Kisah Wangsa Suta diabadikan dalam bentuk seni tari oleh sanggar Catrik Palagan.
Seberapa besar pengetahuan gen Y dan Z Sukabumi tentang daerah tempatmu tinggal? Tahukah kalian dengan legenda Wangsa Suta yang berkaitan erat dengan asal muasal Kelurahan Gunungparang, Cikole, Kota Sukabumi?
Well, simak lima info tentang legenda Wayang Suta dan asal muasal Gunungparang berikut.
1. Sosok Wangsa Suta dan asal muasal Gunungparang
Menurut pupuhu sanggar seni Catrik Palagan bernama Ki Domon, legenda Wangsa Suta berkaitan erat dengan asal muasal Gungparang. Wangsa Suta adalah salah seorang yang membuka daerah Gunungparang. Daerah tersebut dikenal dengan adanya pohon kiara kembar dan pohon paku berdahan lima yang condong ke arah selatan.
Waktu itu Wangsa Suta telah memulai babak baru hidupnya dengan melaksanakan amanah sang guru. Alkisah, Wangsa Suta berbisik lirih kepada kekasihnya, Nyai Pundak Arum. “Tunggulah aku di Gunungparang, di bawah pohon paku berdahan lima (Paku Jajar) dan condong ke selatan,” ujar Wangsa Suta. Namun, Nyai Pundak Arum tak pernah ada di sana. Wangsa Suta memanggil-manggil. Hanya angin berdesau menjawab. Wangsa Suta terduduk lemas.
Wangsa Suta lalu menemui gurunya, Resi Saradea. “Wangsa Suta, kamu tidak berjodoh (dengan Pudak Arum) di zaman ini, tapi mungkin di lain jaman. Tunggulah. Kelak bila Gunungparang telah berkembang, maka akan lahir seorang wanita titisan Pudak Arum. Dia akan menjadi pembela kaum perempuan yang teraniaya. Bila wanita itu telah lahir, maka itulah jodohmu,” demikian nasihat sang guru.
Sejak hari itu, Wangsa Suta tidak pernah meninggalkan Gunungparang. Dia setia menunggu titisan Pudak Arum.
BACA JUGA:
5 alasan munculnya tuntutan Jampang mekar dari Kabupaten Sukabumi
Di balik penaklukan tentara Inggris di Sukabumi, 5 fakta Letkol Eddie Soekardi
Film ini dibuat zaman Belanda, nomor 5 produsernya wartawan asal Sukabumi
2. Pertarungan Wangsa Suta dan Ki Demang Kartala
Fokus utama legenda Wangsa Suta adalah pertarungan antara Wangsa Suta dan salah satu algojo Ki Demang Kartala.
Alkisah, Nyai Putang Mayang beserta salah satu pembantunya Rumpay Tanggeuy Ringsang mengungsi ke Gunung Sunda. Di tengah perjalanan, di tengah sebuah hutan, mereka memungut dua anak (laki-laki dan perempuan) bernama Wangsa Suta dan Nyai Pudak Arum. Keduanya dirawat hingga dewasa. Benih-benih cinta dan rasa saling menyayangi tumbuh di antara kedua anak itu. Mereka pun saling berjanji akan hidup bersama selamanya dan akan mengikatnya dengan tali perkawinan.
Namun demikian, saat Wangsa Suta berguru kepada Resi Saradea di selatan Gunung Walat, kecantikan Pudak Arum menimbulkan perpecahan di kalangan para bangsawan. Tatkala Wangsa Suta sedang menunaikan tugas dari gurunya untuk membangun sebuah kampung di Gunungparang, terdengarlah berita bahwa Pudak Arum akan dihukum penggal karena dianggap sebagai pembawa celaka.
Wangsa Suta pun bergegas menyelamatkan kekasih hatinya dengan bertarung dengan algojo utusan Ki Demang Kartala. Sebelum bertarung, Wangsa Suta menyuruh Pudak Arum berlari dan menunggu kedatangannya di bawah pohon Paku Jajar berdahan lima di Gunungparang. Namun nasib berkata lain, Pudak Arum ditangkap oleh algojo yang lain dan dibawa ke Pulau Puteri.
Setelah mengalahkan algojo Ki Demang Kartala, Wangsa Suta yang sama sekali tidak mengetahui bahwa Pudak Arum ditangkap berlari menuju Gunungparang. Wangsa Suta tak menemukan Pudak Arum. Menangislah Wangsa Suta penuh sedu sedan.
3. Pakujajar di Gunung Parang
Salah seorang yang menjadi rujukan legenda Wangsa Suta adalah sejarawan Sukabumi bernama Anis Djatisunda (alm.). Bahkan Anis mengabadikan legenda Wangsa Suta dalam sebuah haleuang (lagu) berjudul “Pakujajar di Gunungparang.”
Anis juga mengupas tentang konteks sejarah dari legenda Wangsa Suta. Menurutnya, legenda Wangsa Suta terjadi di sekitar abad ke-16, pada jaman Padjadjaran Runtag (runtuh). FYI, Padjadjaran runtuh akibat digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.
Sukabumi yang terletak di antara kaki Gunung Gede dan kaki Gunung Salak, kata Anis, pada masa itu disebut Tatar Pagadungan, berada di bawah kekuasaan Padjadjaran Tengah (Bogor). Adapun pusat Kabupaten Pagadungan, yaitu Kadatuan Pamingkis kira-kira berada di daerah Gunung Walat (Cibadak). Bupati pada masa itu bernama Ki Ranggah Bitung dan isterinya Nyai Raden Puntang Mayang.
Saat Kadutan Pamingkis diserang Banten, Nyai Puntang Mayang mengungsi ke Gunung Sunda. Dalam perjalanan mereka menemukan dua anak yang diberi nama Wangsa Suta dan Pudak Arum. Dari situlah legenda Wangsa Suta berawal.
BACA JUGA:
Tionghoa Sukabumi penerjemah Bung Karno, 5 hal mengenal Szetu Mei Sen
Gaess, ini dia 5 orang Belanda yang punya kedekatan dengan sejarah Sukabumi
Gaess, ini lho 5 alasan jalur utara Sukabumi terlihat kumuh
4. Pohon Kiara Kembar dan Paku Jajar
Babad alas Gunungparang oleh Wangsa Suta ditandai dengan dua jenis pohon, yaitu Kiara Kembar dan Paku Jajar yang berdahan lima. Menurut keterangan dari berbagai sumber yang disampaikan kembali oleh Anis Djatisunda, pohon Kiara Kembar tersebut berada di sekitar Lapangan Merdeka Kota Sukabumi sekarang. Sementara itu, pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima, berada di Jalan Martadinata sekarang, tepatnya pada lahan yang digunakan HBC (Home Builders Center) Sukabumi. Wallahualam.
5. Tari Wangsa Suta
Legenda Wangsa Suta dan asal muasal Gunungparang diabadikan dalam sebuah seni tari yang dikembangkan oleh sanggar seni tradisional Catrik Palagan pimpinan Ki Domon. Tak main-main, tarian dengan konsep pertempuran antara Wangsa Suta dengan Ki Demang Kartala memperebutkan Nyi Pundak Arum ini telah berhasil menjuarai lomba festival Rengkak Tandang Tari Kreasi Jawa Barat dan DKI yang dilaksanakan di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Menurut Ki Domon, dalam ajang itu Catrik Palagan Kota Sukabumi berhasil mengalahkan beberapa perwakilan Kota dan Kabupaten yang ada di Jawa Barat serta perwakilan DKI. Salah satu inspirasi Ki Domon membuat tarian Wangsa Suta ini adalah agar masyarakat luas tahu dan legenda Wangsa Suta lestari. (dari berbagai sumber)