Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa…. Bila ingin tahu tentang isi hutan, tanyalah gajah…. Bila ingin tahu sejarah Sukabumi tanyalah ke sukabumi XYZ. Hehehe.
Halo, Gaess. Pernahkah kalian melihat gajah di Sukabumi? Pasti belum ya, paling banter melihatnya di sirkus atau Kebun Binatang Ragunan atau di Bandung.
Ternyata di Sukabumi dulu pernah ada gajah lho, Gaess, sayangnya sekarang sudah punah. Pada masa penjajahan gajah masih bisa dilihat di Sukabumi meskipun hanya gajah peliharaan yang dibawa dari luar pulau.
Kisah keberadaan gajah di Sukabumi ini sangat menarik dan rada-rada tragis gitu, Gaess. Kuy simak bersama ceritanya.
[1] Keberadaan gajah di Sukabumi
Meskipun fisik gajah sudah tidak ada di Sukabumi, namun istilah gajah cukup melekat di kepala masyarakat Sukabumi. Misalnya saja cerita gajah jeung sireum yang menjadi cerita pengantar tidur orangtua bagi anak-anaknya, atau peribahasa maung ngamuk gajah meta. Bahkan warga Sukabumi juga mengenal sebutan untuk anak gajah, yakni menel.
Pengetahuan tentang gajah ini pasti sudah ada di masyarakat karena jauh pada masa lalu, gajah pernah hidup di Sukabumi. Para peneliti Geotrek menyebutkan bahwa hewan herbivora sejenis stegodon, hewan yang merupakan nenek moyang gajah, pernah hidup di padang rumput Ciletuh sekitar 23 juta tahun lampau.
Fakta ini bisa dikomparasikan dengan temuan Edbrink di Panumbangan, Jampang Tengah, yang menunjukkan adanya fosil binatang purba, di antaranya fragmen gigi Elephas Maximus Sumatranus (gajah lebih muda) yang mungkin masih keturunan gajah purba seperti disebutkan di atas.
Pada masa Kerajaan Tarumanegara, gajah ini malah menjadi tunggangan Raja Purnawarman. Gajah spesial ini dinamai Airawata, seperti juga nama gajah tunggangan Dewa Perang, Batara Indra. Kaki sang gajah kemudian diabadikan dalam Prasasti Kebonkopi I di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Bahkan Teratai di atas kepala gajah juga dijadikan bendera Kerajaan Tarumanegara. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) juga menyebutkan binatang gajah, sebagai hewan yang paling tahu isi hutan, bukan harimau yang dijuluki raja hutan lho, Gaess. Hal ini bisa jadi karena kupingnya yang lebar menjadi simbol untuk kesabarannya dalam mendengar.
Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian digambarkan dengan kata-kata indah, ”telaga dikisahkan angsa, gajah mengisahkan hutan, ikan mengisahkan laut, bunga dikisahkan kumbang.”
Maksudnya, kalau mau melakukan sesuatu, tanya dulu pada orang yang tepat. ”Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa…. Bila ingin tahu tentang isi hutan, tanyalah gajah…. Bila ingin tahu sejarah Sukabumi tanyalah ke sukabumi XYZ. Hehehe.
Di wilayah Sunda gajah juga disebut liman (bahasa kawi), kata ini juga menjadi toponimi di beberapa tempat seperti sungai Ciliman di Pandeglang, Palimanan di Cirebon, bahkan nama gajah juga muncul di Leuwi Gajah di Bandung, dan Karang Gajah, Kabupaten Garut.
BACA JUGA:
Meluruskan benang kusut sejarah Hiroshima 2 di Sukabumi
Wisma Wisnuwardani Sukabumi dan kisah tragis sang notaris
[2] Perburuan gajah pada masa kolonial
Pada masa kolonial, tindak perburuan binatang merajalela karena kegiatan ini dijadikan sebagai olahraga dan hobi. Bahkan, seringkali digelar perlombaan. Banyak orang asing yang sengaja berburu binatang ke Sukabumi, bahkan para pemilik perkebunan juga punya hobi elit ini, jika sekarang mungkin setara dengan golf. Salah satu pemilik perkebunan yang jago berburu di Sukabumi adalah Eduard Julius Kerkhoven dari perkebunan Sinagar Cibadak. Baca kisahnya Cinta sejati untuk Ameri: Gadis Sukabumi tak sempurna yang membutakan hati pria bermata biru
Dalam pertemuan para pemilik perkebunan yang bernama Soekaboemische Landbouw Vereeniging mereka juga sering melakukan perburuan bersama, bahkan membuat kawasan perburuan Venatoria di Cikepuh. Binatang yang diburu cukup beragam, salah satunya adalah gajah yang diburu hingga ke Sumatera dan Lampung. Hasil buruannya disimpan di perkebunannya dan dipelihara, sementara sebagian yang mati menjadi hiasan.
Dalam catatan konsul Amerika Frank G. Carrpenter yang mengunjungi Sinagar dan dimuat dalam koran di Amerika, The Sunday Oregonian, Portland, pada 20 Oktober 1901, disebutkan sebagai berikut: Ketika sampai di Sinagar, saya benar-benar takjub karena disambut oleh ratusan burung berbagai jenis yang sangat jinak. Alam dipenuhi bunga-bunga berwarna warni dan ternyata direkturnya punya kebun binatang dan kebun raya tanaman. Di sana ada banteng liar hitam berkaki putih setinggi 6 kaki, gajah, rusa, ular, monyet, burung-burung, pohon dan bunga, beo yang bisa mengatakan selamat datang“.
Catatan seorang pedagang Inggris bernama Arthur Earle yang mengunjungi Sinagar dan menginap di rumah Kerkhoven dalam bukunya berjudul A Month in Java 1889 menyebutkan, “binatang-binatang di area Perkebunan Sinagar sangat banyak. Ada sekira 50 kuda dipelihara yang pejantannya diimpor dari Inggris, banyak yang dijadikan kuda balap dan sebagian lagi dipelihara. Anjing-anjing juga lumayan banyak, ada juga gajah entah bagaimana memeliharanya karena sangat berat.
Setiap malam burung elang berbunyi pas tengah malam, dan yucatan yang berbunyi dan terbang dari pohon ke pohon. Sementara itu di kandang banyak burung langka, burung beo yang mencolok yang suka mengejek burung lain. Ular juga melingkar di kandang, sejumlah rusa merumput di halaman dengan pagar, babi liar juga sangat banyak, dan monyet dapat dilihat melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.”
Sementara itu Elisa Ruhamah Scidmore, penulis dan juga fotografer Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul Java: The Garden of The East, 1897: “anak pemilik perkebunan masih belia dan baru lulus, namun sudah jago dalam berburu binatang. Terlihat dari hasil buruan seperti tengkorak dan kulit binatang yang beragam dan banyak. Ada meja dibuat dari kulit badak di atas tengkorak badak dan gajah. Ada pula meja yang terbuat dari tempurung kura-kura besar dipasang di atas tanduk rusa, serta ada sembilan tengkorak banteng besar yang didapat dari Sukabumi Selatan. Bahkan, di bungalow juga dipasang lampu gantung terbuat dari tanduk rusa dan hiasan kulit ular piton yang digunakan sebagai pembatas dinding. Cula dan gigi yang aneh, sayap dan bulu yang melimpah serta lusinan foto berburu.”
[3] Si Tuku Gajah yang didatangkan dari Aceh
Dalam foto-foto jadul di Parakansalak dan Sinagar, kita pasti pernah melihat gajah yang ditunggangi seorang anak yang nantinya menjadi pesepakbola dunia Miel Mundt, baca kisahnya Pesepakbola, gitaris, pilot, hingga ekonom, ini 5 tokoh Sukabumi dikenal di mancanegara. Atau foto seekor gajah bersama seorang belanda tua di SInagar. Dulu memang ada dua ekor gajah di Sukabumi, yaitu di Parakansalak yang dinamai Soetan (Sutan), dan Sinagar yang dinamai si Toekoe (Tuku). Sutan dan Tuku pastinya didatangkan dari wilayah Sumatera sesuai namanya.
Si Tuku ini ternyata didatangkan dari Aceh pada saat bergolaknya peperangan di wilayah Serambi Mekah tersebut. Kisahnya berawal pada tahun 1883-1884, yang saat itu diperintah oleh Gubernur Aceh Besar, Philip Franz Laging Tobias, yang berperang dengan Teuku Cik Di Tiro. Tobias sangat mengagumi kekuatan dan keberanian Teuku Cik Di Tiro. Teuku dalam lidah orang Belanda, lazim terdengar sebagai tuku.
Pada saat itu Teuku Umar sedang tergabung dalam milisi Belanda sebelum kemudian berbelot kembali berjuang melawan Belanda, dikisahkan tentang tertangkapnya seekor gajah kecil yang belum memiliki gading dengan kuping lebar ke bawah dan berkulit tebal. Si anak gajah ini ditangkap dalam keadaan terluka dan terlihat sangat murung.
Gajah itu selalu berteriak jika belum makan dan menarik-narik tali pengikat di halaman gedung gubernur tanpa rasa takut. Karena itu sang gajah dinamai Si Tuku, seolah disandingkan dengan sang teuku yang gagah berani dalam berperang.
Keberadaan gajah luka ini dikhawatirkan jadi masalah politik karena gajah sangat dihormati di Sumatera. Akhirnya Tobias memutuskan untuk mengirimkannya ke Jawa, kebetulan seorang pemilik perkebunan besar di Sinagar (Sukabumi) bersedia mengadopsinya.
Si Tuku akhirnya dirantai dan diikat, kemudian dimasukan ke dalam kapal dan berlayar ke Batavia selama enam hari mengunakan Indian Steam Maaschapij. Setibanya di Batavia, sudah disiapkan 80 orang yang akan membantu membawanya ke sinagar termasuk Van Heeckeren, manager Perkebunan Sinagar yang juga jago berburu, seperti halnya Kerkhoven.
Si Tuku datang dalam keadaan terluka, sehingga Van Heeckeren membantunya membersihkan lukanya terlebih dahulu sebelum dibawa ke stasiun. Akhirnya si Tuku diberangkatkan ke stasiun Cibadak dengan kereta api menggunakan gerbong khusus kuda milik perusahaan John Pryce. Setibanya di di Stasiun Cibadak, Si Tuku dibawa ke Sinagar dengan gerobak besar yang ditarik beberapa ekor kuda.
Sesampainya di Sinagar gerobak dibongkar oleh ratusan kuli. Si Tuku yang mengalami banyak luka akibat rantai dan gesekan selama perjalanan laut dan darat, terlihat stres dan kelelahan. Kerkhoven dan Van Heckeren merawatnya dengan baik, diolesi obat dan salep sehingga gajah tersebut sembuh dan kembali riang.
[4] Bikin masalah di Sinagar dan gagal diusir
Si Tuku diurus oleh penduduk yang bertugas mengurus gajah, dia dirawat dengan baik dan rajin dimandikan di sungai, sekarang disebut Paragajen. Si Tuku ini sangat loyal pada Kerkhoven, bahkan pernah diikutkan lomba di Bogor bersama Sutan dari Parakansalak dalam lomba balapan antar gajah pada Mei 1887.
Namun, seiring waktu dan tumbuh dewasa, nampaknya Si Tuku sering stres dan beringas entah karena apa, yang pasti dia seperti merasa tidak pernah lagi nyaman. Saat marah, si Tuku sering melemparkan tubuh orang yang merawatnya bahkan tak jarang menendang pekerja perkebunan. Masyarakat pun khawatir, karena Si Tuku mulai membahayakan warga, sehingga diputuskan secara umum untuk menyingkirkannya.
Kemudian ada grup sirkus terkenal yang tertarik untuk memeliharanya, Engelschman Filles sang pemilik sirkus bahkan datang ke Sinagar untuk melihat sang gajah dengan membawa serta seorang pawang binatang. Sesampainya di Sinagar dia melihat sang gajah yang diikat dan sangat mengaguminya. Namun, mahaut (pengendara gajah) di sana, mencegah keinginan Engelschman, dan meminta Si Tuku nya utetap berada di Sinagar. Begitupun Kerkhoven yang sudah tua, nampaknya masih menyukainya.
Sayangnya, kelakuan Si Tuku masih saja mengganggu. Beberapa kucing dan anjing juga sempat diinjak injak. Sampai akhirnya datang seorang pengacara dan juga anggota dewan tumbuhan dan Kebun Binatang Batavia. Keduanya menjelaskan bahwa Si Tuku lebih baik dipelihara di Kebun Binatang Batavia karena anak-anak menyukainya. Selain dinilai aman, Si Tuku juga bisa kawin dan melahirkan anak.
Kerkhoven pun menyetujuinya, Si Tuku akhirnya diikat dan dirantai lagi dan dibawa oleh ratusan kuli ke Stasiun Cibadak. Di sana sudah disiapkan gerbong khusus lengkap dengan makanan pancingan yaitu rumput, ember air dan tebu. Saat Si Tuku masuk untuk makan, ditutuplah pintu gerbong. Malangnya saat gerbong mulai bergerak si Tuku mengamuk, dinding gerbong ditubruk, lantainya diinjak-injak dengan keras sehingga gerbong oleng dan mengangkat sekitar satu meter.
Tak hanya itu, Si Tuku terus menggoyang-goyangkan gerbong kereta sehingga akhirnya petugas meniup peluit bahaya, dan masinis pun harus menghentikan laju kereta. Gerbong akhirnya jebol dan hancur sehingga Si Tuku bisa keluar.
Para kuli berlarian menyelamatkan diri, sedangkan Si Tuku berteriak nyaring dengan mata nanar. Akhirnya dia bisa ditenangkan oleh Sang mahaut dan dibawa kembali ke Sinagar. Kereta kembali melanjutkan perjalanan menuju Batavia, tanpa hasil.
[5] Akhir kisah Si Tuku yang tragis
Sekembalinya ke Sinagar, ulah Si Tuku tidak berhenti, dia sering mengganggu pekerja dan merusak rumah atau tanaman. Kenakalannya bahkan sempat diberitakan dalam Bataviaasch Nieuwsblaad dan Preanger Bode dengan sebutan Toekoe dis Berandal!
Pada suatu waktu Si Tuku terlepas dari kandang sehingga masyarakat dan pekerja perkebunan berteriak-teriak meminta tolong, Si Tuku menyerang siapapun yang ada di jalan hingga ada pegawai perkebunan yang tewas dengan perut robek terkena sabetan gadingnya yang panjang.
Akhirnya, Van Heeckeren memutuskan untuk mengakhiri hidup sang gajah. Diambilnya senjata dan dihadapinya sang gajah dengan dagu terangkat, dengan berat hati akhirnya Heeckeren menarik pelatuk bedil yang mengarah tepat ke jantung sang gajah. Si Tuku tersungkur setelah beberapa kali tembakan, dan sepuluh menit kemudian tewas dengan tragis.
Heckeren sudah pernah membunuh dua gajah liar dalam perburuan, dan Si Tuku gajah peliharaannya adalah gajah ketiga yang tewas di tangannya. Salah seorang saksi hidup di Sinagar bernama Bah Icin menjelaskan, sang gajah memang rada nakal.
“Sepeninggal Tuan Kerkhoven, Si Tuku sering datang ke pasar meminta-minta makanan,” tutur Bah Icin.
Namun versi kematiannya agak berbeda dengan berita di Bataviaasch Nieuwsblaad seperti ditulis di atas. Sedangkan versi bah Icin, si Tuku dibunuh sesudah bertarung dengan gajah lainnya di Parakansalak. Jasad si Tuku kemudian disemayamkan di sebelah kuburan Kerkhoven di Nagrak, dekat rumah Bah Icin sekarang.
Bah Icin lahir tahun 1905, bersamaan dengan meninggalnya Kerkhoven. Saat itu ia masih ingat betul karena sejak kecil mengurus kuda milik keluarga Kerkhoven.
Waduh kasihan banget ya nasib Si Tuku, Gaess, tapi memang serba salah. Gajah tempat hidupnya memang di hutan, sehingga tidak selalu ia bisa beradaptasi dengan lingkungan manusia. Terlebih, gajah memiliki ingatan kuat dan detail terhadap apapun yang dilihat dan dialami di sekitarnya. Gajah juga sangat peka, super sensitif, dan pendendam.
Meskipun gajah terlihat jinak, namun sikap agresifnya bisa kapan saja muncul ketika merasa tidak nyaman, dikhianati, ataupun karena dendam.
Mirip manusia juga ya, Gaess, kalau merasa tidak nyaman dan dikhianati, kadang sikap sensitif kita muncul. Bedanya, tentu karena manusia diberi akal sehingga mampu bersabar dan menghindari sikap pendendam ya, Gaess.