah dan kemacetan lalu lintas.
Nah, berbicara tentang kota kecil Cibadak, Gengs, pada mulanya merupakan sebuah kawedanaan. Konon, nama ini berasal dari sebuah tempat pemandian Badak didekat Sungai Cicatih (sekitar pamuruyan sekarang), yang menjadi nama kampung kecil Cibadak.
Tetepi, cerita tentang pemandian binatang badak ini, selama ini kamu pasti hanya mendengar secara sekilas-sekilas orangtua ya. Pada akhirnya, banyak fakta sejarah di baliknya yang luput diceritakan orangtua, sehingga cerita tentang itu lebih mirip seperti hanya sebuah dongeng.
Sabtu, 12 Januari 2019, Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB) Kipahare melakukan penelusuran sejarah silam Kota Nayor ini. Uniknya nih, Gengs, kegiatan penulusuran ini dikemas dalam sebuah program bernama TELMI atau Telusur Mingguan, dengan tajuk Menelusuri Jejak Kabuyutan Sanghyang Tapak.
Para relawan RPCB melakukan kegiatannya di Puncak Panenjoan yang melintasi Waterkracht Cicatih. Tempat tersebut dinilai cocok untuk meninjau keberadaan Kabuyutan Sanghyang Tapak. Selain itu, menurut pegiat sejarah Soekaboemi Heritage yang juga ketua Yayasan, dari puncak Panenjoan yang indah bisa tergambarkan bagaimana sejarah besar Cibadak pada masa lalu.
Buat gen XYZ Sukabumi yang belum mengetahui secara detail tentang sejarah Cibadak, simak kuy lima paparan fase sejarah awal mula Kota Cibadak.
1. Pada 1867 Cibadak lebih populer dengan nama Ciheulang
Dulu wilayah ini lebih dikenal dengan nama Ciheulang, Scipio yang melewati wilayah ini bersama Letnan Tanujiwa pada 11 Agustus 1867, menyebutnya sebagai Silangh (Ciheulang). Begitupun Gubernur Jendral Abraham Van Riebeeck yang mengunjungi Jogjogan dan Pondok Opo (dua tempat yang masih wilayah Cibadak) menyebutnya sebagai Tzilangh.
Nama Ciheulang kemudian diresmikan sebagai distrik pada 1776. Fakta pembentukan distrik untuk pertamakalinya diperkuat oleh keberadaan kuburan Raden Raksadipraja (1739-1830) demang/wedana Ciheulang pertama di Nagrak.
Pembangunan infrastruktur awal di Cibadak dilakukan sesudah pembelian wilayah ini oleh Engelhardt bersamaan dengan wilayah lainnya oleh Wilde dan Raffles pada 1813. Sang pengelola yaitu Andries De Wilde membangun 20 kilometer irigasi yang disalurkan dari Sungai Cikolawing dan Cicatih.
Dalam catatan peneliti Pieter Willem Korthals tanggal 2 Juli 1831, wilayah yang dia sebut The Badaks (Cibadak), memiliki irigasi yang dibuat disungai Tjitjati dengan lembah berumput dan kontur yang tajam. Irigasi ini digunakan untuk mengairi perkebunan tanam paksa.
2. Berganti nama menjadi Cibadak setelah dibangun stasiun KA
Pasca dibangunnya Stasiun Kereta Api (KA) Cibadak, nama Cibadak semakin populer. Sehingga pada 17 Mei 1913 Distrik Ciheulang berubah nama menjadi distrik Cibadak dan dikenal pada masa awal kemerdekaan sebagai Kawedanaan Cibadak.
Menurut ketua RPCB Yepsa Dhinanty, wilayah ini sudah dihuni manusia sejak masa purba tepatnya jaman batu. Terbukti dengan temuan kapak batu di dalam tanah di wilayah Malingut, Cibadak, kemudian di Cipetir, di Karang Tengah tepi sungai Ciheulang dan di Cibadak sendiri. Delapan buah kapak batu juga ditemukan di Cikidang, dua di antaranya ditemukan di Pasir Rarangan. Saat ini keberadaan kapak-kapak tersebut berada di Museum Pusat Jakarta.
Sejarah Cibadak juga diwarnaik masa logam, dibuktikan dengan temuan tiga buah kapak perunggu di Munjul oleh Mr. J.G. Huisjer pada 1871. Penemuan kapak perunggu ini bersamaan dengan kepingan periuk belanga. Kemudian di Sinagar, Nagrak, ditemukan dua lonceng perunggu, dua cermin dan sebuah piring logam.
BACA JUGA:
Cinta, karya dan politik, 5 fakta Selabintana mewarnai Sukabumi di kancah internasional
Dulu Pagadungan sekarang Cicurug, 5 fakta sejarah wilayah paling utara Sukabumi
3. Kabuyutan Sanghiyang Tapak
Sanghyang Tapak adalah sebuah kabuyutan di Cibadak, nama itu disebut dalam prasasti yang ditemukan di wilayah Cibadak, pada tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 atau 11 Oktober 1030, ini terdiri dari empat buah batu bertulis yang ditemukan di aliran Sungai Citatih, sebuah lagi ditemukan pada 1890 di hutan pinggir sungai yang sama, tepatnya di dekat Leuwi Kalabang. Prasasti tersebut dilaporkan dan diserahkan oleh Wedana Cibadak saat itu ke Museum Batavia (Jakarta), kemudian pihak Museum memberi nomor koleksi D.73.
Oiya, keberadaan sisa-sisa kabuyutan Cibadak ini bisa kamu lihat jelas dari puncak Panenjoan lho, Gengs.
Tiga prasasti lain yang ada hubungannya dengan Sri Jayabhupati, ditemukan J. Faes pada 1897, dari dalam hutan Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak. Ketiga prasasti tersebut dilaporkan dan diserahkan ke Museum Batavia, kemudian diberi nomor koleksi D.96, D.97, dan D.98.
Sesudah dibantu diterjemahkan oleh Patih Sukabumi Soeria Nata Legawa dan Dr Lord deu Brandes tahun 1899, akhirnya Pleyte menyimpulkannya di dalam sebuah artikel berjudul “Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. Prasasti ini begitu penting karena membuka catatan sejarah Kerajaan Sunda yang sebelumnya samar dan tidak jelas. Isi prasasti juga unik, karena dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur baik bahasa, gaya penuturan, dan penggunaan gelar.
Prasasti Cibadak menjelaskan bahwa Raja Sunda Sri Jayabuphati telah membuat tapak di sebelah timur kabuyutan Sanghyang Tapak. Sungai yang sudah dibatasi dengan dua batu besar di bagian hilir tadi, siapapun dilarang menangkap ikan dengan ancaman kutukan, sebuah metode keseimbangan alam masa lalu.
Keberadaan prasasti di kabuyutan Cibadak ini bukan berarti Cibadak pernah jadi pusat pemerintahan, tetapi sebagai salah satu tempat penting dalam mengatur kehidupan masyarakat, baik sebagai tempat suci maupun tempat pendidikan.
Kabuyutan ini menurut Pleyte berhubungan juga dengan tempat perlindungan di sekitar Perbakti di Kecamatan Cicurug. Sesudah mengkomparasikan prasasti ini dengan Pustaka Nusantara I/2, diketahui hubungan kekerabatan dengan raja-raja wilayah lain seperti Dharmawangsa, kemudian Raja Melayu, Raja Sriwijaya, Mentri Bali, dan lain-lain.
Jika dipetakan batas timur Sanghyang tapak ini cukup luas, dari sekitar pamuruyan hingga bantar muncang, atau malah bisa jadi lebih luas dari Kota Cibadak. Hal ini memunculkan asumsi bahwa Ibukota Pajajaran pernah ada di sini.
Istilah kabuyutan berasal dari kata buyut yang mengandung arti dua hal. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali. Kabuyutan identik dengan hal yang dianggap keramat atau suci dan sakral. Konon, di situlah tempat para pandita dan pujangga bekerja dan mengajarkan ilmunya.
Sejak zaman kolonial hingga sekarang, Sungai Cicatih sering memakan korban terutama saat air pasang, sebagian masyarakat masih mempercayai kutukan tentang kabuyutan tersebut. Termasuk saat pembangunan Waterkracht, korban dianggap sebagai tumbal karena telah berani mengubah aliran sungai.
4. Sinagar Perkebunan Terbesar di Dunia
Pada masa kolonial Belanda, banyak berdiri perkebunan-perkebunan di wilayah Cibadak seperti Ongkrak, Ardenburg, Malingut, Sukamaju dan Sinagar. Pada awalnya perkebunan tersebut membudidayakan kopi, kemudian beralih teh dan komoditas lainnya.
Di beberapa perkebunan, seperti Sukamaju dan Cipetir sudah menggunakan teknologi kereta gantung untuk pengangkutan hasil kebun. Bahkan perkebunan Gutta Percha Cipetir merupakan penghasil komoditas yang memengaruhi revolusi telekomunikasi dunia.
Sukamaju sempat pula menjadi penghasil kokain besar pada 1910. Pacuan kuda pertama kali dibangun di Soenia Wenang untuk mengakomodir aktivitas para pekebun. Yang luar biasa, perkebunan Sinagar yang ditanami teh oleh pemerintah sejak 1842, kemudian pada 29 Juli 1843 lahannya disewakan kepada Tan Soeij Tjiang seorang Letnan Titulair Chinesen dari Buitenzorg yang menanam dan memperdagangkan teh.
Karena pailit, Tan Soeij Tjiang mengalihkan sewa kepada BB Crone dan anaknya Tan Goan Pouw. Pada 1 Januari 1863, kontrak konsesi Sinagar dijual kepada Van Der Hucht, Albert Holle dan E.J Kerkhoven yang kemudian menjadi Direktur Sinagar. Kerkhoven termasuk Pranger Planters disebut rajanya teh nusantara, dengan pusat bisnis di Sinagar (sekarang sekitar Nagrak).
Kerkhoven yang fasih berbahasa sunda, kemudian mengembangkan perkebunan tersebut dan menambah luas kebun dengan menyewa Cirohani dan menjadi perkebunan NV Sinagar-Cirohani. Luas lahan yang dimiliki NV Sinagar sekira 1.235 bau. NV Sinagar kemudian kembali memperluas perkebunannya dengan menyewa Munjul yang berbatasan dengan Ciambar. Awalnya hanya melakukan diversifikasi teh dan karet. Kemudian pada 1865 dilakukan penanaman kina, dan 1893 dikembangkan pula kopi dan cokelat. Selanjutnya, tahun 1928 ditanami teh secara besar-besaran.
Tahun 1883, bersama Albert Holle, mengubah perkebunannya menjadi Estate Company of Sinagar, Tjirohani. Dia membangun perkebunan dengan sangat tekun sehingga menjadikannya perkebunan terbesar di dunia sekitar tahun 1900an dan dikunjungi banyak traveller luar negri.
5. Sinagar kota satelit
Dalam perjalanannya, Sinagar terus berkembang dan digambarkan sebagai kota satelit, yaitu tempat terpencil yang lengkap di mana segala hal digelar, baik untuk keperluan operasional kebun maupun kesenangan sang pemilik.
Kerkhoven membangun Sinagar dengan sangat modern, menggunakan teknologi ban berjalan (belt) untuk mesin rolling dan pengering yang pertama dalam produksi teh. Keponakannya, Bosscha, sempat magang di Sinagar mulai Desember 1887 sampai 1895.
Kerkhoven juga memiliki kebun binatang yang berisi hewan banteng, rusa, burung, biawak, kuda, hingga gajah Sumatera yang diberi nama si Tuku. Gajah milik Kerkhoven ini memiliki cerita tersendiri, karena kematiannya disebabkan oleh peluru tuannya. Selain itu, ia juga memiliki kebun raya mini dengan sistem pengairan irigasi yang canggih, kabel listrik bawah tanah yang disalurkan dari turbin besar di tempat yang saat ini disebut Gang Turbin.
Kerkhoven juga mendanai gamelan Sari Oneng dan mengirimkan beberapa pegawainya yang memiliki keahlian bermain musik ke luar negri bersama para musisi Parakansalak, saat turut meresmikan Menara Eiffel di Paris, Prancis, pada tahun 1889. Para musisi ini merupakan pengisi hiburan karyawan perkebunan setiap malam Minggu.
Sinagar juga dikenal sebagai perintis sekolah pribumi pertama. Hal ini terungkap dalam buku karya Prof. PJ Veth berjudul Schetaen Uit Insulinde. Dalam buku tersebut terdapat bab khusus berjudul Inlandsche School Het Land Sinagar. Dijelaskan, Kerkhoven melengkapi perkebunannya dengan sekolah yang dibiayai sendiri. Disediakan guru-guru lokal yang mahir berbahasa Belanda, serta sebagian guru berasal dari Belanda.
Para siswanya belajar membaca dan menulis di dalam sebuah gudang yang ditata ulang menjadi sebuah ruang kelas. Dibuatlah semacam balai agak tinggi dengan dinding bilik bambu setengah badan dilengkapi bangku pendek. Seorang penulis bernama Mari Ten Kate sempat mengunjungi Sekolah Sinagar tersebut dan mengabadikannya dalam sebuah lukisan cat air.
Tak hanya itu, alat transaksi saat itu sudah menggunakan token seperti layaknya token bank untuk transaksi keuangan. Alat ini terbuat dari bambu berukuran 1,5 x 10,5 cm, ada tulisan tinta Cina yang tertulis act 8, nominalnya 8 sen. Dengan sistem ini juga bisa mengontrol keluar masuk karyawan karena dia tidak akan seenaknya kabur sesudah mendapat gaji.
Koran Amerika Sunday Oregonian dan Bunbury Herald dari Australia menyebutnya sebagai perkebunan terbesar di dunia karena memproduksi lebih dari satu juta lbs teh per tahun, dengan 3000 wanita pemetik teh dan biaya gaji 20 ribu Poundsterling per tahun. Sayangnya perkebunan tersebut sekarang sudah tidak ada, termasuk jejak kejayaannya sudah menjadi puing.
Penasaran membaca Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 1), Gengs? Lanjutkan membaca Tuan Paroseng: Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 2).