Depkominfo sudah blokir satu juta lebih situs porno, tapi tetap saja konten porno (termasuk video porno) mudah diakses bahkan melalui media sosial.
Warga Sukabumi seminggu belakangan ini dikejutkan oleh kasus pembunuhan dan hubungan seksual terlarang sedarah (inses) yang terjadi di Lembursitu, Kota Sukabumi. Kasus yang tepatnya terjadi di Kampung Bojongloawetan, Kelurahan Situmekar, melibatkan seorang ibu Sri Wahyuni alias Yayu (35 tahun) yang melakukan inses dengan dua anak laki-lakinya, RG (16 tahun) dan RD (14 tahun).
Lebih membuat mengelus dada, dari hasil penyelidikan polisi, RG dan RD bersedia melakukan hubungan seks dengan ibunya karena dipengaruhi kebiasaannya menonton video porno melalui media sosial (medsos). Sadisnya lagi, mereka teganya memperkosa dan membunuh adiknya yang masih berusia 5 tahun. Ya, Allah…ckck.
Sebagai bahan pembelajaran untuk kalian gen XYZ, berikut lima fakta mengejutkan yang dirangkum sukabumiXYZ.com tentang konten porno yang banyak berseliweran di dunia maya, terutama medsos.
[1] Dalam sebulan, tercatat 4,4 miliar orang mengakses situs porno
Simak data yang disitir dari www.jalantikus.com dan dirilis pada tanggal 7 Sep 2019 berikut Gaess. Faktanya, situs-situs terlarang yang memuat banyak adegan seksual ternyata mendominasi di dunia maya. Secara total, orang yang berkunjung ke situs-situs ini memang hanya sebesar 4,41% dari seluruh pengunjung internet di dunia.
Walaupun begitu, survei dari ExtremeTech menunjukkan bahwa situs dewasa paling populer di dunia mendapatkan 4,4 miliar page views (kunjungan) tiap bulannya! Sebagai perbandingan, situs yang juga diblokir di Indonesia, Reddit, mendapatkan page views sebanyak 2.8 miliar tiap bulannya.
Data selanjutnya sedikit mengejutkan, rupanya negara yang paling banyak membagikan situs porno adalah Irak, disusul oleh Mesir. Wow. Padahal kedua negara ini termasuk konservatif secara sosial sehingga kemunculannya sebagai negara yang paling sering membagikan situs porno cukup mengejutkan.
Lalu, menyusul di bawahnya adalah Serbia, Jepang, hingga Jerman. Nah, Indonesia ternyata tidak masuk 15 besar, Gaess. Ini cukup menggembirakan mengingat Indonesia adalah salah satu pengguna internet di dunia. Fakta yang cukup menggembirakan juga bahwa Indonesia termasuk lima besar negara (Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, dan Indonesia) yang paling jarang menshare situs porno.
[2] Medsos penyumbang konten porno di Indonesia
Fakta ini senada dengan pengakuan RG dan RD. Sulitnya, konten porno (termasuk video porno) memang tak bisa hilang begitu saja dari medsos, seperti halnya konten GIF porno di aplikasi WhatsApp. Sebelum WhatsApp, banyak konten porno yang tersebar di medsos seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Nah untuk Twitter, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo), merupakan medsos utama penyebaran konten negatif di internet Indonesia. Berikut data selengkapnya berdasarkan jumlah laporan yang masuk ke Kemen Kominfo di tahun 2016-2017. Bisa diasumsikan laporan lebih banyak lagi terjadi di tahun 2018 dan 2019.
Untuk Twitter, di tahun 2016 terdapat 3.211 laporan dan pada periode Januari-September 2017 terdapat 521.407 laporan. Lalu ada Facebook dan Instagram (gabungan), di mana pada tahun 2016 terdapat 1.375 laporan dan pada periode Januari-September 2017 masuk 513 laporan. Terakhir, YouTube dan Google (gabungan), di mana pada tahun 2016 terdapat 1.144 laporan dan pada periode Januari-September 2017 terdapat 99 laporan.
[3] Pemerintah sudah blokir satu juta lebih situs porno
Fakta dari riset ExtremeTech yang menunjukkan Indonesia termasuk lima negara yang jarang mengakses/menshare situs porno, bias jadi merupakan bagian dari keberhasilan kinerja Kemen Kominfo yang per 31 Juli 2019 mengklaim sudah memblokir satu juta lebih situs porno.
Situs porno memang merupakan terbanyak yang ditutup pemerintah sejak tiga tahun terakhir setelah mendapat aduan dan permintaan dari masyarakat secara umum dan lembaga swadaya masyarakat. “Jika masih ada situs amoral tolong dilaporkan dan akan segera diblokir,” tegas Menkominfo Rudiantara, Juli lalu seperti dikutip dari Antara.
Selain situs pornografi, Kemen Kominfo juga mengklaim telah memblokir sebanyak 8.903 akun medsos (Facebok dan Instagram) yang memuat konten negatif. Untuk Twitter, Kemen Kominfo telah memblokir sebanyak 4.985 akun dan juga Youtube sebanyak 1.689 akun yang diblokir. Selain itu, sebanyak 517 akun file sharing dan telegram 502 akun juga sudah diblokir.
Sesuai dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terdapat 12 kelompok konten yang dikategorikan sebagai konten negatif. Kategori konten negatif itu antara lain, pornografi/pornografi anak, perjudian, pemerasan, penipuan, kekerasan/kekerasan anak, fitnah/pencemaran nama baik, pelanggaran kekayaan intelektual, produk dengan aturan khusus, provokasi sara, berita bohong, terorisme/radikalisme, serta informasi/dokumen elektronik.
editor’s picks:
Biadab Gengs, dua lagi kasus pencabulan anak di Kabupaten Sukabumi, cek 5 infonya
Guru SD cabul beri reward ciuman di bibir, quo vadis dunia pendidikan di Kabupaten Sukabumi?
Miris Gengs, kasus oknum guru cabuli murid di Kabupaten Sukabumi terus berulang, ini 5 faktanya
[4] Nonton video porno sebabkan polusi udara
Ada banyak dalil dan alasan, baik itu moral agama ataupun nilai sosial, yang bias dijadikan argumen mengapa tidak boleh menonton video porno. Salah satunya adalah argumen kelestarian lingkungan hiduP. Lho? Apa hubungannya video porno sama lingkungan hidup ya, Gaess? Rupanya nih Gaess, menurut sebuah studi, jika kita tidak menonton video online, termasuk porno secara daring, maka kita akan berkontribusi dalam kegiatan pelestarian alam, yaitu membuat planet bebas polusi. Wih!
Laporan yang dikutip dari Canada’s National Observer mengungkapkan bahwa dua tahun terakhir konsumsi video daring kian melonjak. Hal ini menciptakan 300 juta ton emisi karbon (MtCO2) ke udara. Jumlah ini sama dengan jumlah polusi yang dibuat oleh Spanyol atau sekitar satu persen dari emisi global.
Tahun 2018, video porno menjadi penyebab emisi karbon sebesar 27 persen yang menghasilkan lebih dari 80 MtCO2. Sementara emisi gas rumah kaca lainnya berasal dari video Netflix dan Amazon Prime sebesar 100 MtCO2.
Penelitian yang dilakukan oleh The Shift Project, menyerukan pengguna untuk lebih bijaksana dalam mengonsumsi teknologi digital. “Kita terkendala oleh krisis iklim di planet ini. Konten video pornografi memungkinkan membatasi bandwidth dan penggunaan Netflix membatasi akses ke Wikipedia,” katanya dalam laporan tersebut. Dengan begitu, diharapkan emisi karbon global dapat berkurang sebesar 20 persen di tahun 2030. Owh, begitu toh!
[5] Google dan Facebook pantau penikmat video porno
Lalu, apalagi alasan agar kalian tidak menonton video porno via medsos. Oh iya, rasa malu. Tahukah kalian, Google dan Facebook akan memasang aplikasi yang akan memantau kalian yang suka sama konten porno dan suka mengunjungi situs porno. Nah, selanjutnya Google dan FB akan mengumumkannya. Malu kan kalian kalau ketahuan!
Pemantauan Google dan Facebook sendiri akan dilakukan secara diam-diam. Menurut para peneliti dari Microsoft, Carniege Mellon University, dan University of Pennsylvania dalam studi terbaru menemukan bahwa situs-situs porno rupanya diam-diam membocorkan data pengguna ke pihak ketiga, termasuk Google dan Facebook.
Google adalah yang paling banyak memperoleh data para penikmat film porno. Google diketahui melacak 74 persen dari 22.484 situs porno yang dipantau dalam studi itu. Untuk melacak situs-situs porno itu Google menugaskan beberapa anak usahanya, termasuk perusahaan periklanan online DoubleClick.
Sementara Facebook melacak aktivitas 10 persen dari ribuan situs porno yang diteliti, demikian diwartakan CNet pada Juli lalu. Dalam penelitian itu juga ditemukan bahwa 93 persen dari situs-situs porno yang dianalisis menyerahkan data-data pengguna kepada perusahaan lain.
Nah, akhirnya atas nama moral agama, nilai sosial dan atas nama hukum juga, sikap sebaik-baiknya tentu saja menjauhi konten porno dalam bentuk apapun. Percayalah, menggeluti hobi outdoor sama teman-teman kalian lebih mengasikkan, Gaess.
[dari berbagai sumber]