“Gunung Gede ngajengjehe jiga nu nande, Gunung Pangrango ngajogo, ngadagoan kuring wangsul, nya wangsul ti medan juang, Ka Bali geusan ngajadi kebo mulih pakandangan, lamuncang labuh kapuhu anteurkeun ka Pajampangan“.
(Gunung Gede terbaring menopang, Gunung Pangrango menjulang, menantiku kembali, kembali dari medan juang, ke tanah Pasundan aku berpulang, sesudah bertahun-tahun berpetualang antar aku ke Pejampangan).
Tembang mamaos Cianjuran di atas sering dinyanyikan oleh Cece Subrata, komandan Laskar Bambu Runcing (BR) di Sukabumi, seolah meminta dirinya dikembalikan ke bumi Pajampangan di penghujung petualangannya.
Cece adalah fenomena ironis di Sukabumi Selatan. Petualangannya bersama BR begitu panjang dan menyedihkan. Di puncak perjuangannya, Cece dicap sebagai pengkhianat bangsa. Padahal jika menoleh ke belakang, Cece adalah sosok pejuang militan yang tangguh dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa (Indonesia) ini.
FYI ya Gaess, sosok Cece Subrata ini adalah salah seorang pejuang kemerdekaan asal Sukabumi (Pajampangan) melawan tentara pendudukan Jepang dan terus berjuang sampai akhir 1950an, di era Revolusi Kemerdekaan. Kemudian, di jenjang waktu 1951 sampai 1960, laskar pimpinan Cece dan Laskar BR melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia. Kisah hidupnya pun berakhir dengan kematian yang misterius.
Simak kisahnya ya, Gaess!
Cece dicap komunis
Sebagian pihak, terutama di mata pejabat pemerintah, laskar pimpinan Cece dan laskar BR di wilayah Jampang dinilai sabagai kelompok komunis. “Ada kelompok bambu runcing pimpinan Cece Subrata yang pekerjaannya menakuti rakyat. Entah kapan Cece Subrata jadi komunis, yang jelas wakilnya bernama Maulani bekas juru tulis kecamatan.” Demikian tulis Muchtar Affandi, Wedana Jampang Kulon saat itu (kelak menjadi dekan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UNPAD), dalam autobiografinya.
Kementerian Penerangan dalam buku Provinsi Djawa Barat menjelaskan lebih detail lagi. “Pasukan Brigade Tjitarum (BR) ini memakai lencana merah putih yang di dalamnya bersilang palu sabit terbalik. Masuk ke daerah itu (Jampang) mengaku sebagai komunis hitam Tan Malaka (komunis merah juga sudah ada).”
Akan tetapi, sebagian masyarakat hingga kini menyebutkan hal yang sebaliknya. Harumnya rekam jejak yang ditinggalkan Cece sebagai pejuang hingga kini masih dikenang. Cece masih tetap dihormati oleh masyarakat Jampang sebagai pejuang, meskipun sebagian masih merasakan luka mendalam para leluhurnya.
Cece seorang guru, anak kyai dan seniman dari Surade
Riwayat konflik panjang dan berdarah-darah Cece dan lascar BR berawal dari masa perjuangan kemerdekaan. Tak banyak orang tahu, Cece Subrata awalnya hanyalah seorang guru Sekolah Rakyat (SR) lulusan Sekolah Normal di Surade.
Menurut Anggun Pribadi (Apuh), salah satu pegiat komunitas Kajian Magar Maya Jampang, keberhasilan Cece dalam menggalang massa tidak lepas dari pamornya sebagai putra dari Kyai Ageung Surade. “Pak Cece adalah putra tokoh besar. Beliau juga tokoh pendidik, pejuang. Selain itu, (Cece juga) ahli sastra Sunda, Mamaos Cianjuran. Saat berjuang, seringkali anak buahnya diajar melantunkan tembang dengan menyelipkan nama Jampang,” ungkap Apuh.
editor’s picks:
Gaess, ini 5 cerita tentang teluh Jampang Sukabumi dan cap seram dunia hitam
Gaess, ini 5 kelebihan tanah dan warga Pajampangan Sukabumi
Cece mulai berperang dan perkenalan dengan Gatot Mangkupraja
Tertarik dengan kemiliteran, pada usia yang tidak muda lagi, yaitu 42 tahun. Cece bergabung dengan Barisan Pelopor (Sushintai), sebuah paramiliter bentukan Jepang sebagai bagian dari Jawa Hokokai (organisasi resmi pemerintah pendudukan Jepang).
Perlawanan pertama Cece melawan penjajah terjadi pada akhir masa pendudukan Jepang. Perlawanan Cece di Pajampangan merupakan bentrokan kedua yang melibatkan pasukan PETA pasca bentrok pertama yang dipimpin petinggi PETA, Supriyadi di Blitar.
Cece lalu mengikuti pelatihan kepemimpinan di Bogor. Kala itu Cece mulai dekat dengan Gatot Mangkupraja, pendiri PETA dan sosok penting dalam perang kemerdekaan Indonesia. Gatot menjadi instruktur yang melatih Cece. Berkat kepiawaiannya, Cece lalu diangkat menjadi ketua Barisan Pelopor Jampang Kulon dan mendapatkan pelatihan militer dari Keibodan (kepala polisi zaman Jepang) Yuyun Rupendi di Jampang Kulon.
Suatu hari di akhir September 1945, Wikana, seorang aktivis kiri yang kelak menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengkok, memberikan informasi kepada Gatot Mangkupraja bahwa situasi perang sudah berubah. Jepang mengalami kekalahan di mana-mana. Informasi ini kemudian disebarluaskan oleh Gatot dalam kunjungannya ke Jampang Kulon, Pelabuhan Ratu, Angkola, Patrol, dan Pasir Kalapa.
Terpicu oleh informasi ini, jiwa patriot Cece bergetar. Ia pun mendatangi markas PETA di Nyomplong (Sukabumi)) dan merancang sebuah rencana penyerangan ke kantor Polisi Jepang di Sukabumi. Bentrokan pun tak terhindarkan. Pasca bentrokan Cece ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. Ia baru dikeluarkan pasca proklamasi oleh Letkol Edi Sukardi, pemimpin perang Bojongkokosan.
“A second clash with the Japanese was set off at the PETA barracks in Njomplong, Sukabumi, by Tjetje Subrata, a school teacher. It is most regrettable that Tjetje Subrata afterward became a leader of the Bambu Runtjing and opposed the Indonesian army.” Demikian tulis Gatot yang memujinya sekaligus menyayangkannya, dalam The Peta and my relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s autobioghrapy (20 April 1967).
Bersambung: Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 2)