Penemuan prasati sempat menimbulkan dugaan tentang pusat kerajaan di Cibadak.
Keren, Gengs, Sukabumi ternyata sudah memiliki bukti peradaban masa lampau berupa prasasti yang ditemukan di Cibadak pada masa kolonial. Tidak tanggung-tanggung ada empat prasasti ditemukan di Kota Nayor tersebut, tepatnya di aliran sungai Cicatih dan di Hutan Bantarmuncang.
Budaya tulis dalam sebuah prasasti menjadi syarat adanya peradaban, sayangnya budaya tersebut seolah hilang dan temuan sesudahnya malah lebih banyak berupa lisan. Padahal, wilayah ini sejak dulu merupakan pusat peradaban di masa lampau, terbukti pula dengan temuan kapak batu di Desa Malingut, tidak jauh dari aliran sungai Cicatih oleh N.J Krom.
Nah, Gengs, Relawan Pelastari Cagar Budaya Kipahare (RPCB Kipahare) yang merupakan Komunitas di bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare, berinistiatif untuk menelusuri kembali jejak-jejak Kabuyutan seperti yang dituliskan oleh prasasti tersebut. Dapuran Kipahare sendiri pernah mendapatkan penghargaan sebagai komunitas yang berperan dalam pelestarian cagar budaya di wilayah Jawa Barat dan Banten tahun 2018.
Mulai Januari 2018 RPCB Kipahare meluncurkan program TELMI (Telusur Mingguan) yang diawali dengan Menelusuri Jejak Kabuyutan Sanghyang Tapak. Tim Riset Kipahare yang beranggotakan Yepsa Dinanthy (Ketua), Melly Amalia, Hilma Marianty dan Irman Firmansyah, dibantu beberapa anggota masyarakat melakukan penelusuran melewati jalur waterkracht, Panenjoan dan Leuwi Kalabang.
Dari kegiatan telusur tersebut dibuat pemetaan dan perkiraan Kabuyutan Sanghyang Tapak yang pernah ada hampir seribu tahun yang lalu di Cibadak. Ada beberapa temuan yang luar biasa mengenai peradaban Cibadak:
Simak lima infonya yuk, Gengs.
1. Bukan Pleyte
Temuan prasasti ini kemudian ditulis oleh Cornelis Marinus Pleyte dalam artikel Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst, mengetengahkan transkip mengenai Prasasti Cibadak. Prasasti bertahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 (11 Oktober 1030) ini terdiri dari empat buah batu bertulis yang ditemukan dialiran sungai Cicatih.
Hasil penelusuran referensi RPCB Kipahare, sebuah prasasti ditemukan pada 1889 di hutan pinggir Sungai Cicatih, dekat Leuwi Kalabang. Masyarakat di sekitar menyebutnya sebagai Batu Sabak, yang artinya batu bertulis mirip alat tulis sabak. Prasasti tersebut dilaporkan dan diserahkan oleh Wedana Cibadak pada 1890 ke Museum di Batavia (Jakarta), dan diberi nomor koleksi D. 73.
Tiga prasasti lain yang masih berhubungan dengan Sri Jayabhupati, ditemukan J. Faes pada 1897, dari dalam hutan Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Ketiga prasasti tersebut dilaporkan dan diserahkan ke Museum Batavia, dan diberi nomor koleksi D. 96, D. 97, D. 98.
Dalam notulen van algemeneene en directivergaderingeringen/Bataviaasch genoontschap van kunsten en wetenschappen, nummer 37, 1 Januari 1899, diceritakan tentang permohonan Asisten Residen Sukabumi untuk mendapatkan transkrip salinan aksara yang tertera dalam batu prasasti di hutan Bantar Muncang. Namun, sayangnya para ahli belum bisa menterjemahkannya karena tulisannya berukuran kecil dan kurang jelas.
Dr Lord deu Brandes akhirnya meminta bantuan Patih Sukabumi Rangga Soeria Nata Legawa untuk membantu mencari tahu apakah makna dibalik aksara tersebut.
2. Isu Cibadak sebagai pusat kerajaan
Penemuan prasati tersebut sempat menimbulkan dugaan tentang pusat kerajaan di Cibadak. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pada 1030 pernah ada kerajaan Sunda di Cibadak, tidak ada orang luar yang masuk kesana karena jauh dari pesisir.
Kabuyutan sendiri berasal dari kata buyut yang mengandung arti dua hal. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Kabuyutan identik dengan hal yang dianggap keramat atau suci dan sakral, konon di situlah tempat para pandita dan pujangga bekerja dan mengajarkan ilmunya. Kabuyutan Sanghyang Tapak diperkirakan meliputi tempat sakral yang dipenuhi mistik, keramat dan kesucian yang penuh pantangan.
Hal ini ditegaskan dalam Prasasti bernomor D. 98 yang diterjemahkan Pleyte sebagai berikut: “Isi sumpah selanjutnya adalah permohonan kepada semua kekuatan gaib yang telah diseur agar siapapun yang menangkap ikan di situ bunuhlah, pecahkan kepalanya, isap otaknya, belah dadanya, minumlah darahnya, putuskan ususnya, habisilah jiwanya. Sebaliknya, bila ada hamba yang setia mematuhi ketentuan tersebut akan dianugerahi hadiah dan dicukupi pangannya seumur hidup.”
Pada bagian terakhir, berisi penegasan kembali batas-batas daerah sungai yang dilarang diambil ikannya karena termasuk ke dalam kabuyutan Sanghiyang Tapak. Hingga saat ini sebagian masyarakat masih menganggap sungai Cicatih ini angker dan kerap menelan korban tenggelam.
Anehnya rata-rata yang tenggelam itu saat musim kemarau bukan musim hujan. Nama Cicatih sendiri dimungkinkan nama yang sangat tua karena Catih/Cati/Chanti berasal dari bahasa sansekerta yang berarti damai.
Dalam konsep kabuyutan, kedamaian tersebut dijaga dengan bentuk larangan untuk keseimbangan alam supaya terjaga dengan sanksi mengerikan jika dilanggar.
TULISAN TERKAIT:
Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 1)
Tuan Paroseng: Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 2)
3. Luas kabuyutan lebih besar dari Kota Cibadak
Dalam Prasasti yang ditemukan dekat Leuwi Kalabang disebutkan batas timur kabuyutan sebagai berikut: Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-Kaliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuanamandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Jika melihat tempat temuan Prasasti yaitu di Leuwi Kalabang dan satunya di hutan Bantar Muncang yaitu di sebuah tempat yang disebut Pangcalikan, maka luas batas timur Kabuyutan Sanghyang Tapak membentang sejauh kurang lebih 3 km.
Jikapun ini dianggap sebagai bentangan batas timur maka bisa dibayangkan luasan total kabuyutan ini mungkin melebihi luasnya Kota Cibadak. Hal ini diperkuat dengan keterangan masyarakat tentang beberapa tempat yang berhubungan dengan kabuyutan ini misalnya Goa Cukang Lemah atau Taman Prabu Siliwangi, kemudian Legok Arca yang terdapat arca Polinesia berukuran besar,
Kedua tempat itu ada dalam radius lebih dari 3 km kearah barat. Sebuah perbukitan tempat yang disebut Panenjoan juga dimungkinkan menjadi bagian dari kabuyutan mengingat tempat suci dimasa lalu memerlukan tempat tinggi dan juga sungai sebagai alat bersuci.
4. Dua batu penanda kabuyutan masih ada
Dalam prasasti yang ditemukan di Pangcalikan Bantar Muncang, terdapat keterangan yang menyebutkan batas kabuyutan bagian hilir berupa dua buah batu besar dibuat oleh Raja Sunda Sri Jayabhupati dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah Kabuyutan Sanghiyang Tapak di bagian hilir pada dua buah batu besar.
Dari penelusuran RPCB Kipahare, kedua batu besar itu masih ada hingga sekarang. Masyarakat menyebutnya Batu Karut karena ada goresan mirip dikerut. Kedua batu penanda tersebut sekilas berbentuk mirip siput karena ada undakan yang mirip tangga. Konon, undakan adalah tangga yang berjumlah sembilan anak tangga untuk naik dan melakukan ritual di atas batu.
Selain digunakan untuk Ritual peribadatan, dalam kebudayaan sunda, batu juga menjadi penanda suatu tempat. Ada budaya yang disebut ungkal biang dalam pembukaan sebuah babakan baru, yaitu sebuah menhir kecil yang menandai berdirinya sebuah kampung.
Dalam sekup wilayah lebih luas juga batu menjadi penanda batas wilayah, misalnya batas masyarakat selatan Gunung Gede adalah menhir di Kampung Tugu, Kecamatan Sukaraja, dan Batu Kabayan di Kecamatan Cisaat.
Batu selalu menjadi pilihan manusia masa lalu karna kekuatannya yang bisa bertahan ribuan tahun. Selain itu, nilainya yang dianggap tidak berharga. Bisa dibayangkan jika penanda tersebut berupa emas atau perak maka dengan mudah akan hilang oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab.
5. Keberadaan Batu Putri dan Batu Congklak
Istilah Tapak dalam Kabuyutan Sanghyang Tapak menimbulkan ragam pendapat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa tapak tersebut ada disalah satu batu karut, meskipun sudah kurang jelas namun ada lekukan berbentuk tapak kaki. Namun ada juga yang berpendapat bahwa dulu sempat ada batu dengan lekukan tapak kaki yang kemudian hilang.
Kedua pendapat tersebut bisa jadi benar, namun jika melihat isi dari prasasti yang menjelaskan tentang tanda batas, bisa juga istilah tapak itu merujuk kepada tanda batas wilayah kabuyutan.
Menurut keterangan warga, ada batu lain di sekitar temuan Batu Sabak yaitu Batu Putri tempat putri duduk yang sekarang posisinya sudah tenggelam jauh ke lubuk (leuwi). Batu tadi sempat akan dihancurkan masyarakat untuk digunakan fondasi bangunan namun tidak berhasil.
Selain itu, ada juga batu congklak yang berupa batu dengan lubang-lubang mirip congklak yang sekarang juga hilang. Dalam masyarakat sunda purba batu congklak menjadi semacam alat penanggalan kuno dan menggambarkan ketinggian peradaban masa tersebut. Perlu
penelitian kembali dari institusi yang berwenang seperti Balai Arkeolog untuk menelusuri Batu Putri dan Batu Congklak ini. Selain itu perlu pula pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk berupaya melindungi batu besar penanda Kabuyutan Sanghyang Tapak yang masih ada dan dijadikan tanda hapir seribu tahun yang lalu itu.