Perkebunan Sinagar luasnya mencapai 7.486 hektar dan jumlah pekerjanya mencapai 1.700 orang.
Keindahan alam pulau Jawa sudah menjadi perhatian para pelancong luar negeri sejak dulu. Namun sedikit yang tertarik dengan kehidupan masyarakatnya, terutama di pedesaan. Kendalanya, selain lokasi yang sulit dijangkau, rata-rata pedesaan di Jawa dianggap tidak layak bagi para pelancong luar negeri untuk tinggal.
Lain halnya dengan desa-desa yang ada di perkebunan, sebagian pemilik perkebunan yang kaya menyulap lahannya menjadi tempat yang nyaman dan indah laksana replika surga. Diantara deretan nama desa di pulau Jawa, ada satu desa di Kabupaten Sukabumi yang sejak dulu menjadi langganan para pelancong Eropa dan Amerika Serikat (AS) untuk berkunjung, yaitu Sinagar (Nagrak).
Berikut lima fakta sejarah Sinagar yang disajikan redaksi sukabumiXYZ.com dari hasil telaah salah satu peneliti sejarah Sukabumi yang juga merupakan Ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Irman Firmansyah.
[1] Kesaksian Eliza R. Scidmore tahun 1897
Sinagar, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Gede, 7 km ke arah utara kota Cibadak di Sukabumi ini, seringkali dikunjungi oleh orang asing. Saking seringnya, menurut Eliza Ruhamah Scidmore, seorang wanita penulis dan fotografer dari AS yang pernah berkunjung ke Sinagar pada tahun 1897, buku tamu di Sinagar seperti catatan animo hebat (sangat antusias) yang multibahasa dan bersifat internasional. Maksudnya banyak tamu dari berbagai negara di dunia.
Siapa sih Eliza Scidmore? Pastinya dia bukan wanita biasa. Majalah terkemuka dunia National Geographic bahkan menyebut Eliza sebagai perempuan yang berpengaruh bagi mereka. Tak hanya itu, nama Eliza diabadikan pada Gunung Ruhamah, Gletser Scidmore dan Pulau Scidmore di Alaska.
Eliza jatuh cinta dengan Sinagar. Ia pun membuat dua bab khusus tentang Sinagar (Bab Sinagar dan Bab Plantation Life) dalam bukunya yang berjudul Java: Garden of the East. Sinagar yang Eliza sebut sebagai “dunia kecil” digambarkan berada di bukit yang dikelilingi perkebunan teh dengan bentang alam yang menurun. Dari kejauhan terlihat seperti ukiran yang indah yang membuat iri banyak orang, kenang Eliza.
Perihal penduduk desa Sinagar, Eliza mengumpamakan mereka tinggal di rumah-rumah kecil seperti hiasan yang berdiri di atas lahan perkebunan luas dengan dunianya sendiri. Eliza menyamakan kehidupan di Sinagar dengan kehidupan di pedesaan Inggris ditambah elemen kontinental dan tropis yang bersatu dalam tatanan sosial yang penuh dengan kesenangan.
Begitu terpesonanya Eliza, ia juga mengumpamakan kehidupan di Sinagar seperti pentas teater yang dimainkan di Petit Trianon, yaitu benteng kecil di lantai dasar Istana Versailles, Prancis.
[2] Peran Eduard Julius Kerkhoven memajukan Sinagar
Sinagar dalam gambaran Eliza terasa sangat mengagumkan. Padahal ketika lahan itu disewa Tan Soeij Tjiang, seorang Letnan Titulair Chinesen dari Buitenzorg tahun 1842 (55 tahun sebelum Eliza berkunjung di tahun 1897), Sinagar masih berupa hutan belantara yang dihuni harimau.
Nah, kemajuan Sinagar kala itu tak lepas dari tangan dingin seorang Eduard Julius Kerkhoven. Ia adalah salah satu pengusaha di Priangan yang masih punya tali temali darah dalam rumpun besar Preanger Planters yang membentang mulai dari Sukabumi, Bandung hingga Garut.
Karena keuletan Eduard selama bertahun-tahun, sesudah mengambil alih perkebunan Sinagar yang sudah pailit pada Februari 1863, Sinagar pun berubah menjadi perkebunan yang menguntungkan secara finansial. Karena perkembangan tersebut, beberapa pengusaha teh lain yang juga kerabatnya seperti Rudolf Eduard Kerkhoven (pemilik Perkebunan Gambung Ciwidey, Bandung) serta Karel Albert Rudolf Bosscha (tuan tanah di perkebunan teh Malabar yang namanya diabadikan sebagai Observatorium Bosscha), sempat magang di Sinagar.
editor’s picks:
Akhir tragis Si Tuku, kisah gajah yang pernah dipelihara di Nagrak Sukabumi
Jualan seblak, si cantik asal Nagrak Sukabumi ini omset usahanya Rp3 juta per hari
[3] Perkebunan terbesar di dunia dengan karyawan 1.700 orang
Awalnya, Sinagar hanya ditanami teh dan karet. Kemudian ditambah dengan tanaman kina, kopi dan coklat. Namun teh mendapat porsi lahan yang terluas. Untuk mendukung pengembangan perkebunan teh, Kerkhoven menambah lahan dengan menggabungkan lahan Sinagar dengan lahan Cirohani serta Munjul.
Setelah beberapa tahun, produksi teh terbaik Sinagar terus meningkat hingga 1.000.000 lbs per tahun (sekitar 453.592 kg). Alhasil dari produksi tersebut, koran terbitan Oregon (AS), The Sunday Oregonian, pada 20 Oktober 1901 menuliskankan Sinagar sebagai “The world largest tea plantation.” Koran Australia, Bunbury Herald dalam terbitan 24 April 1902 juga menjuluki serupa kepada perkebunan Sinagar yang kala itu luasnya mencapai 18.500 acre (setara sekitar 7.486 hektar). Untuk mengelola perkebunan seluas itu, Kerkhoven mempekerjakan sekitar 1.400 orang dan 3.000 pemetik teh.
[4] Kerkhoven menjadi begitu kaya raya
Tak dipungkiri, hasil keuntungan teh yang melimpah ruah telah memicu kemunculan kelas kaya (borjuis) baru dari Sukabumi, termasuk Sinagar. Karena kekayaannya tersebut, para pemilik perkebunan itu dijuluki Thee Jonkheer (Bangsawan Teh), Koffie Boeren (Petani Kopi Kaya), serta gelar Kina Baron (Pangeran Kina).
Ir. Haryoto Kunto dalam bukunya “Riwayat Kota di Tatar Sunda” menyebutkan bahwa setiap akhir pekan pemilik perkebunan Sukabumi turun ke bawah (naar beneden), yaitu ke kota Bandung, untuk berbelanja. Di sana para pemilik perkebunan Sukabumi sangatlah dihormati. Beberapa meja di lobi hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, Societeit Concordia dan Restoran Maison Bogerijen di Braga selalu disiapkan untuk mereka tanpa seorangpun berani mengganggu.
Karena kekayaan itu pula Kerkhoven yang fasih berbahasa Sunda, menyulap perkebunannya dengan kelengkapan fasilitas layaknya sepenggal taman surga. Kerkhoven seolah ingin menyamankan diri disela kelelahan mengurusi perkebunan teh di tempat terpencil tersebut. Rumahnya sendiri di Sinagar dilengkapi dengan ruang musik bermarmer lengkap dengan pengiringnya, perpustakaan lengkap dengan buku-buku dan majalah terbaru, ruang rias yang besar ruang bilyar yang indah serta kolam renang.
Kemewahan ini membuat para pejabat penasaran untuk sekedar melihat dan merasakan kenyamanan di Sinagar. Dibukanya jalur kereta api Buitenzorg-Soekaboemi pada tahun 1882 memudahkan para pelancong berkunjung ke Sinagar melalui halte Cibadak. Kebanyakan orang-orang yang berkunjung ke Sinagar bukanlah orang biasa, salah satunya Gubernur Jendral Hindia Belanda Frederik Jacob (1881-1884) yang berkunjung pada bulan maret 1884.
[5] Sinagar menjadi tempat wisata alam terkemuka
Awalnya, fasilitas yang dibangun Kerkhoven hanya untuk menunjang kegiatan perkebunannya, termasuk untuk keluarganya dan para pekerja kebun. Lambat laun fasilitas-fasilitas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Kerkhoven membangun paviliun, aula dan bungalow dalam rangka menyambut ratusan tamu saat pesta besar peringatan 25 tahun kedatangannya di Sinagar pada bulan Juni 1888.
Semenjak itu berdatangan tamu-tamu yang berkunjung, baik teman-teman para pemilik perkebunan maupun para pejabat. Hal ini cukup beralasan mengingat pavilion dan bungalow dibangun dengan indah dan dilengkapi dengan fasilitas yang mewah pada masanya seperti telepon dan listrik.
Seperti apa sebenarnya rupa “taman surga” di Sinagar kala itu? Bataviaasch nieuwsblad terbitan 27 Juni 1888 menggambarkan kemewahan itu dengan taman yang indah, bangunan yang unik dan banyaknya hiasan binatang yang dipasang di aula, berupa hiasan tanduk rusa bercabang sebelas dan hiasan burung diatas layar yang dijahit emas, kepala kuda berlapis emas.
Tak berlebihan jika dikatakan demikian mengingat sembilan tahun kemudian Scidmore memberi gambaran detail yang mengagumkan. Scidmore menyebut bahwa di dalam bungalow-bungalow tersebut terdapat tempat tidur gantung, perabotan rotan dan bantal-bantal yang indah. Sementara di luar terdapat taman dengan burung-burung dan aneka jenis bunga berwarna warni.
Kemewahan bungalow disempurnakan dengan galeri yang memampang tengkorak binatang serta kulit macan kumbang, harimau dan anjing liar. Sepanjang pavilion ada sembilan tengkorak Banteng serta cula, gigi, sayap dan bulu-bulu yang dipajang. Selain itu, ada pula meja unik yang terbuat dari kulit badak yang dipasang di atas tengkorak badak dan gajah. Kemudian ada meja dari tempurung kura-kura raksasa yang dipasang di atas tanduk rusa.
Selain menjadi alas meja, tanduk rusa juga dijadikan lampu gantung yang indah melengkapi hiasan dari kulit ular piton yang digunakan sebagai pembatas dinding, semua binatang yang diawetkan itu adalah hasil berburu. Sungguh bak “Taman Surga di Timur.” (*)