Nyai Djuaesih, seorang tokoh pendidik-pendakwah perempuan kelahiran Sukabumi yang juga menjadi pelopor kebangkitan perempuan Indonesia, terutama di kalangan Nahdatul Ulama (NU).
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, ada banyak tokoh perempuan yang tentunya kalian kenal ya, Gaess. Sebut saja RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lainnya. Nama mereka tercatat dengan tinta emas sebagai pahlawan bangsa dan menjadi simbol emansipasi (kesetaraan) perempuan. Mereka menjadi peletak dasar perjuangan hak-hak perempuan di negeri ini.
Nah sekarang, tahukah kalian kalau Sukabumi juga punya tokoh emansipasi perempuan yang bahkan disetarakan dengan RA. Kartini? Namanya Nyai Djuaesih, dan berikut lima fakta tentang beliau yang dirangkum Sukabumixyz.com dari berbagai sumber.
[1] Lahir dari keluarga pendakwah yang sederhana di Sukabumi
Bersumber dokumen di berbagai website NU, dituliskan nama lengkapnya adalah Nyai Hajjah R. Djuaesih. Lebih dikenal sebagai mubalighah kenamaan, Djuaesih lahir pada bulan Juni 1901 di Sukabumi. Sayangnya, tak ada data lebih detil perihal di mana tepatnya di Sukabumi beliau dilahirkan. Dikatakan lalu, Djuaesih adalah anak dari R.O. Abbas dan R. Omara S. Kedua orang tuanya itu juga dikenal sebagai pengajar agama atau ustad dan ustadzah.
Seperti umumnya anak perempuan dari keluarga sederhana di masa kolonial Belanda, Djuaesih tidak mengeyam pendidikan formal. Ia hanya belajar kepada orang tuanya yang membekalinya dengan ilmu agama. Selebihnya ia belajar dari pergaulan dan lingkungannya.
Setelah cukup umur, Djuaesih menikah dengan Danuatmadja alias H. Bustomi. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai tiga orang anak. Djuaesih sangat memandang penting pendidikan. Itulah mengapa saat mendapatkan kesempatan, ia menyekolahkan ketiga anaknya di sekolah formil sampai menamatkan MULO (red: SMP jaman Belanda).
[2] Menjadi pendakwah dan bergaul di lingkungan NU
Lahir dari keluarga sederhana tak membuat Djuaesih minder. Justru sebaliknya, Djuaesih memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Djuaesih memiliki kemampuan alamiah sebagai pendakwah atau mubalighah dan cukup terkenal di Jawa Barat. la sering memberikan ceramah agama bagi ibu-ibu di berbagai pelosok Jawa Barat seperti di Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis, dan Bekasi.
Persentuhannya dengan organisasi NU dimulai setelah menikah dengan H. Bustomi yang seorang pengurus NU Jawa Barat. Dalam berbagai acara organisasi Djuaesih selalu menyertai suaminya. Dari pergaulannya itulah ia mulai merasa bahwa NU perlu mengorganisasi para perempuannya agar bisa ikut bersama-sama berdakwah.
Menurut Djuaesih, NU mempunyai kewajiban untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam, dan itu bukan hanya tanggung jawab kaum pria. Karena itu, ia mendorong agar perempuan dapat menjadl anggota dan aktif serta memiliki wadah organisasi sendiri di dalam NU.
[3] Pelopor berdirinya Muslimat NU
Dalam perjalannnya, Djuaesih memberikan sumbangsih besar dalam gerakan perempuan di lingkungan NU dan dianggap sebagai pelopor berdirinya organisasi perempuan NU, yaitu Muslimat NU yang kini diketuai oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Peran sentral Djuaesih dalam pendirian Muslimat NU diawali pada forum Muktamar NU ke-13 yang diadakan di Menes, Banten pada tahun 1938.
Dikutip dari buku berjudul, “50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa” yang ditulis tokoh NU Abdullah Alawi, Nyai Djuaesih tercatat menyatakan, ”Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit.”
Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, Nyai Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas) yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum tersebut lalu menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan, dan dakwah.
Rumusan tentang pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi kian menemukan sosok formalnya ketika berlangsung Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940, yakni dengan diterimanya rumusan tersebut lengkap dengan anggaran dasar dan pengurus besarnya. Hanya saja, kala itu Muktamar belum mau memberikan pengakuan secara resmi.
Akhirnya, pada tanggal 29 Maret 1946, keinginan kaum perempuan NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut Muslimat NU. Hari inilah yang di kemudian hari diperingati sebagai hari lahir Muslimat NU sampai sekarang. Pendirian Muslimat NU didukung oleh tiga kyai utama NU, yaitu KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.
Meski menjadi salah satu perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tidak menduduki jabatan tertentu pada kepengurusan pertama Muslimat NU di Jawa Barat. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih menjabat sebagai ketua Muslimat NU Jawa Barat.
editor’s picks:
[4] Memperjuangkan derajat kaum perempuan sampai mengangkat senjata
Dalam perjalanannya, melalui Muslimat NU yang dipelopori Nyai Djuaesih, para perempuan NU mulai menapaki perjuangan yang lebih mantap dan percaya diri. NU sebagai organisasi induknya tetap menjadi garis ideologi dan perjuangan yang tak boleh dilanggar.
Dalam kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Muslimat NU menjadi kekuatan baru yang penting, khususnya dalam isu-isu perempuan. Atas dasar prestasi dan kiprahnya, pada Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952, Muslimat NU pun memperoleh hak otonomi.
Muktamirin sepakat memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU dalam mengatur rumah tangganya sendiri serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan pengabdian. Sejak menjadi badan otonom NU, Muslimat lebih bebas bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan cita-cita nasional secara mandiri.
Tak hanya perjuangan nonfisik, Muslimat NU juga berpartisipasi dalam perjuangan fisik di masa revolusi Indonesia. Salah satunya dengan didirikannya Sukarelawati Muslimat NU yang berisi para perempuan NU yang siap mengangkat senjata demi NKRI.
[5] Nyai Djuaesih disetarakan RA. Kartini
Perannya yang sentral dalam mengangkat harkat dan meartabat perempuan NU, membuat Nyai Djuaesih disetarakan kontribusinya dengan tokoh emansipasi RA. Kartini. Pengakuan itu diberikan oleh aktivis perempuan yang juga anggota DPRD Jawa Timur, Nurfitriana Busyro. Nurfitriana yang istri dari Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim, menulis sebuah artikel menyambut Hari Santri tahun 2018 dalam portal matamaduranews.com.
Dalam artikelnya, Nurfitriana menyebutkan tiga santriwati yang mempunyai jasa besar dalam perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia. Mereka adalah Nyai Siti Walidah Dahlan, Raden Adjeng Kartini, dan Nyai Hajjah R. Djuaesih.
Untuk diketahui, Nyai Siti Walidah Dahlan adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Dan RA. Kartini semua orang sudah tahu bahwa dia adalah sosok utama emansipasi perempuan di negeri ini. Nurfitriana memandang Nyai Djuaesih yang kelahiran Sukabumi layak untuk disejajarkan dengan kedua tokoh perempuan besar itu.
Kehebatan Nyai Djuaesih menurut Nurfitriana terlihat dari keberhasilannya menembus tradisi NU sendiri yang dikenal sebagai organisasi tradisional yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi saat itu masih didominasi pandangan yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan Syar’i.
“Seorang pendakwah yang lugas dan penggerak emansipasi yang otodidak yang kemudian menginspirasi lahirnya Muslimat NU,” tulis Nurfitriana bersaksi tentang Nyai Djuaesih.
[dari berbagai sumber]