Kenapa sih, Gaess, Gamelan Sari Oneng Parakansalak kok bisa bikin heboh warga Sukabumi? Irman Firmansyah, Ketua Yayasan Dapuran Kipahare dan salah seorang pengurus Soekaboemi Heritages menceritakan duduk sebabnya kepada sukabumiXYZ.com.
Penasaran apa jawaban Kang Irman kenapa gamelan bersejarah tersebut harus kembali dibawa ke Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, Gaess? Berikut petikannya:

Bagaimana awalnya sampai pementasan orkestra dan Gamelan Sari Oneng di Jakarta menjadi polemik?
Saat pementasan Sari Oneng tersebut muncul flyer di media sosial yang ditulis bahwa Gamelan Sari Oneng Parakansalak Sumedang. Tentu saja sebagian masyarakat Sukabumi, terutama para pegiat sejarah mempertanyakan kenapa nama Parakansalak disandingkan dengan Sumedang? Padahal Parakansalak berada di Sukabumi. Untuk itulah, kami dari Yayasan Dapuran Kipahare mengirimkan surat yang berisi pertanyaan kepada Insitut Francais Indonesia selaku penyelenggara, namun hingga kini belum mendapatkan respon. Mungkin mereka hanya panitia saja.
Nah, sebagian orang kan sudah mengetahui bahwa Gamelan Sari Oneng yang dimaksud memang berasal dari Parakansalak, Kabupaten Sukabumi yang ditipkan di Museum Geusan Ulun Sumedang. Namun dalam perdebatan di media sosial banyak pihak yang mentupi fakta itu, tanpa menyebut Sukabumi, mereka seperti tengah mengarahkan perdebatan mengenai asal usul gamelan tersebut bahwa sebelumnya adalah milik orang Belanda dan dihibahkan kepada keluarga Suriadanuningrat, hingga kemudian dititipkan di Sumedang.
Saya kira lambat laun akan terjadi penyesatan sejarah, padahal faktanya Gamelan Sari Oneng Parakansalak dan para nayaganya berasal dari Sukabumi. Karena itu para pegiat sejarah di Sukabumi maupun para seniman menginginkan ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengembalikan Gamelan Sari Oneng ke Sukabumi. Hingga saat ini Pemerintah Sumedang sudah mendapatkan manfaat dari gamelan tersebut sebagai aset sejarah dan wisata. Bahkan, Bupati Sumedang sudah mencanangkan program untuk mendatangkan investor melalui pementasan Sari Oneng ini. Seharusnya kan Sukabumi yang memperoleh manfaat. Pemkab Sukabumi kan punya konsep Gurilapss, tapi kok seperti kurang memperhatikan sejarah.
Isu ini sudah lama hadir dan digaungkan para pegiat sejarah, tapi belum ada upaya konkrit untuk mengembalikan Gamelan Sari Oneng. Kita malah sibuk membiayai perubahan hari jadi Kabupaten Sukabumi yang masih kontroversi, atau mencari kegiatan-kegiatan bidang lain yang masih berupa potensi, tetapi abai terhadap Gamelan Sari Oneng yang merupakan aset sejarah yang sudah jadi.
Selain itu, masyarakat juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mengangkat kejayaan Sari Oneng ini. Misalnya Abah Tebe (Acep Hatipi), seorang budayawan di Parakansalak yang sudah mendirikan Padepokan Sari Oneng Parakansalak di Parakansalak dan di Kalapanunggal. Aktivitas padepokan ini antara lain memberikan pelatihan kepada generasi muda dalam memainkan gamelan dan kesenian, serta keterampilan dalam budaya Sunda. Seharusnya ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah.

Apakah tidak ada andil Sumedang sama sekali, sehingga Gamelan Sari Oneng ini dinilai harus berada di Sukabumi?
Tentu ada. Tetapi ini bukan persoalan andil, lebih jauh dari itu, ini soal perjalanan sejarah. Andil Sumedang adalah mereka sekarang yang merawat. Bahkan konon, gamelan ini dibuat di Kampung Gending, Kota Wetan, Sumedang pada 1825. Masih simpang siur kenapa pembuatan tahun 1825, karena dalam keterangan lain, Adriaan Walfare Holle baru memesannya tahun 1857 saat dia menggantikan Van Der Hucht sebagai Administratur Perkebunan Parakansalak.
Di samping itu, tidak jelas juga Gamelan Sari Oneng yang mana yang dibuat di Sumedang karena konon Sari Oneng Parakansalak itu terdiri dari lima set. Tetapi secara umum tentunya ada hubungannya dengan Sumedang, misalnya dalam pelatihan. Dalam surat EJ Kerkhoben saat magang di Parakansalak pada 9 juni 1861 mengungkapkan, “Sungguh saya hampir tidak bisa menulis lagi karena Adriaan bersama Bupati Sumedang sedang memberikan pelajaran lagu-lagu baru kepada pemain gamelan lainnya, pelajaran diberikan di beranda depan, dari pukul 08.00 sampai pukul 24.00 malam”. Meski begitu, tetap saja fakta sejarahnya bahwa Gamelan Sari Oneng ini berada di Parakansalak dan dimainkan oleh para pemain yang notabene pekerja Perkebunan Parakansalak.
Sejak dipesan oleh AW Holle, Gamelan Sari Oneng dimainkan di Parakansalak untuk menghibur para pekerja perkebunan dan tamu yang berkunjung. Saat itu, setiap tamu yang berkunjung ke Parakansalak sudah pasti akan dijamu dengan pentas gamelan. Mereka berlatih setiap hari dan sangat terampil.
Kemudian Gustav CFW Mundt kakak ipar dari Holle yang menjadi penggantinya bahkan membuat program semacam Visit Parakansalak en Sinagar di mana para tamu diajak berkeliling perkebunan dengan kuda, kemudian dijamu dengan pentas gamelan. Sari Oneng juga menjadi pembuka peresmian jalur kereta Buitenzorg-Soekaboemi tahun 1882, dengan tampil menyambut para tetamu kehormatan di Stasiun Parungkuda. Demikian pula saat melanglang buana, dalam banyak literatur disebutkan bahwa pemainnya dari Parakansalak bukan Sumedang. Mereka juga sempat mogok main ketika di Amsterdam, bahkan hingga ada pemain meninggal dunia di Paris yang bernama Aneh.
Selain itu, ada juga pemain yang hamil saat berada di Chicago, Amerika Serikat, dan melahirkan anak bernama Ameri (baca: Cinta sejati untuk Ameri: Gadis Sukabumi tak sempurna yang membutakan hati pria bermata biru). Dalam penelitian Eliza Ruhamah Scidmore, tempat yang dituju adalah Perkebunan Parakansalak, sehingga dia menyimpulkan bahwa para pemain tersebut kurang sejahtera dan tidak sepadan dengan kontribusinya melalui gamelan.
Nah, tentunya dengan fakta-fakta ini gamelan harus berada di Sukabumi, untuk menghormati masyarakat dan para pemain serta keturunanya yang sudah bergelut penu dedikasi dengan Sari Oneng ini.
BACA JUGA:
Jualan seblak, si cantik asal Nagrak Sukabumi ini omset usahanya Rp3 juta per hari
Kenali kuy cara kerja alat deteksi longsor karya guru honorer di Cicurug Sukabumi

Bagaimana sih sebenarnya perjalanan Sari Oneng ini hingga sampai ke Sumedang?
Pada awalnya Mundt, Adminsitratur Perkebunan Parakansalak, dan Kerkhoven dari Sinagar tergerak untuk mengikutkan Sari Oneng Parakansalak ke pentas dunia. Langkah awalnya dengan mengirimkan mereka ke Amsterdam Belanda pada tahun 1883. Dua set gamelan turut dikirim ke Amsterdam, namun konon keduanya tak kembali, para pemain kembali ke Parakansalak tanpa peralatan gamelan, salah satu set gamelan masih tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Hal ini dimungkinkan karena saat itu sudah ada beberapa set gamelan Sari Oneng di Parakansalak, atau bisa jadi membuat kembali gamelan yang baru. Kemudian ketika perayaan 100 tahun Revolusi Perancis, dua set gamelan Sari Oneng juga dikirimkan ke Paris tahun 1899, konon yang kembali hanya satu, yaitu Gamelan Sari Oneng yang saat ini disimpan di Museum Geusan Ulung Sumedang, satunya lagi tak diketahui rimbanya.
Jika mengacu kepada keterangan di atas, maka Sari Oneng yang di Sumedang bukanlah yang dipesan oleh Holle tahun 1857, alias bukan yang dibuat di Sumedang tahun 1825. Belum diketahui keterangan yang lebih jelas, salah satu kemungkinan lain adalah gamelan kembali ke Parakansalak satu set dari Amsterdam dan digunakan kembali di Paris.
Dari Paris, gamelan kembali satu set karena sempat digunakan. Bahkan Sari Oneng juga pernah menyambut Gubernur Jendral yang datang ke Sukabumi sekira akhir tahun 1899. Sementara saat Columbian Exhibition di Chicago, kembaran Gamelan Sari Oneng yang dikirimkan ke sana. Gamelan yang awalnya akan dipentaskan untuk pembuka ini akhirnya diminta untuk tetap tampil selama Mei sampai Oktober 1893. Padahal, sebelumnya akan langsung dikapalkan ke Antwerpen, Belanda, namun akhirnya gamelan tersebut dibeli oleh Museum Field History dan sempat melakukan rekaman yang disebut sebagai rekaman gamelan pertama di dunia.
Dari kronologis yang saya kemukakan ini, Gamelan Sari Oneng Parakan salak berada di Perkebunan Parakansalak hingga penjajah Jepang masuk, pendapat ini bisa direvisi jika ada fakta lain. Namun, ada juga pendapat yang menyebut bahwa gamelan berada di Belanda dan dikirim ke Indonesia tahun 1942, namun utnuk pendapat yang ini belum saya temukan dokumen pengirimannya. Kemudian gamelan disembunyikan oleh Bupati Sukabumi Suria Danuningrat yang berhubungan baik dengan Administratur Parakansalak, dari ancaman tentara Jepang. Bahkan keluarga W. Th. Boreel sempat ditolong olehnya. Lalu gamelan dihibahkan pada 1956 oleh MOA Huguenin (Administratur Parakansalak pascakemerdekaan Indonesia) seiring nasionalisasi perkebunan di Sukabumi.
Suria Danuningrat kemudian wafat pada 8 Desember 1975, keluarganya lantas menitipkan Gamelan Sari Oneng di museum Geusan Ulun Sumedang, mengingat leluhur Suria Danuningrat berasal dari Sumedang.
Dengan demikian, kemungkinan bahwa ini adalah gamelan pertama, karena ternyata tanpa goong ageung yang berdiameter 92 cm. Gong tersebut ditemukan di Belanda dan kemudian diserahkan pada 13 April 1989 oleh Huguenin kepada RGS Soeria Danoeningeat yang mewakili keluarga Suriadanuningrat. Mungkin alasan itu pula yang menyebabkan rencana pengiriman Sari Oneng yang akan pentas di Chicago ke Antwerpen, karena di sana hanya ada satu gamelan yang tertinggal, yaitu yang berada di Museum Leiden.

Apa yang membedakan Gamelan Sari Oneng dengan gamelan lainnnya sehingga harus kembali ke Sukabumi?
Gamelan Sari Oneng sangat unik karena dipesan khusus dengan bahan terbaik, baik logam maupun kayunya. Kayu besi pilihan pengrajin Thailand ini dominasi warna biru dan hijau. Terdapat 19 jenis waditra (alat musik), di mana setiap ujung bagian perangkat gamelan terdapat motif kepala harimau Cina yang disebut kilin. Sedangkan palang kayu yang dijadikan gantungan gong berhiaskan naga, sepasang bonang rincik dan indung (ageung), tiga saron, dua panderus, satu katipul, lima demung, dua jenglong, gambang, dua peking, bende, dan sepasang gong.
Karena terbuat dari kayu besi, saron yang berukuran sebesar anak kecil saja, hanya bisa dipindahkan oleh minimal dua orang dewasa, di bagian ujungnya terdapat gelang besi berdiameter sepuluh centimeter untuk pegangan. Keterangan ini masih persis sama dengan yang ada di Sumedang saat ini. Selain itu, ada juga Sari Oneng Mataram yang tersimpan di Museum Geusan Ulun, konon gamelan ini diberikan Sultan Agung kepada Rangga Gempol III, namun tentunya berbeda bahan dan motif desainnya.
Gamelan lain juga pernah ada yang dipentaskan di luar negeri, misalnya Gamelan Surakarta yang dipentaskan dalam National and Colonial Iindustrial Eshibition di Kota Arnhem pada 1879. Bahkan, Rijk Ethnograpic Museum juga memiliki set gamelan yang pernah dipentaskan pada Exposition Universelle 1878 di Paris, dan Exhibition di Berlin, Jerman tahun 1880.
Kemudian pada tahun 1882, sempat dikirim Gamelan Yogyakarta ke Royal Aquarium di Westminster, Inggris untuk pentas selama beberapa hari. Sedangkan di paris, sempat dipentaskan Gamelan Bali dalam Exposition Coloniale Internationale tahun 1931. Namun begitu, Gamelan Sari Oneng ini memang sangat khas, baik dari kualitas musikalitas maupun bentuknya. Yang jelas, Sari Oneng masih ada, baik sejarahnya maupun fisiknya, sehingga harus kembali ke Sukabumi sesegera mungkin.
Terlalu lama wacana ini muncul, tanpa respon dan aksi nyata dari pemerintah daerah.
BACA JUGA:
Mengungkap tuduhan radikal dan ketakutan terhadap Muslim Sukabumi masa kolonial Belanda
Personel Sari Oneng Parakansalak, pionir mogok tenaga kerja Sukabumi di pentas internasioal

Lantas bagaimana dengan keberadaan museum yang menjadi syarat pengembalian Sari Oneng ke Sukabumi?
Persoalan museum juga menjadi salah satu tolok ukur komitmen pemerintah daerah terhadap sejarah. Di daerah lain museum menjadi pusat informasi sejarah masyarakat. Saat ini para peneliti luar negeri kesulitan untuk mencari data tentang sejarah Sukabumi di Sukabumi. Ini pula yang menggerakan komunitas kesejarahan di Sukabumi melakukan riset mandiri. Soekaboemi Heritages dan Yayaan Dapuran Kipahare sudah menginisasinya dengan membuat beberapa buku tentang sejarah Sukabumi ini.
Saat ini memang sudah ada museum milik pemerintah di Bojongkokosan, Parungkuda, namun kategori museum perjuangan, meskipun isinya kurang lengkap dan temanya bercampur dengan non sejarah perjuangan. Memang perlu segera membangun museum yang khusus bertema sejarah Sukabumi.
Untuk museum non pemerintah atau perorangan, saat ini sudah ada beberapa museum diantaranya Museum Pegadaian milik Perum Pegadaian dengan tema barang-barang Pegadaian. Kemudian ada Museum Setukpa Polri dengan tema foto-foto Setukpa tempo dulu, ada Museum Barbeque Kipahare dengan tema barang-barang yang berkaitan dengan sejarah Sukabumi dan umum, lalu ada Museum Prabu Siliwangi dengan galeri koleksi bertemakan pajajaran Islam, dan Museum Ki Pahare yang bertemakan budaya kasundaan. Museum-museum tersebut berdiri sendiri dan bergerak sesuai visi dan misi para pengelolanya.
Nah, karena milik pribadi, tentu tidak bisa disalahkan jika pada akhirnya ada museum yang dikomersialkan untuk kegiatan non kesejarahan. Saya pikir penting sekali pemerintah daerah memiliki museum yang sekaligus menjadi pusat informasi sejarah dan dikelola secara profesional, mengingat banyak artefak-artefak sejarah Sukabumi yang tersebar luas. Laporan NJ Krom, selama kurun tahun 1914 sudah ada 25 temuan artefak di Sukabumi yang kemudian dibawa ke Museum Nasional di Jakarta. Belum lagi temuan peneliti lain. Namun sayangnya, saat dicek ke Museum Nasional, hanya ada satu dua yang di-display, sisanya entah kemana. Bisa jadi di gudang, atau malah hilang.
Dengan demikian, keberadaan museum di Kabupaten Sukabumi, akan lebih mudah untuk menempatkan dan merawat Gamelan Sari Oneng di daerah asalnya. Tetapi, jika masih harus menunggu lebih lama lagi, maka harus dicari soslusi lain, misalnya dengan menitipkannya terlebih dahulu di Museum Palagan Bojongkokosan supaya terjaga hingga mempunyai museum tersendiri untuk menyimpannya.
Irman Firmansyah: Ia lahir di Sukabumi, 21 juni 1977. Ia menamatkan S1 Hubungan Internasional di Universitas Negeri Jember (2001), dan S2 Manajemen Universitas Bhayangkara, Jakarta. Kini Irman bekerja sebagai Manajer HRD, Security, dan HSE di bidang oil & gas service. Irman juga menjadi Ketua Yayasan Kipahare., dan pengurus Soekaboemi Heritages.