Boreel, pria mata biru inipun menutup hati untuk wanita Sukabumi lainnya.
Pernah mendengar istilah cinta sejati kan, Gaess? True love lazim digunakan untuk sebuah hubungan dua insan yang kembali dipertemukan setelah lama terpisah jarak dan waktu. Misalnya sempat saling menaruh “rasa” ketika sama-sama belia, kemudian kembali dipertemukan dalam ikatan cinta setelah sama-sama mengalami kegagalan dalam pengembaraan cinta yang fana.
Cinta sejati juga biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah hubungan cinta dimana salah satu pihak memiliki kekurangan, seperti adanya perbedaan kelas sosial atau kekurangan fisik. Untuk yang satu ini, kalian pasti menganggapnya cuma ada dalam cerita sinetron ya, Gengs? Atau cuma satu dalam seribu kasus hubungan asmara antara dua insan. Entahlah.
Nah, di Sukabumi, pada zaman dulu ada kisah cinta sejati itu. Asmara yang tumbuh karena kasih dan sayang yang terjalin mengalir tanpa paksaan. Salah satu mau menerima semua kekurangan dan ketidaksempurnaan pasangannya. Keren bingits kan, Gaess?
Penasaran? Simak kuy lima catatan kisah true love era kolonialisme Belanda yang tidak akan kamu temukan di media-media lain ini.
[1] Boreel tokoh perkebunan teh nusantara
Willem Theodore (W. Th) Boreel, pria ketrununan Belanda ini lahir di Sukabumi pada 1865 (informasi lain menyebut lahir di Payakumbuh). Pada usia mudanya, Boreel berangkat ke negeri Belanda untuk bersekolah hingga menyelesaikan ujian akhir di sebuah sekolah pertanian tinggi di Kota Wageningen.
Usai menyelesaikan pendidikannya, pada usia 22 tahun ia kembali ke Sukabumi, dan bekerja di Perkebunan Teh Sinagar (saat itu masuk wilayah Cibadak). Sebagai pemula, ia banyak belajar dari si empunya perkebunan, EJ Kerkhoven.
Setelah menyerap banyak ilmu, Boreel mendapat jabatan Administratur pertama di Perkebunan Panumbangan, Bojonglopang (Kabupaten Sukabumi). Di Panumbangan inilah pretasinya sangat terlihat, dimana kinerja perusahaan meningkat secara signifikan. Berkat prestasinya tersebut, ia dipindahkan ke Perusahaan Teh Cisalak (saat itu masuk wilayah Parungkuda), dan berhasil mengulang sukses yang sama. Setelah itu, Boreel dipromosikan menjadi Administratur di Parakansalak hingga mencapai puncak karirnya.
Pada masa itu, Boreel disejajarkan dengan tokoh-tokoh perkebunan teh di Nusantara, seperti Gustaf CFW Mundt, Kerkhoven, Bosscha, Van Mothman, dan lainnya. Dalam buku Race Against Time yang berisi catatan harian perjalanan seorang atlet dayung dan pianis dari Australia bernama FS Kelly, digambarkan bagaimana capaian kinerja Boreel yang terbilang menakjubkan pada eranya:
“Rabu 4 Oktober 1911, saya sampai di Parakansalak pada pukul 10 pagi, di lereng Gunung Salak dan memasuki sebuah bungalow yang dilengkapi lapangan tenis dan taman yang indah dan dikelilingi pohon-pohon besar. Setengah jam menunggu dan kemudian ditemui oleh Mr. Boreel, Kepala Administratur di sana, seorang Belanda yang bisa berbahasa Inggris dengan fasih.
Kami berkeliling melihat-lihat pabrik teh, ternyata sangat mengejutkan karena di tempat ini sudah dilengkapi mesin canggih yang digerakan dengan turbin listrik yang jauhnya 8 mil dari pabrik. Di situ ada pula gudang besar di mana wanita-wanita Sunda menyortir teh, pemandangan di sanapun sangat indah, terutama pemandangan dari bungalow yang berada 2000 kaki sangat mempesona.” – Race Against Time karya FS Kelly –
Selain piawai mengurus perkebunan, Boreel juga dikenal dermawan dalam pelbagai kegiatan, misalnya dia turut membantu kegiatan seni gamelan Sari Oneng Parakansalak bersama rekannya Mundt dan Kerkhoven. Bahkan, saat demonstrasi pesawat terbang pada bulan juli 1920, dia masih sempat menggelontorkan 2.000 Gulden (NLG) untuk membiayai penerbangan pesawat percobaan.
BACA JUGA:
Personel Sari Oneng Parakansalak, pionir mogok tenaga kerja Sukabumi di pentas internasioal
Upaya mengembalikan kemasyhuran Sari Oneng Parakansalak ke Sukabumi
Catatan dari Paris: Menyingkap alasan pria Eropa jatuh cinta kepada penari Sari Oneng Sukabumi
Boreel menyelesaikan karirnya sebagai administratur hingga 1920 di Parakansalak, sebuah tembok berukir namanya dibuat di Parakansalak untuk mengenang jasanya dalam pengembangan perkebunan teh.
[2] Iyi Endah lahir di Chicago Amerika dengan nama Ameri
Pasca terlibat dalam peresmian Menara Eiffel di Paris, Perancis, tahun 1889, Gamelan Sari Oneng Parakansalak mulai dikenal dan disenangi di luar negeri, hal ini juga memberi andil pada promosi komoditas perkebunan Nusantara.
Pada 1893, diselenggarakan The World’s Columbian Exposition di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu Mundt dan Kerkhoven membentuk Sindikat Java-Chicago untuk menyuskeskan event tersebut sekaligus ajang kerjasama promosi produk perkebunannya. Mereka juga mendirikan perkampungan Sunda yang juga akan dipamerkan di Amerika Serikat, lengkap dengan komoditas perkebunan dan budayanya. Tentu saja tidak ketinggalan para nayaga (awak gamelan) Gamelan Sari Oneng Parakansalak turut dikirimkan, di bawah pimpinan Lurah Sekar yang merangkap pemain rebab, Suminta Mien, yang membawa serta istrinya yang sedang hamil tua.
Pada awalnya, Sari Oneng direncanakan untuk tampil membuka pameran saja, untuk kemudian akan dikirimkan ke kota Antwerpen. Namun, mengingat sambutan dan antusias penonton yang luar biasa, akhirnya Sari Oneng diminta untuk terus tampil hingga empat bulan, sejak 1 Mei hingga 31 Oktober 1893.
Tak hanya tampil di event pameran saja, Sari Oneng juga digunakan oleh Etnomusicologen untuk merekam nada-nada waycylinder (hingga kini arsipnya masih tersimpan di arsip nyanyian rakyat di American Library of Congress, dan diangap sebagai rekaman gamelan tertua).
Dalam buku Preanger Planters tulisan Her Suganda, saking lamanya mereka berada di Amerika, istri Suminta pun melahirkan bayinya di Negeri Paman Sam tersebut. Sang bayi kemudian diberi nama Ameri untuk mengingatkannya tentang Amerika. Usai event, bayi tersebut dibawa ke Parakansalak, hingga dan tumbuh berkembang menjadi bunga desa di perkebunan.
Sementara gamelan Sari Oneng yang tidak jadi dikirim ke Atwerpen, dibeli oleh Field Museum History untuk dijadikan koleksinya.
BACA JUGA:
Wisma Wisnuwardani Sukabumi dan kisah tragis sang notaris
Menyingkap alasan MH Thamrin batal menjadi Burgemeester Soekaboemi
Menjahit catatan sejarah sisa amuk massa di Pabrik Tekstil Tjiboenar Kadudampit Sukabumi
[3] Saling jatuh cinta dalam perburuan
Menurut Dick Boreel, salah seorang cucu W. Th. Boreel, nama Ameri memang diberikan untuk mengingatkan akan pentas Sari Oneng di Chicago Amerika Serikat.
“Seingat saya, nenek pernah bercerita bahwa kelahirannya sebenarnya di Parakansalak meskipun sang ibu saat mengandung sempat membawanya ke Amerika Serikat. Nama Ameri tersebut kemudian berubah pelafalan menjadi Iyi sehingga nama resminya yang digunakan (di Parakansalak) adalah Iyi Endah”, ungkap Dick yang merupakan cucu Iyi Endah dari Jan Heronimus Boreel (anak ke-6).
Iyi Endah mengalami kebutaan sebelah matanya sejak kecil, namun dirawat dengan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya. Sewaktu lahir Iyi bermata normal, namun pada suatu ketika sebelah matanya terasa gatal dan terus berair, lalu merasakan sakit pada mata, hingga kemudian kehilangan penglihatan pada sebelah matanya.
“Meski matanya tidak sempurna, nenek tetap aktif bermain seperti biasa. Dia sering ikut latihan gamelan, bahkan sering ikut dalam kegiatan ekstrim bersama ayahnya yaitu berburu banteng,” sambung Dick, menjelaskan apa yang pernah didengarnya sewaktu sang nenek masih hidup.
Salah seorang peserta dan pendana kegiatan berburu adalah Administratur Parakansalak yaitu W. Th. Boreel yang dikenal jago berburu di Tatar Priangan bersama rekannya Kerkhoven dan Baron Van Heeckeren dari Perkebunan Sinagar. Ketiganya dikenal sebagai Trio De Jager (tiga pemburu). Hampir seluruh pelosok Priangan hingga ke Sumatera, pernah mereka datangi.
Boreel juga sempat menemani pangeran Austria Prins Ferdinand saat berburu ke daerah selatan Cianjur pada 17 April 1893. Mereka berburu banteng di daerah Tangeung, Sindangbarang, Cipandak, meskipun dalam cuaca hujan. Pada 30 Desember 1900, Boreel juga membantu E.J Kerkhoven mendirikan area berburu yang diberi nama Venatoria di wilayah Cikepuh. Lahan yang disewa untuk lokalisasi perburuan mencapai 7.000 hektar yang disewa selama 29 tahun.
Benih cinta Boreel dan Iyi Endah berawal karena sering bertemu saat berburu ke wilayah selatan Sukabumi. Iyi yang seringkali ikut dalam perburuan rupanya mulai menarik hati sang tuan, gadis yang mulai beranjak dewasa dengan kulit kuning langsat dan postur semampai itu.
Kira-kira kalau istilah sekarang, kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah Anda ya, Gaess. Semenjak pertemuan pertama itulah, bayang-bayang Iyi kuat melekat di benak Boreel. Gadis kampung, putri pemetik rebab itu, bukan saja telah menyita perhatian Boreel, tetapi telah benar-benar menjadi candu yang selalu memenuhi rongga rindu sang tuan yang bermata biru.
Meskipun usia Boreel saat itu sudah tidak muda lagi (50 tahun lebih), namun fisiknya masih nampak gagah perkasa, terutama saat ia tengah menunggang kudanya yang bernama Rubinia.
Iyi yang saat itu usianya belum genap 17 tahun, cukup dewasa untuk menangkap perasaan Boreel. Namun, karena merasa kelas sosialnya berbeda, ditambah lagi secara fisik tidak sempurna, Iyi menganggap rasa itu hanya sebatas bunga tidur, mengingat kehidupan pada masa kolonial, kelas sosial antara warga Eropa dan pribumi jelas timpang terlihat. Kedua kelas terebut tidak diakui secara resmi jika menikah.
Hal lain yang membuat Iyi ragu adalah kenyataan bahwa Boreel sudah menikahi sembilan wanita sebelumnya, dan tidak pernah bertahan lama. Jikapun nanti menikah dengannya, Iyi merasa belum tentu akan mampu menghentikan petualangan cinta Boreel.
BACA JUGA:
Kisah perdebatan Nyai Roro Kidul yang ingin hidup sampai kiamat, netizen Sukabumi tahu?
Wanita Sukabumi (Part 4): Kartiwi kekasih Lettu Bakrie dari Cibadak, kisah pilu masa perjuangan
Petaka cinta segi tiga di Kalapanunggal Sukabumi menjadi headlines media Eropa
[4] Cinta sejati, bersama hingga maut memisahkan
Namun, Boreel pantang mundur. Dia terus berupaya untuk meraih hati Iyi sehingga akhirnya luluh dan menyerahkan keputusannya kepada sang ayah, Suminta Mien. Sang ayah, sebagai bawahan, tentu saja tak dapat menolak keinginan tuannya itu, karena memang sudah mengenal lama kebaikan dan ketulusan tuannya tersebut.
Pada sebuah hari yang indah tahun 1910, Iyi Endah akhirnya disunting tuan Boreel dalam usia 17 tahun. Iyi ditempatkan di sebuah rumah tidak jauh dari gedung Patamon. Meskipun berasal dari kelas sosial yang berbeda, pasangan ini melewati hari-hari dalam kehidupan rumah tangganya dengan bahagia. Kekurangan Iyi tak pernah menyurutkan cinta Boreel, bahkan kelebihan Iyi dalam melayani dan mengabdi kepada sang suami telah membutakan mata dan hati Boreel dari wanita lainnya.
Boreel benar-benar tidak pernah lagi mencari cinta yang lain. Di hatinya hanya ada satu wanita: Iyi Endah.
Dua tahun setelah menikah, Iyi melahirkan anak pertamanya, namun sayangnya sang anak meninggal dunia. Mereka baru dikaruniai buah hati pertamanya pada 1915, dan diberi nama Wilhelm Boreel jr.
Boreel sendiri tidak pernah menikahi perempuan Eropa. Bahkan, dari sepuluh wanita yang pernah dinikahinya, hanya satu dari etnis Tionghoa yang dinikahinya saat bekerja di Perkebunan Panumbangan, sembilan lainnya adalah perempuan Sunda. Bahkan, dari kesepuluh wanita yang pernah dinikahinya, hanya Iyi Endah yang kemudian diajukan untuk disahkan kepada pemerintah.
Boreel pensiun dari pekerjaannya di Parakansalak pada 1920, dia kemudian membawa Iyi Endah dan anak-anaknya ke sebuah Villa di Gekbrong (daerah Cimangkok) dan menetap di sana.
Rasa percaya dan kecintaannya yang begitu besar kepada Iyilah yang menimbulkan keinginan Boreel untuk hidup bersama Iyi hingga akhir hayatnya. Hari-harinya diisi dengan berburu binatang liar bersama sang istri dan membantu di beberapa perkebunan yang dekat dengan tempat tinggalnya seperti Goalpara dan Gedeh.
Pada masa itu, sedang hangat-hangatnya semangat nasionalisme dan pergerakan keindonesiaan. Meskipun Boreel orang Belanda, namun dia selalu memperlihatkan dukungannya terhadap gerakan nasional Indonesia, dia merasa sudah menjadi Indonesia, meskipun secara fisik adalah Eropa. W. Th. Boreel meninggal dunia di Rumah Sakit Gemeente (RSUD Syamsuddin, SH. atau Bunut) pada 7 Desember 1929, setelah sempat dirawat selama tiga minggu. Jasad Boreel dikebumikan di pekuburan kerkof dan masih terawat hingga kini.
Saat itu Iyi sedang mengandung anak terakhirnya (Johan Boreel). Sayangnya, sang anak kemudian meninggal dunia tidak lama setelah dilahirkan.
[5] Keturunannya tersebar di Indonesia dan Belanda
Dari Boreel, Iyi melahirkan tujuh anak yang semuanya menggunakan nama Boreel, yaitu Wilhelm Boreel jr, Victor Boreel, Norma Boreel, Jacob Boreel, Maria Boreel, Jan Heronimus Boreel, dan Johan Boreel.
“Nama boreel memang diberikan khusus kepada anak-anak W. Th. Boreel dari Iyi Endah, dan tidak kepada keturunannya dari istri-istri yang lain. Hal ini sempat membuat mantan istri-istri yang lain merasa iri,” papar Adi Boreel salah seorang cucu Boreel dari Jan Heronimus Boreel.
Dick dan Adi memang beruntung, karena hingga kini masih menyandang nama Boreel secara resmi. Ayah mereka, Jan Heronius Boreel, lahir di Cimangkok setahun sebelum W. Th Boreel meninggal dunia. Seluruh anak Boreel kemudian memilih karier yang berbeda-beda, saat pecah perang pasifik, Wilhelm Boreel jr. memilih masuk milisi di angkatan laut. Sementara Jan H. Boreel, tetap menemani Iyi Endah di Cimangkok dan bekerja sebagai staf di Perkebunan Goalpara.
Wilhem kemudian tertangkap dalam Battle of the Java Sea, di mana angkatan laut Belanda dihancurleburkan oleh kapal-kapal Jepang. Kapal tempur yang ditumpanginya tenggelam dan ia ditangkap tentara Jepang untuk selanjutnya dikirim ke Nagasaki untuk menjalani kerja paksa.
Saat pasukan Jepang mulai memasuki Jawa, Jan H. Boreel dan saudaranya yang lain termasuk neneknya, ditahan di internat (kamp interniran) di Culture School (saat ini area Balai Budi Daya Air Tawar, BBAT). Mereka kemudian dilepaskan setelah ditolong oleh Bupati Sukabumi saat itu, Suria Danuningrat (Dalem Gelung) yang kenal baik dengan Boreel saat menjadi Camat Benda, Cicurug.
“Kami memang sangat dekat dengan keluarga Suria Danungingrat dan memanggil sang Bupati dengan sebutan Om Rehen (Regent),” ungkap Adi yang merupakan adik dari Dick Boreel namun berbeda ibu.
Lepas dari penahanan, Iyi kemudian membawa anak-anaknya ke Parakansalak. Di sana mereka hidup susah karena dipaksa menggarap sawah yang hasilnya diambil oleh tentara Jepang, sementara mereka hanya disisakan sedikit beras untuk makan saja. Pasca merdeka, Willem menjadi salah seorang korban keganasan bom atom di Nagasaki, dan hampir dianggap tewas, namun seorang dokter menyelamatkannya dan dibawa oleh kapal sekutu ke Indonesia.
Iyi menjual semua tanah miliknya untuk membiayai ketiga anaknya berangkat ke Belanda, Willem, Nora dan Maria, setelah ada kerabat Boreel yang mau mengurus mereka di Belanda. Sementara Jacob dan Jan tinggal bersamanya di Sukabumi. Hingga kini, keturunan Iyi Endah ada yang tinggal di Indonesia dan Belanda.
Duh, cinta sejati ternyata memang tak bisa dipisahkan oleh maut ya, Gaess.
Cinta sejati tak akan pernah mati, kisahnya akan terus ada dan tak akan pernah habis untuk ditulis. Kisahnya terus diceritakan anak cucu dan keturunannya, agar menjadi kebanggaan sekaligus pelajaran hidup.
Asik kan kisahnya, Gaess?
Wah mantap buyut kuu.. So proud of you.. Dan once again terbuktinkan.. Kalau buyut ku bukan penjajah malah sangat mencintai Indonesia.. Wish i could chat with him.. Kangen opah jan..
keren
Waktu berburu boreel di temani kerabat nya salah satunya yaitu Baron van heckereen.
Tolong ceritakan juga baron van heckerenn di daerah sukabumi. Bagai mana perjalanan cinta nya dengan gadis sukabumi.
Diceritakan sama orang tua. Bahwa neneknya orang sukabumi itu pernah nikah dengan orang belanda yg bernama baron van heckeren…