*The previous chapter: FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 9): Kontak pertama
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
Grace melangkah keluar dari mobil. Ia nampak tenang. Mulutnya bersenandung senang. Para prajurit tidak dikenal itu mengacungkan senjata laras panjang mereka ke arahnya. Grace menatap mereka satu-persatu. Brian, Alice dan Kevin diam dan menunggu.
“Tenanglah, kawan. Aku tidak menggigit,” ucapnya sambil terus maju ke tengah.
“Diam di tempat!” ucap salah seorang prajurit yang ditebak Grace sebagai komandan mereka.
“Kenapa? Apa kau takut aku menyerangmu?” Grace tersenyum sinis.
“Kau mungkin tidak bersenjata. Tapi rekanmu yang di dalam van itu bisa saja memiliki senjata lain,” ucap komandan itu. Grace melihat tagname di dadanya.
“Well, Mr…. Yuza? Ah! Rupanya kau orang Jepang! Apa maksudmu dengan senjata lain?” Grace menyipitkan matanya.
“Kau menghancurkan drobot kami dengan mudah. Serahkan senjatamu, dan ikut kami!” bentak Prajurit bernama Yuza itu.
“Bagaimana jika aku tidak mau?” Grace melipat tangan di depan dadanya.
“Kami akan membawamu dengan paksa!” Yuza kembali membentak.
Grace tertawa keras. Ia memandang sekeliling, lalu berkata, “Hei! Makoto! Keluarlah sebelum aku menggunakan EMPS lagi untuk meledakkan prajuritmu ini!” Grace berteriak keras, memanggil seseorang yang entah di mana. Hening sejenak, para prajurit itu saling memandang, begitu juga dengan Brian, Kevin dan Alice yang berada di dalam mobil.
Suara terkekeh terdengar dari balik pohon. Sesosok pria kurus tinggi, berjenggot panjang, berwajah pucat muncul dan menampakkan diri.
“Bagaimana kau tahu ini aku?” tanya Pria bernama Makoto itu.
“Aku bisa mencium bau busukmu dari jauh!” Grace mendengus pelan. Makoto berjalan mendekati Grace, tubuhnya yang dibalut kemeja dan jas hitam membuatnya tampak seperti vampir di bawah sinar matahari.
“Kau tidak berubah,” ucap Grace seraya memandang Makoto dingin. “Aku tidak menyangka kau adalah bagian dari Shadow,” Grace tersenyum sinis.
“Shadow? Apa maksudmu?” tanya Makoto, berpura-pura bingung.
“Bro, kau tidak pandai bersandiwara,” Grace berkata singkat. “Apa kau yakin ingin melawanku di sini?” Grace memandang sekelilingnya. Makoto tertawa keras.
“Kenapa tidak? Ini kesempatanku, bukan?” Makoto mengangkat kedua tangannya.
“Tentu,” Grace mengangguk seraya tersenyum kecil. “Satu hentikan jari, semua senjata yang ada di sini meledak. Apa itu yang kau inginkan?” tanya Grace datar. Makoto terdiam.
“Dari mana kau mendapatkan senjata itu?” Makoto mulai terlihat serius.
“Aku yang membuatnya,” ucap Grace dingin. Makoto mengelus jenggotnya yang panjang.
“Kau itu ahli bedah, bukan ahli mesin, listrik atau semacamnya. Bagaimana bisa kau membuatnya?” Makoto tersenyum sinis. Ia memberikan kode pada para prajurit itu untuk menurunkan senjatanya.
“Terserah, apa kau mau mencoba?” Grace menatap tajam Makoto.
“Tidak terima kasih. Katakan saja tujuanmu ke mari.” Makoto berjalan mondar mandir di hadapan Grace, matanya tidak lepas menatap sosok wanita yang sering membuatnya kesal itu.
“Siapa atasanmu sekarang?” Grace bertanya singkat. Matanya menatap Makoto dengan pandangan yang cukup mengintimidasi orang biasa. Makoto menghentikan langkahnya.
“Atasanku? Kenapa kau bertanya siapa atasanku?” Makoto tersenyum sinis. Lengkungan bibirnya terlihat seperti bulan sabit tipis.
“Ah, aku tahu. Kau tidak akan memiliki atasan lain selain… Profesor Sukichi, benar kan?” Kata-kata Grace tepat sasaran. Ekspresi Makoto langsung berubah. Alice dan Kevin saling memandang di dalam mobil. Mereka penasaran dengan pengetahuan Grace yang mereka sendiri tidak tahu.
“Bagaimana kau tahu?” Makoto kembali mengelus jenggotnya yang panjang. Grace terkekeh pelan, ia mengangkat sebelah tangannya dan menunjuk ke kepalanya sendiri.
“Aku pakai ini,” ucap Grace singkat. Makoto terkejut dengan apa yang dilihatnya.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Sudah Mati!
“Dari mana kau dapat sarung tangan itu?” tanya Makoto dengan suara bergetar. Grace memperlihatkan kedua tangannya pada Makoto.
“Kau mengenali ini? Bagus! Sekarang aku yakin kau terlibat dalam kasus sepuluh tahun lalu!” Ekspresi Grace tiba-tiba berubah dingin.
“Aku tidak tahu apa maksudmu.” Makoto mundur. Grace menyeringai.
“Katakan pada Profesor Sukichi, jika dia masih ingin tempat penelitiannya ini berdiri tegak, berikan aku informasi mengenai Anonymous.” Ucapan Grace membuat wajah Makoto semakin pucat. Alice, Brian dan Kevin yang berada di dalam mobil sangat terkejut dengan nama yang disebutkan Grace.
“Jadi yang dia incar adalah Anonymous.” Alice memejamkan matanya tak percaya. Kevin dan Brian mengusap wajahnya lalu menghela napas panjang.
“Seharusnya kita tahu dari awal.” Brian menyandarkan punggungnya ke kursi kemudi. Kevin mengetuk kursi itu lalu berkata, “Walaupun kita tidak berniat untuk melawan Anonymous, tetap saja kita akan mengahadapinya suatu saat nanti. Shadow bukan organisasi biasa. Ingatlah, saat pertama kali kita kalah. Kita hanya anak ingusan yang mulai belajar merangkak,” ucap Kevin membuat Alice mengangguk pelan.
“Kau benar. Tapi aku penasaran, sebenarnya siapa Grace itu. Dan bagaimana dia mengetahui hal-hal yang luput dari perhatian kita.” Alice melihat sosok Grace dari dalam mobil van.
Grace mendekati Makoto, ekspresi wajahnya yang dingin membuat Makoto siaga.
“Aku tidak ingin melawanmu saat ini. Tapi bisa kupastikan, jika kau melakukan hal-hal yang membuat aku dalam bahaya, satu hentikan jari akan membuat semuanya kacau. Orang-orang yang berada di dalam van itu bukan apa-apa. Ada yang lain yang sedang menunggu keputusan dariku saat ini,” ucap Grace setengah mendesis. Matanya menatap tajam Makoto yang merasakan bahwa Grace tidak main-main. Ia merasa buku kuduknya berdiri.
“Aku tidak tahu bagaimana cara…” Makoto berhenti bicara saat Grace mendekatkan wajah ke hadapannya.
“Kau tahu cara menghubunginya. Aku yakin itu, dan jangan pernah bilang kalau kau tidak bisa karena aku tahu kau bohong! Katakan saja pada Sukichi bahwa aku serius!” mata Grace melotot. Makoto yang terlihat begitu sangar merasa bahwa tubuhnya sedikit bergetar, ada rasa takut yang tersirat di sana. Dan Grace mengetahui itu, ia tersenyum. Senyum yang lebih menyerupai seringai, senyum yang mengingatkan Makoto akan Brigith, wanita jenius yang pernah hampir membunuhnya.
“Baiklah,” Makoto menjawab. “Akan ku usahakan,” tambahnya melemah. Ia tahu, wanita yang di hadapannya bukan wanita biasa, dan wanita ini tidak akan menyerah begitu saja akan apa yang dia inginkan. Terlebih, ia memiliki hubungan dengan Brigith. Orang yang pernah menjadi pembunuh nomor satu di kota New York, ia terkenal pada masanya.
“Bagus,” Grace mengeluarkan secarik kertas. “Hubungi aku di sini jika dia setuju untuk berbicara denganku. Tapi ingat, aku ingin berbicara dengannya dari mata ke mata. Jika aku tahu dia membawa bala bantuan atau menghubungi siapapun itu, baik kau ataupun dia, akan tahu akibatnya.” Grace berbalik menuju mobil.
Makoto terdiam dan menatap tulisan di atas kertas itu.
“Jadi dia putrimu, Brigith? Dia sama keras kepalanya denganmu. Mungkin ini memang sudah saatnya untukku membalas Budi,” ucap Makoto dalam hati. Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan membiarkan Grace dan rekannya pergi.
“Kena kau!” ucap Grace pelan. Kevin dan Alice menatapnya bingung, tapi Grace tidak peduli. Ia akan menjelaskan semuanya nanti. Bibirnya menyunggingkan senyum aneh, Kevin mengangguk pelan. Tatapan Alice tidak lepas dari Grace, ia merasa curiga> Grace menyembunyikan banyak hal. Dan itu memang benar, karena saat mereka tiba di Camp nanti, Grace akan menjelaskan semuanya.
(To the next chapter)