Dalam Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie terbitan 23 Januari 1954, disebutkan kisah kesadisan gerombolan DI/TII yang dipimpin Tan Li Ho alias Dimyati dan rekannya bernama Sarodin.
Kampung Karawanggirang, Desa Karawang, Kecamatan Sukabumi terletak di utara perbatasan Kota Sukabumi dengan Kabupaten Sukabumi, tidak jauh dari areal Nagrok, sebuah pusat perkebunan bunga di masa kolonial. Meski bisa dilalui kendaraan roda empat, namun agak sulit berpapasan karena lebarnya hanya cukup satu mobil saja.
Kampung yang mengandalkan hasil pertanian ini cukup ramai dan dialiri air irigasi yang melimpah dari irigasi sungai Cisalada. Jalur irigasi yang juga mengalir ke sekolah polisi ini seolah mengelilingi punggung bukit dengan jalan setapak yang bisa dilalui warga. Jalan setapak inilah yang membawa tim Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB) Kipahare menuju Goa Coblong, sebuah goa buatan untuk mengalirkan air ke kampung di seberang bukit.
Berikut lima fakta yang terkuat sebagai hasil penjelajahan yang dilakukan RPCB Kipahare di Goa Coblong.
[1] Goa Coblong, irigasi buatan Jepang
Jalan menuju goa harus melintasi lembah di antara dua bukit yang cukup curam. Kira-kira 30 meter tim RPCB harus menuruni bukit dan menyeberangi sungai kecil untuk bisa menaiki bukit berikutnya di mana Goa Coblong berada. Bukit tersebut merupakan bukit cadas yang agak lunak sehingga tidak terlalu sulit ditembus untuk mengalirkan air dari saluran irigasi yang juga mengelilngi bukit.
Nampak coretan-coretan tulisan yang mungkin dibuat oleh pengunjung dengan benda tajam disekitar goa. Dari konstruksinya tidak menunjukan tembok khas infrastruktur Belanda, namun seperti batu cadas alam yang dilubangi hingga tembus sekitar 100 meter lebih melewati bukit. Konon goa ini dibangun oleh masyarakat atas perintah penjajah Jepang sehingga irigasi dapat mengaliri Kampung Undrus Winangun dan Kampung Tenjolaya.

#Ngakilima @SukaKopi.
Pintu masuk Kantor Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Kami buka 24 jam.
[2] Tempat persembunyian gerombolan DI/TII
Mulut masuk goa agak pendek sehingga tim RPCB harus membungkuk untuk masuk. Namun area di dalamnya lumayan tinggi sehingga ukuran orang dewasa bisa berdiri. Menurut informasi Pak Tatan, pegawai Desa Karawang yang mengantar tim RPCB, goa ini adalah salah satu tempat persembunyian favorit gerombolan DI/TII.
Di dalam goa nampak ada lekukan seperti balai-balai yang bisa untuk orang duduk atau berbaring, konon di situlah para gerombolan beristirahat dan berlindung. “Dulu mah polisi disebut Perintis, mereka sering mengejar para gerombolan, namun Goa Coblong menyelamatkan gerombolan itu karena bisa lari ke seberang bukit dengan cepat,”kata seorang saksi hidup berusia 75 tahun, Bu Ejeh.
Namun nasib tak selalu berpihak pada mereka, kadang-kadang tentara mengepung mereka dari dua arah sehingga tertangkap. “Beberapa kali terdengar masyarakat berteriak ada gerombolan tertangkap di Goa Coblong, tapi ga ada satupun yang berani melihat, karena takut ditandai dan kemudian dibunuh,” tambah Bu Ejeh dengan nada ngeri.
Sementara itu, markas gerombolan sendiri berada beberapa meter di atas bukit, tanahnya tinggi namun rata sehingga mudah mengintai dan juga mengincar desa-desa di sekitarnya untuk dijarah. Sulitnya medan yang dihalangi lembah curam, seolah menjadi benteng alami bagi para pemberontak itu.
Keberadaan air yang melimpah memudahkan mereka untuk mengurusi keperluan sehari-hari, namun untuk bahan makanan tetp saja cara klasik masa perang digunakan, yaitu merampok desa sekitar. Banyak rumah dibakar dan hartanya dirampok tanpa ampun oleh gerombolan ini termasuk Kampung Karawang Girang.
editor’s picks:
Nyai Djuaesih disejajarkan dengan RA. Kartini, 5 fakta tokoh wanita asal Sukabumi
Menggali serpihan sejarah Pabrik Teh Goalpara Sukabumi yang terbakar
Membuka catatan kelam DI/TII di Sukabumi, benarkah dilatarbelakangi persoalan agama?
[3] Keganasan gerombolan dI/TII
Dalam Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie terbitan 23 Januari 1954, disebutkan kisah kesadisan gerombolan DI/TII yang dipimpin Tan Li Ho alias Dimyati, dan rekannya bernama Sarodin. Mereka membawa 100 orang pasukan dan menyerang kampung Tenjolaya desa Karawang. Satu orang dibunuh dan 16 rumah dibakar.
“Pada malam sebelumnya Kampung Tenjolaya sudah didatangi gerombolan dari sekitar Goa Coblong tanpa diganggu. Namun karena ada warga yang bertemu tentara, maka dianggap telah melaporkan keberadaan gerombolan sehingga akhirnya mereka datang kembali dan membakar kampung,” ungkap Bu Ejeh.
Sesudah membakar Kampung Tenjolaya, gerombolan kemudian bergerak ke Kampung Cipeundeuy dan membunuh satu orang penduduk serta membakar sekitar 20 rumah. “Kampung Cipeundeuy akhirnya kosong ditinggalkan dan masyarakatnya pindah ke desa Cikalong. Pada saat itu semua serba susah, mulai dari makanan hingga pakaian dijarah,” tambah Bu Ejeh.
Ayah Bu Ejeh adalah seorang ketua RT yang selalu hidup berpindah karena diancam oleh gerombolan. Pakaian keluarganya dimasukan ke peti dan kemudian disimpan di atas pohon supaya tidak diambil gerombolan. Pada saat mau dipakai peti itu diturunkan dengan kerekan, dan diangkat kembali ke atas pohon.
“Waktu itu masyarakat seperti gembel karena pakaian susah. Gerombolan itu sangat serakah hingga kasur saja dibongkar isinya karena curiga menyimpan harta,” pungkas Bu Ejeh.
[4] Pembasmian gerombolan oleh Infanteri Para Raider 328
Seorang saksi sejarah yang berprofesi tukang lahang (nira) bernama Pak Eceng mengungkapkan setiap hari lahangnya diambil paksa (oleh gerombolan) sehingga akhirnya dia tidak bisa mencari nafkah. Sementara di hutan barang jarahan tersebut dihambur-hamburkan, bahkan dibuang di dekat Goa Coblong bertebaran tak berguna layaknya sampah.
Laporan Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode tanggal 25 januari 1954 menyebutkan lebih rinci kejadian di Cipeundeuy, di mana seorang warga bernama Madte’i ditembak mati dan 20 rumah dibakar. Hal ini konon akibat aksi balas dendam karena pada tanggal 16 Januari 1954, salah satu anggota pasukan pimpinan Tan Li Ho tewas saat ditangkap warga karena melawan. Target utama balas dendam ini adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) organisasi pertanian yang merupakan underbouw (kelompok di bawah) Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemerintah Indonesia akhirnya mengirimkan Batalyon Infanteri Para Raider 328 sejak 16 Mei 1958 untuk menumpas gerombolan DI/TII yang bersembunyi di Goa Coblong. Alkisah, terjadi beberapa baku tembak yang hebat di desa sekitar. Bahkan Bu Ejeh mengaku menyaksikan langsung pertempuran di kampungnya.
“Sekitar tahun 1958, saat saya berusia 13 tahun, terjadi pertempuran besar antara pasukan 328 dengan gerombolan di Kampung Karawanggirang, hingga warung milik keluarga saya yang sekarang tanahnya diwakafkan jadi masjid, hancur lebur,” kenang Bu Ejeh.
Bu Ejeh sendiri bertiarap hingga terinjak gerombolan yang melarikan diri ke arah Goa Coblong. Dalam ingatannya gerombolan tersebut berambut panjang dikepang dengan muka sangar.

#Ngakilima @SukaKopi.
Pintu masuk Kantor Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Kami buka 24 jam.
[5] Goa Coblong, destinasi wisata lokal yang potensial
Saat ini Goa Coblong sudah aman dan menjadi tempat wisata lokal yang potensial bagi masyarakat. Nampak di mulut keluar goa sudah dibangun fasilitas-fasilitas sederhana dari bambu untuk para pengunjung. Namun sepertinya potensi gua yang bersejarah ini belum dimaksimalkan. Akses yang cukup sulit serta faktor keselamatan di dalam gua patut menjadi perhatian.
Untuk menjadi tempat wisata besar mau tidak mau harus ada pembangunan infrastruktur jalan yang baik sehingga akses pengunjung lebih mudah. Selain itu perlu juga dikaji untuk menyangga goa dengan tembok mengingat batuan kapur tanpa penyangga buatan sangat berisiko terjadinya keruntuhan.
Untuk area sekitar goa sendiri sangat cocok menjadi camping ground, lintas alam atau napak tilas jejak sejarah seperti yang dilakukan oleh tim RPCB Kipahare.