Selesai wisuda aku tak sabar sampai di rumah, aku yakin mama mengerti sudah waktunya sekarang aku memiliki sebuah mobil.
AKU terlahir dari lingkungan keluarga dengan ekonomi stabil, boleh dibilang mapan dan lumayan terpandang. Mamaku komisaris di beberapa perusahaan yang Ia dirikian bersama teman-temannya, ada juga buah hasil membeli saham dari perusahaan-perusahaan yang kolaps.
Selain sukses secara finansial, mamaku tergolong perempuan pintar. Setelah bercerai dari ayah tujuh tahun lalu ketika usiaku masih 15 tahun, Mama lebih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, tepatnya banyak menghabiskan waktu di luar rumah, selain menjadi wanita karir, mama juga mengajar di sebuah universitas sejak beberapa tahun silam sebagai dosen akuntansi di mana aku pun kini mengemban ilmu di sana.
Teman-temanku di kampus memandangku sebagai gadis beruntung, sebagai anak orang kaya sekligus dosen yang sukses di mata mereka, kadang di antara teman-temanku itu mengharapkan menjadi aku. Tinggal di rumah mewah dan memiliki banyak uang.
Teman-temanku tak tahu, aku justru ingin seperti mereka, mereka pun tak tahu bagaimana kehidupanku sebenarnya di balik rumah mewah itu. Mereka tak tahu jika aku dididik sebegitu keras, mamaku sangat perhitungan, dan bisa menjadi begitu marah ketika aku memakai fasilitas rumah seenaknya tanpa seizinnya.
***
“Non Mer, Non.. bangun non..” Seseorang mengguncang-guncang tubuhku.
“Apa sih mbak Tini, ini kan hari libur, aku masih ngantuk nih!” Jawabku ketus sambil kembali menarik selimut.
“Tapi anu, non.. Ibu marah, katanya Non di tunggu di bawah sekarang.”
“Ahh. Apalagi sih mama, ya udah tunggu 15 menit.”
Belum sempat terdengar jawaban lagi dari mbak Tini, pembantuku. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar bentakan keras.
“15 menit apa? Mau lanjutin ngedengkur? kamu tau sekarang ini udah jam 11, kamu mau jadi apa pemalas!”
“Tapi aku kan begadang semaleman ma, ngerjain tugas buat lusa kan maksudnya biar hari ini terakhir liburan aku bisa puas tidur.”
“Gak ada cerita puas-puasin tidur, pokoknya bangun sekarang. Cuci baju kamu yang udah numpuk, bisa ya, bikin tempat tidur kamu sendiri kumuh kayak gini.”
“Tapi ma, kan ada mbak Tini.”
“Gak ada mbak Tini, mbak Tini. Dia udah kerja dari subuh, lagian kan bukan kamu yang gaji dia, sekarang bangun atau besok kamu berangkat sendiri jalan ke kampus jangan nebeng mobil mama.”
“Iya ma, iya, Mera bangun.”
“Emang harusnya kamu bangun, mandi, nyuci, rapiin kamar kamu yang berantakan gini. Mama gak mau tahu, mama pulang semuanya harus udah kelar. Ngerti!”
Aku diam, saat hendak menawar, mama segera memotong.
“Atau kalau nggak, mama potong uang jajan kamu juga.”
“Yahh mama, uang jajan aku kan udah kurang, masa dipotong juga.”
“Makanya beresin, simple kan?”
Jawabnya singkat sambil berlalu. Benar-benar frustasi lahir sebagai anak dari seorang ibu yang anti toleransi. Dengan mata yang masih berat aku berdiri terhuyung menuju kamar mandi, kemudian melanjutkan tugas mencuci lalu merapikan rumah. Aku jadi kacung di rumah sendiri. Sial! Andai mama mendengar umpatanku, pasti dia segera menimpali “ini kan bukan rumah kamu” dan bla bla bla.
Pukul 21.00, mama belum juga pulang. Aku memang tak pernah hapal jadwalnya, kadang ia pulang larut malam, kadang pula mama tak pergi kemanapun seharian. Aku menonton tv sendiri di ruang keluarga, ah ini tak pantas disebut ruang keluarga, ini bukan tempat berkumpul siapapun, kecuali aku dan mbak Tini sepertinya.
***
Satu hal yang kadang membuatku merasa sangat miris atas hidupku sendiri, aku tak pernah mendapatkan hadiah apapun dari mama bahkan ketika sweet seventeen sekalipun. Mungkin teman-temanku mengira aku sering dibelikan barang-barang branded luar negri, atau gadget-gadget mahal oleh mamaku, mungkin mereka juga mengira aku si kaya yang sederhana karena tak pernah memamerkan barang-barang itu ketika kuliah. Padahal mereka salah, aku bahkan tak punyai satupun dari semua barang-barang itu. Aku cuma gadis dengan uang jajan terbatas, bahkan mungkin teman-temanku memiliki lebih dari aku.
Aku iri dengan kehidupan teman-temanku, meski mereka bukan orang kaya, kurasa mereka sedikitnya pernah dibelikan hadiah, sementara aku? Setiap kali meminta sesuatu, mama pasti bilang aku harus sukses dulu dan menempatkan diri sebagai seseorang yang pantas diberi hadiah. Akhirnya aku tahu, aku harus mendapat beasiswa, akhirnya pada semester enamku sekitar dua tahun lalu, aku berhasil lolos sebagai mahasiswi yang dipromosikan mendapatkan beasiswa S2 di Bussines Scholling Jerman, aku yakin kali ini aku telah membuat mama bangga, Aku pun meminta dibelikan tas Prada nude yang harganya Rp 10 juta itu.
Aku yakin itu tak seberapa di mata mama, karena ia juga mengkoleksi tas mahal. Tapi nyatanya mama menolak permintaanku mentah-mentah. Mama bilang aku baru dipromosikan, jika sudah benar-benar dapat dan jika aku lulus kuliah dengan nilai gemilang, mama bilang, apapun pasti dibelikan.
***
“Wah ada yang seneng nih” Ujar Winda sambil menyenggol lenganku.
“Seneng apa?” Jawabku heran.
“Dapet promosi beasiswa, pasti dapet hadiah spesial nih,” Winda tertawa.
“Apa sih, biasa aja ah..”
“Ah kamu Mer, selalu ngerendah, kita tau hidup kamu serba bling, dan kamu merendah biar bisa selalu nyaman bergaul sama kita kan?”
“Nggak juga, aku ya adanya emang gini kok, tas butut, baju juga, nothing special lah.”
“Ah kamu ini, oya kalau lulus nanti mau lanjut kemana Mer? Langsung kerja?”
“Ya kalo aku di terima di Jerman, aku lanjut kuliah lagi. Kalo nggak, ya aku di sini aja kerja jadi apa ajalah yang penting halal”
“Kamu ini selalu aja jawab gitu Mer, oya mama kamu pasti udah nyiapin hadiah super keren buat kelulusan nanti ya.”
“Gak tau deh, tapi aku naksir berat mobil sport keluaran Ford yang kita liat waktu lewat pasar seni kemaren, berapa ya harganya?”
“Mahal juga pasti cetek kali Mer buat mama kamu, buat anak satu-satunya gitu loh yang udah jadi sarjana en mau ngikutin sang mama berkarir jadi komisaris muda.”
“Hahaha, iya Win amin, mudah-mudahan kali ini dikabulin.”
“Nanti jalan-jalan pake mobil seport ya.”
“Sport Win, Sport…”
“Sama ajalah, lidah Sukabumi asli sama pendatang beda kali ya?”
***
Hari kelulusanku tiba, pagi ini aku diwisuda. Dengan kebaya merah jambu aku melenggang menuju podium, mengenakan jubah almamater dan topi toga aku berdiri di hadapan ribuan mahasiswa lain untuk sedikit speech. Ya, berpidato sebagai lulusan terbaik di kampusku. Kulihat dengan jelas mama duduk di sebrang sana, dengan gaya retronya yang elegan kulihat mama meneteskan air mata, namun begitu mama tetap mengangkat dagu. Sepertinya di ruangan ini hanya aku yang memiliki ibu seangkuh itu, aku tersenyum, mama membalasnya sambil melambaikan tangan.
Selesai wisuda aku tak sabar sampai di rumah, menanti mama memberikan hadiah yang sebulan lalu kupesan, aku yakin mama mengerti sudah waktunya sekarang aku memiliki sebuah mobil. Sesampainya di rumah aku segera menagih.
“Mana hadiahku?”
Mama tersenyum, dan menyerahkan sebuah kotak.
“Ini untuk anak mama yang paling membanggakan.”
“Uh.. manisnya,” jawabku kegirangan.
“Semoga ini bermanfaat ya nak, jangan mudah puas dan selalu berusaha.”
“Iya ma, pasti.”
Aku meraih kotak yang berukuran lumayan besar itu, kubuka perlahan bungkusnya. Aku tercekat, isinya sebuah tas merk Prada berwarna nude persis seperti yang dulu kuinginkan. Aku kecewa, tak ada kunci mobil di sana. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, sejak itu kuputuskan pergi dari rumah.
Beasiswa ke Jerman pun kuambil. Pahit jika mengingat perlakuan mama, kerja kerasku hanya senilai Prada basi yang akupun sudah tak menginginkannya. Aku bertekad, sukses dengan tanganku sendiri.
***
10 tahun berlalu, aku menjadi pemilik restoran waralaba internasional yang terbilang sukses, akupun telah berumahtangga dengan seorang pria Albania, kami berbeda agama. Aku tak meminta restu mama, hanya mengabari papa ketika hendak melangsungkan pernikahan. Aku benar-benar menjadi wanita idealis dan arogan, mama membentukku menjadi seperti dirinya.
Kadang aku merasa rindu sekali kepada mama, tapi setiap kali ingin mencoba menghubungi atau menjenguknya, rasa benci selalu menguasai. Aku muak jika mengingat semua perlakuan mama.
Hari berganti, kabar duka yang sebenarnya sudah kuduga akhirnya sampai ke telinga, sejak terserang stroke 2 tahun lalu, kudengar kondisi mama semakin memburuk. Pagi tadi mama menghembuskan nafas terakhirnya di rumah, sebagai satu-satunya ahli waris aku diminta notaris untuk mengurusi surat-surat penting dan peninggalan mama. Akupun memutuskan untuk pulang ke Indonesia, sedih tapi tidak begitu menyakitkan, mungkin faktor jarang bertemu yang membutku tidak terlalu merasa kehilangan.
Sampai di rumah aku segera menuju kamar mama, tempat Ia terakhir dibaringkan, jasadnya sudah rapi. Kulihat mbak Tini, Ia menua, seperti seorang nenek. Mbak Tini menangis sesenggukan di samping jasad mama yang belum dikuburkan karena menunggu kedatanganku, aku segera menghampiri lalu mencium kening mama. Setelahnya mama segera dikuburkan.
Usai dari pemakaman, notaris dan orang kepercayaannya mempersilakanku beristirahat, begitupun dengan uak dan bibiku yang menyuruhku melepas rindu di rumah ini, aku berkeliling dan masuk ke kamar mama, menjatuhkan diri di tempat tidur, kulihat di tepi kasur di bawah meja rias masih ada kotak kado yang dulu mama berikan. Aku tersenyum.
Kuraih kotak kado itu, kubuka ternyata isinya masih utuh, tas Prada itu masih menawan meski sudah bertahun-tahun hanya membuat warnanya sedikit kusam. Kubuka tas itu, dan terkejut bukan kepalang, terdapat sebuah kunci, dan kwitasi pembayaran serta kertas garansi mobil sport merk Ford tepat sehari sebelum aku wisuda 10 tahun lalu, aku lemas di tepian kasur, aku beranjak menuju garasi dan benar, ada mobil yang dulu jadi idamanku, meski aku sudah mampu membelinya sendiri jauh beberapa tahun yang lalu. (cerpen kiriman Anisa Siti Rizkia)