Menjadi penjual cilok meneruskan suaminya, Lili Suhaeli (69) yang sakit stroke.
Orangtua mana yang tidak memiliki keinginan memenuhi kebutuhan anak-anaknya? Bahkan, andaipun tidak mungkin memberi yang terbaik, membuatnya tersenyum adalah prioritas kedua untuk membahagiakan si buah hati.
Banyak anak yang beruntung, memiliki orangtua dengan pekerjaan dan penghasilan besar, namun tidak sedikit yang hidup pas-pasan dan harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sobat sukabumiXYZ.com, Sarminem (50) adalah salah seorang wanita tangguh yang tidak saja ingin membahagiakan anak-anaknya, tetapi juga merangkap sebagai tulang punggung keluarga, terlebih semenjak suaminya diserang sakit.
Siapakah wanita tangguh ini? Berikut lima faktanya.
[1] Viral di media sosial
Sarminem viral dan diperbincangan di dunia maya setelah sosoknya muncul di media sosial Facebook. Netizen pun memberikan komentar beragam, dari sekadar menanggapi postingan, introspeksi karena merasa kurang bersyukur, hingga komentar simpati dan menawarkan bantuan uang.
“Ya allah saya kurang bersyukur,” tulis akun Ahmad Galih, “Klo ada w… 100% w beli buanyakk,” tulis Lona Indianareal, “mudahn di lancarkan rejeki beliau.. di panjngkan umur beliau Aamiin,” tulis Purwanto Eling, atau Tici Sugiarti yang menulis, “Nangis liat ginian ya Allah.” Hingga menawarkan bantuan uang, “Kalau mau donasi ke ibu ini ke no rekening mana?” tulis akun Irvan Fikri.
[2] Berjalan kaki 3 km sehari
Sarminem, sosoknya viral di media sosial sebagai penjual cilok pikul asal Kampung Cikukulu 2 RT 07/02, Desa Cisande, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi.
Sarminem menjadi penjual cilok meneruskan suaminya, Lili Suhaeli (69) yang sakit stroke. Ia dan suaminya berjualan cilok sudah sejak enam tahun lalu.
Semenjak menggantikan posisi suaminya, Sarminem harus kuat menanggung beban dagangan seberat sekira 30 kilogram berkeliling kampung yang jika dihitung bisa mencapai tiga kilometer. Setiap hari, ia berangkat berjualan cilok keliling pada sore hari pukul 16.00 WIB, dan pulang petang menjelang malam.
Cilok yang dijual Sarminem adalah hasil olahan sendiri. Proses produksi ciloknya ini dimulai sejak pukul 05.00 WIB, untuk belanja bahan baku ke pasar. Sepulang dari pasar, iapun langsung membuat adonan cilok. Menjelang sore hari, barulah Sarminem berkeliling kampung menjajakan jualannya.
BACA JUGA:
Jumlah warga miskin Kabupaten Sukabumi mengkhawatirkan, ini 5 infonya
Sepasang renta tanpa anak huni gubuk miring di Cidahu Sukabumi
Cermin Rodiah dari Gegerbitung Sukabumi dan ironi masyarakat yang religius
[3] Penghasilan sehari-hari
Dalam sehari, Sarinem sekali jalan membawa cilok paling banyak hanya 200 butir. Dari usaha berjualan cilok, pendapatannya terbilang tidak menentu. Jika cilok daganganya laris manis, ia bisa membawa pulang hingga Rp100 ribu lebih. Namun, tidak jarang ia hanya bisa membawa pulang uang Rp50 ribu sampai Rp70 ribu. Bahkan pernah hanya membawa pulang Rp20 ribu saja.
Keuntungan dari hasil berjualan cilok ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari serta membiayai sekolah kedua anaknya, Nur Sabtia (15) yang saat ini duduk di bangku SMP Kelas VIII dan Ineu Suryanti (12) yang masih duduk di kelas IV SD.
[4] Ingin pulang kampung
Kepada tetangganya, Sarminem kerap menyampaikan keinginannya untuk pulang ke kampung halaman di Cilacap, Jawa Tengah. Namun, ia mengaku keinginannya itu belum bisa terlaksanakan karena Sarminem tak memiliki biaya untuk ongkos.
[5] Komentar suami
Sementara itu Lili Suhaeli, suami Sarminem menuturkan, pada awalnya istrinya tersebut meminta izin untuk berjualan di depan masjid dekat rumahnya. Tetapi setelah beberapa hari berjualan, Sarminem meminta izin untuk jualan cilok dengan cara dipikul keliling kampung.
“Sebetulnya saya juga tak tega tetapi mau gimana lagi, saya sudah coba melarang, tetapi istri saya tetap keukeuh. Saya pun tidak bisa melarangnya karena saat ini saya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lantaran sakit,” bebernya seperti dikutip dari sukabumiupdate.com.
Lili dan Sarminem serta kedua anaknya tinggal di rumah berukuran sekira 7 x 4 meter persegi.
Nah, Gengs, buat kalian yang sering mengeluh, buat istri yang kerap menggerutu, atau buat kalian para ABG yang yang tak berhenti merengut karena perlengkapan kecantikanmu sudah habis, mungkin kalian kurang bersyukur. Dari Sarminem setidaknya kita bisa belajar bahwa hidup terus berjalan, tidak menunggu kamu kaya, tidak menunggu kita puas. Hidup harus dijalani dan disyukuri, apapun kondisinya.
Melihat nasib dan tubuh Sarminem yang kurus kecil dalam usia yang tidak lagi muda, kita bisa belajar bahwa tulang rusukpun bisa sekuat tulang punggung yang mampu memikul beban hidup yang kian berat seiring kebutuhan yang terus meningkat.
Dari berbagai sumber