*The previous chapter: #FixzySukabumi: (Chapter 2): Lady of Black
———————————–
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
———————————–
Cklek!
Terdengar pintu dibuka. Seorang pria kulit hitam, kurus berjaket kulit masuk membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus plastik hitam. Ia menyalakan lampu, dan tersenyum lebar sambil menatap kotak itu. Ia menutup pintu kembali dan menguncinya. Ia berjalan ke arah sofa seraya bernyanyi kecil bahagia.
“Sepertinya kau sedang senang ya hari ini?” Sebuah suara mengejutkan pria itu. Ia menatap sekeliling apartemen kecilnya. Ia melihat sesosok wanita berdiri di dekat jendela. Wanita itu tinggi, berambut hitam panjang. Tubuhnya dibalut mantel berwarna coklat tua. Kedua tangannya masuk ke dalam kantong mantel. Matanya yang hijau menatap tajam ke arahnya.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk kemari?” pria itu bertanya bingung. Ia melihat semua jendela tertutup dan terkunci. Pintu masuk dan pintu darurat pun terkunci dengan rapat.
“Jangan bingung, aku bisa masuk ke apartemen siapapun yang aku mau, Rico Esteban. Oh! Bukan, Street. Itu nama julukan mu bukan?” Grace menatap pria yang mulai siaga itu. Pria itu merogoh saku jaketnya lalu mengacungkan pistol ke arah wanita itu.
“Cepat keluar!” bentak Rico. Ia menarik pelatuknya, dan menyuruh wanita itu bergerak.
“Kau ketakutan rupanya,” wanita itu menyeringai. Rico mundur perlahan.
“Percuma. Jika kau menembakku lalu kabur. Di luar sana, anak buahku yang berjaga akan menangkapmu. Bagaimana jika kita bicara santai saja,” wanita itu berjalan menuju sofa, lalu duduk dengan santai.
“Apa maumu? Bagaimana kau tahu siapa aku?” tanya Rico. Wanita itu mengeluarkan tangannya dari dalam saku. Sepasang sarung tangan hitam dengan gambar mahkota kecil berwarna emas yang terpasang di tangan wanita itu membuat Rico terperangah. Ia lalu tersenyum. Grace melihat perubahan mimik Rico.
“Apa kau mengenali aku?” wanita itu mengerutkan kening seraya menunjukkan sarung tangannya yang bergambar mahkota. Rico menurunkan pistolnya, lalu memasukkan kembali pistol itu ke dalam kantong jaketnya.
“Tentu, kau adalah ‘G’ alias dokter Grace. Siapa berandalan yang tidak mengenalmu di New York. Tanda di sarung tanganmu itu spesial. Hahh… Aku pikir kau siapa. Tahu itu kau, aku tidak akan kaget,” Rico mendekat, lalu duduk di sebelah Grace.
“Kenapa kau tidak takut padaku lagi?” Grace mengangkat alisnya seraya melipat tangannya. Rico terkekeh, ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak di atas meja, lalu mengambil pemantik dari sakunya, dan menyalakan rokok itu.
“Reputasimu tidak seburuk yang dipikirkan banyak orang. Untuk orang sepertiku, kau adalah malaikat. Tapi untuk orang-orang tertentu, kau adalah pencabut nyawa,” Rico menghembuskan asap dari mulutnya. Grace mengangkat alisnya dan tersenyum.
“Tentu, dan aku yakin kau tahu kenapa aku kemari. Benar?” Grace menatap Rico lekat. Pria kulit hitam itu menatap Grace sesaat.
“Setiap orang yang datang padaku hanya memiliki dua tujuan. Satu, mereka mencari narkoba. Dua, mereka datang untuk mencari informasi. Dari yang ku lihat kau bukan tipe pertama. Jadi, apa informasi yang kau butuhkan? Dan aku yakin kau tahu, itu tidak Gratis,” Rico kembali menghisap rokoknya. Kali ini ia menyandarkan tubuhnya di sofa seraya menyilang kan kakinya. Grace tertawa.
“Baiklah, aku tahu maksudmu.” Grace merogoh kantong mantelnya lalu mengeluarkan segepok uang seratus dolar. Mata Rico membesar dan berbinar. Grace menunjukkan uang itu di depan Rico dan menggoyangkannya.
“Aku akan memberikan informasi apapun yang kau butuhkan,” ucap Rico spontan. Grace tersenyum puas. Ia meletakkan uang itu di atas meja kayu lusuh di depan sofa.
“Aku hanya akan memberikan uang itu padamu jika kau bisa memberikan informasi yang benar-benar akurat,” kata Grace sambil menyilangkan kaki dan melipat tangannya di depan dada.
“Kau bisa mengandalkan ku,” Rico tersenyum lebar. Grace mengangguk.
“Aku yakin kau tahu kartel Domingo dan Bonnas bukan?” Grace mulai bertanya.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Ash Lee Soon
“Tentu, aku tahu. Kenapa?” Rico menatapnya serius, ia mematikan rokoknya di atas asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok berbagai merk.
“Apa kau pernah melihat ada seorang pria bertato ular di belakang kepalanya di antara anggota ataupun pimpinan dua kartel itu?” Senyum hilang dari bibir Grace, yang terlihat oleh Rico adalah tatapan tajam serius yang membuat bulu kuduknya merinding. Mata hijau Grace terlihat lebih gelap dari saat Rico pertama kali melihatnya.
“Boleh aku tahu kenapa kau menanyakan pria itu?” jantung Rico berdegup kencang saat menanyakan hal itu. Grace menarik punggungnya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Rico.
“Aku ada urusan penting dengannya. Kau tahu? Dia terlibat kasus penembakan di Central Park sepuluh tahun lalu.” Tatapan mata Grace semakin dingin. Rico merasakan aura gelap dari Grace. Ia sedikit ketakutan, buka karena hal itu, tapi ada hal lain yang membuatnya gemetar. Rico berusaha untuk tetap tenang.
“Aku tahu ada pria bertato ular itu,” ucap Rico setengah berbisik. Ia mencoba mengingat, mata Grace menatap Rico tak berkedip, dan itu membuatnya gugup. “Pria itu… Disebut anonymous.” Rico memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Anonymous?” Grace mengangkat sebelah alisnya. Tangan Rico mulai gemetar.
“Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku tahu, dia adalah tangan kanan dari pemimpin Shadow. Dia tidak masuk ke kartel manapun, ia hanya muncul untuk membunuh orang-orang tertentu,” mata Rico menerawang. Ia tak banyak bicara lagi.
“Shadow… Para pembunuh bayaran brutal itu?” Grace mengerutkan keningnya. Rico mengangguk pelan. “Kau tahu di mana dia?” Grace mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Rico tajam.
“Tidak ada yang tahu di mana pria itu. Mungkin kau bisa menanyakannya pada Baboon. Dia memiliki akses ke semua kartel. Mungkin dia bisa memberimu sedikit informasi tentang pria bertato ular itu.” Rico mengambil sebatang rokok lagi, lalu menyalakannya.
“Beritahu aku di mana aku bisa menemukan Baboon.” Grace mengeluarkan sebuah ballpoint dan buku kecil dari kantongnya. Rico mengambil ballpoint dan buku itu, lalu menuliskan sesuatu. Setelah selesai, ia menyerahkan kembali buku itu. Grace mengangguk.
“Aku akan datang lagi,” ucapnya. Rico terkejut. “Untuk berkunjung.” Grace tersenyum. Rico menghembuskan napas lega.
“Tentu. Lain kali, datanglah dengan mengetuk pintu,” ujar Rico tertawa.
“Baiklah, aku pergi. Simpan uang itu, dan berhentilah mengedarkan narkoba. Itu bisa membuatmu dalam masalah.” Grace bangkit dari tempat duduknya, dan memasukkan buku kecil itu kembali ke dalam kantongnya. Rico mengambil uang itu lalu menciuminya.
“Tentu, tapi hanya sampai uang ini habis,” Rico tertawa. “Kau belum menjawab pertanyaan ku. Dari mana kau tahu aku? Bagaimana kau menemukan ku?” Rico menatap Grace.
“Kau tak perlu tahu, karena dinding pun punya telinga.” Grace beranjak pergi meninggalkan Rico yang kebingungan.
“Ah! Terserah. Yang pasti aku kaya!” Rico bangun dari tempat duduknya dan menari tidak jelas.
***
Grace memasuki lift kecil apartemen Rico. Ia terus berpikir tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dan sebelum itu, dia harus menemukan Baboon, si informan kedua.
“Ini akan semakin sulit. Aku harus mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi nanti,” ucapnya dalam hati.
Ia memasukkan tangan kedalam kantong mantelnya. Pikirannya melayang pada saat ibu dan adiknya terbunuh. Bayangan pria bertato ular itu membuat emosinya naik, dan tanpa terasa, air mata menetes di pipinya. Ia menangis dalam diam, di dalam lift yang sempit dan kotor.
*Til next part: #FixzySukabumi (Chapter 3): Informan 2: Baboon