Gunung Gede cukup sentral bagi masyarakat Sunda.
Gunung Gede adalah sebuah gunung berapi yang dikelilingi tiga wilayah administratif yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Gunung yang memiliki ketinggian 2.985 mdpl, ini menjadi salah satu tempat favorit bagi para peneliti Eropa yang rajin mengumpulkan specimen hewan sejak dulu.
Kerennya lagi nih, Gengs, nama gunung ini juga banyak disematkan kepada lokasi hingga nama perusahaan, seperti Kapal Uap Gedeh, Apotik Gedeh (sekarang Kimia Farma), Percetakan Gedeh, hingga Perkebunan Teh Gedeh.
Tak mengherankan, karena gunung yang berdampingan dengan Gunung Pangrango ini memang sangat memesona dipandang dari sudut manapun. Sehingga wajar jika banyak yang mendokumentasikannya, baik melalui foto ataupun tulisan.
Selain keindahannya, gunung yang berada di sisi utara Sukabumi, ini juga sangat lekat dengan sejarah dan filosofi masyarakat Sukabumi semenjak dulu.
Bagi sebaian besar gen XYZ Sukabumi, semoga tulisan ini menjadi bak penyingkap kabut mengenai kisah kelam masa silam daerahnya saat dilanda letusan Gunung Gede. Gak percaya? Simak kuy lima faktanya, Gaess.
1. Sisa gunung purba
Tanah Sukabumi muncul bersamaan terbentuknya gugus pulau yang disebut Sundaland. Konon, sekira 90 juta tahun lalu tanah yang muncul ke permukaan adalah wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Baru pada 45 juta tahun kemudian seluruh pulau Jawa mulai terbentuk.
Proses terbentuknya pulau terpadat penduduknya se-Indonesia, ini diawali dengan tubrukan antara lempeng Kontinental (Eurasian) dengan Oseanik (benua besar di bawah Australia). Pada saat berbenturan, Oseanik yang lebih berat tenggelam atau tertindih lempeng kontinental, sehingga kontinental terangkat ke atas dan membentuk pegunungan.
Layaknya jerawat, lava di dalam perut bumi membantu memperbesar diameter dan ketinggian gunung. Maka muncullah gunung-gunung besar dan berapi di wilayah Sukabumi, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Gede, Pangrango, dan Salak.
Menurut penelitian Direktorat Vulkanologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), gunung tertua di kawasan ini adalah Gunung Gegerbentang, disusul kemudian dengan Mandalawangi, gunung api yang sangat besar dan pernah meletus dahsyat, lavanya mengalir ke segala arah dan bebatuan terlempar ke bukit dan gunung di sekitarnya.
Bebatuan karang yang terlempar dari Gunung Gede Purba itulah kemudian membentuk perbukitan yang membentang dari Karang Para, Karang Numpang, Gunung Walat, hingga kaki Gunung Salak. Bekas kawah-kawah purba sekarang masih tersisa di lereng Pangrango dan Gede.
Sementara itu, Gunung Gede Pangrango yang kita kenal sekarang merupakan ‘gunung muda’ yang terbentuk sekira tiga juta tahun lalu, dan merupakan generasi kemepat gunung api.
2. Pusat kosmos mayasrakat Sukabumi purba
Gunung Gede Pangrango sudah dikenal dalam dongeng Sunda, ataupun cerita rakyat Sukabumi sejak lama. Di samping itu, banyak tempat ritual purbakala seperti menhir menghadap ke Gunung Gede seperti Tugu Sukaraja, Batu Kabayan di Kadudampit, Tugu Gede Cengkuk, dan tugu di sekitar situs kaki Gunung Salak.
Dalam keyakinan masyarakat Sunda dikenal sebagai datum point (ceremonial center) yang berupa Gerbang (madyapada). Secara horisontal, tatanan Gunung Gede dengan situs-situs yang diarahkan pada gunung tersebut merupakan pancer, tonggak, dangiang, layaknya sarang lebah di dunia nyata atau jagat leutik-buana leutik.
Sedangkan secara vertikal, menggambarkan jagat gede –jagat ageung– alam, dimana masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut ekistensinya menyangkut keluasan lingkup yang mengandung bermacam dunia, dengan segala macam aspeknya.
Masyarakat Sukabumi sendiri memiliki keseimbangan pandangan mengenai kesejajaran makrokosmos dan mikrokosmos tersebut, yakni antara jagat raya dan dunia manusia. Sehingga tak heran jika Gunung Gede selalu menjadi tempat tujuan ritual sejak zaman dulu.
Sebagian masyarakat Sukabumi bahkan masih memercayai kisah Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi yang menjaga Gunung Gede, sehingga beberapa tempat asal muasalnya selalu dihubungkan dengan gunung ini. Gunung Parang misalnya, yang berasal dari muntahan lahar Gunung Gede.
Beberapa tempat dikeramatkan di Gunung Gede seperti Alun-alun Suryakencana dengan kisah Leuit Salawejajar-nya, Batu Kursi, Batu Dongdang, Gua Lawa (walet), Lawang Sakeuteung, dan lainnya. Tempat-tempat tersebut sejak dulu hingga saat ini masih menjadi tempat menjalankan ritual.
BACA JUGA:
Gunung Salak dan Gede berstatus waspada, ini 5 info gen XYZ Sukabumi mesti aware
Mau berakhir pekan di Sukabumi? Ada teras nirwana di lereng Gunung Salak
Penduduk purba Gunung Padang menyebar ke Sukabumi, 5 fakta gen XYZ mesti tahu
3. Disebut Bukit Ageung oleh Bujangga Manik
Menariknya, Gunung Gede juga menjadi tempat sakral sejak awal peradaban Sunda berkembang. Dalam naskah Bujangga Manik, gunung ini disebut dengan nama Bukit Ageung karena menjadi hulu wano na Pakuan (tempat paling tinggi di Pakuan). Gunung ini juga menjadi penanda kembalinya peradaban besar, dan lahirnya sang Ratu Adil, sebagaimana disebut dalam Wangsit Prabu Siliwangi sebagai berkut:
“Darengekeun!! Zaman bakal ganti deui, tapi engke lamun Gunung Gede anggeus bitu ku tujuh gunung, genjlong deui sajagat, urang Sunda disasambat, urang Sunda nu ngahampura, hade deui sakabehanana. Bangunna ngahiji deui, mangsajaya, jaya deui: sabab Ratu Anyar, Ratu Adil Sajati, tapi Ratu saha? Tiana eta Ratu? Engke oge dia Nyaraho, ayeuna mah, siar ku dia eta budak angon! Jig, geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
Artinya: “Dengarkan, zaman akan berganti lagi. Tapi nanti jika Gunung Gede sudah meletus yang disusul oleh tujuh gunung. Gempar lagi sejagat raya. Orang Sunda dipanggil dinantikan [kehadirannya], orang Sunda memaafkan, baik lagi semuanya. Semuanya bersatu lagi. Masa jaya, masa jaya kembali: Sebab Ratu yang baru, Ratu Adil yang sejati. Tetapi ratu siapa, dari mana asalnya ratu itu? Nanti juga kalian akan mengerti. Sekarang, kabarkan kepada anak gembala itu, segeralah bertindak. Tetapi, jangan melirik ke belakang!”
Banyak tafsir mengenai masa meletusnya Gunung Gede yang menjadi penanda itu, hal ini menunjukan betapa sentralnya posisi Gunung Gede dalam kehidupan masyarakat Sunda dari dulu hingga saat ini.
BACA JUGA: Orang Jerman pendaki pertama Gunung Gede, ini 5 fakta milenial Sukabumi udah tahu?
4. Dijuluki blauwenberg, dikunjungi Raffles
Ketika orang-orang Eropa memasuki Batavia, pada awalnya karena melihat dengan jelas dua gunung besar dari pesisir pantai, Gunung Gede dan Salak.
Kemudian, saat Scipio dan Van Riebeeck mengunjungi wilayah Sukabumi pada 1687 dan 1709, keduanya terpesona memandang gunung besar berwarna kebiruan dan menyebutnya sebagai blauwenberg atau gunung yang kebiru-biruan.
Gunung Gede menjadi favorit para peneliti, seperti Reindwardt, peneliti dan pendiri Kebun Raya Bogor, mendakinya melalui wilayah Sukabumi pada April 1819. Dia mencatat vegetasi dibantu seorang pemandu asal Sukabumi yang direkomendasikan Andries De Wilde. Kemudian pada Agustus 1821, Kuhl dan Van Hasselt juga mendakinya dan menemukan jejak Badak Jawa.
Selain itu, peneliti terkenal Junghunn, juga mendaki Gunung Gede pada Maret 1839. Sementara peneliti sohor lainnya, Wallace, mendakinya pada 1861.
Saat Thomas Stamford Raffles mengunjungi Sukabumi, ia juga mendaki Gunung Gede, hanya selang beberapa minggu sebelum Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus pada 11 April 1815. Raffles ditemani Andries de Wilde, membawa beberapa orang lainnya lengkap dengan kuda. Ia juga membawa thermometer untuk mengukur perbedaan temperatur bawah gunung dan puncak, kemudian meraka mendaki sekira 3.000 meter, kemudian Raffles berdiri di atas tebing terjal di puncak gunung.
Di antara desisan-desisan suara yang keluar dari kawah, Raffles menulis:
“Kita bisa melihat prospek paling luas dari puncak, sepanjang pulau sangat berbeda dan mata kami menelusuri laut di luar titik paling selatan, yaitu pantai Sumatera, ombak di pantai terlihat dengan mata telanjang. Kami memiliki pandangan paling luas di puncak ruas-ruas jalan Batavia, dengan berbagai kapal barang, bahkan kita bisa membedakan kapal satu dengan lainnya.
Wine Coops Bay (Palabuhanratu) masih tampak jelas di sisi lain. Sekeliling pulau ini telihat jelas dan kami bisa menyusuri pandangan ke pesisir paling selatan Sumatra dengan mata telanjang. Dari puncak gunung itu, di arah timur kita bisa memandang Indramayu dan Bukit Cheribon yang menjulang tinggi.”
Raffles sangat mengagumi bentang alam yang dilihatnya dari puncak Gunung Gede. Dalam surat yang ia tulis menyebutkan, “Saya pikir bisa dikatakan bahwa kami memiliki jangkauan hampir semua bagian dari pulau, yang oleh pemerintah sebelumnya tidak disebut Jawa.”
Catatan perjalan Raffles ke Gunung Gede ini tercatat dalam buku Memoir of The Life and Public Services of Sir Thomas Stanford Raffles yang disusun mantan istrinya, Lady Sophia Raffles pada 1830 di London.
5. Dulu sering meletus, bagaiamana Sekarang?
Dalam 210 tahun terakhir, terhitung sejak 1747 hingga 1957, Gunung Gede tercatat lebih dari 50 kali meletus, baik letusan kecil maupun besar. Pada 1747 misalnya, sebuah letusan hebat menyebabkan dua aliran lava sepanjang 2 kilometer. Kemudian tahun 1761, letusan kecil disertai abu vulkanik. Lalu pada 1780, juga terjadi letusan kecil.
Setelah 1780, Gunung Gede seperti lelap tertidur. Hingga 52 tahun kemudian, tepatnya tahun 1832, kembali meletus dan menimbulkan hujan abu deras hingga mencapai Batavia (Jakarta). Delapan tahun kemudian, pada 1840, letusan sangat mengerikan terjadi, menyemburkan lava api setinggi 50 meter dan bebatuan besar berdiameter lebih dari satu meter terlempar hingga sejauh 20 kilometer, disertai guncangan dahsyat.
Hingga 1848, Gunung Gede terus menerus meletus setiap tahun hingga menyebabkan kerusakan pohon di sekitarnya. Empat tahun kemudian, gunung ini memuntahkan batu-batu bediameter enam hingga 40 centimeter dari perutnya. Dan pada 1849, gunung ini mengepulkan awan hitam yang membumbung ke langit.
Dua belas tahun kemudian, yaitu 1866, terjadi letusan kecil disertai hujan abu. Lalu pada 1870, mengeluarkan bara api dan uap tebal disusul ledakan-ledakan. Hingga 15 tahun kemudian, tepatnya pada 1885, muncul suara gemuruh, lalu setahun kemudian hujan abu setebal 50 centimeter disemburkan sejauh 500 meter dari kawah. Kemudian dari 1887 hingga 1900, dan 1909, setiap tahunnya selalu terjadi letusan kecil diikuti suara gemuruh dan atau disertai hujan abu. Letusan-letusan itu kemudian terhenti sampai 37 tahun ke depan.
Sampai pada 1946, Gunung Gede kembali mengeluarkan asap, dan pada 1957, terjadi lima kali ledakan disertai asap yang membumbungan hingga setinggi 500 meter. Hingga kini, Gunung Gede belum memperlihatkan tanda-tanda aktif, kecuali tahun 1972 muncul asap putih tebal. Konon, hal itu disebabkan kondisi magma dapurnya masih dalam kondisi normal.
Nah, Gengs, para pakar vulkanologi Indonesia tentu sudah memiliki metode untuk menganalisa dan mengecek dapur magma tersebut. Jadi caranya bukan di-miscall seperti kabar burung yang tersebar di medsos ya.
Sementara itu, Gunung Pangrango sendiri pernah meletus dengan aliran laharnya menuju ke arah Cibadak. Sedangkan ke arah tebing kawah Gunung Gede di sebelah tenggara yang merupakan hulu sungai, mengalir ke arah Kota Sukabumi hingga perbatasan Cianjur.
Nah, gen XYZ Sukabumi, jika suatu saat terjadi letusan (amit-amit dulu deh) tentu dampak letusannya akan sangat besar terhadap masyarakat Sukabumi, sehingga diperlukan mitigasi bencana yang efektif sejak dini.
Selain itu, harus ada sosialisasi terhadap warga di wilayah-wilayah yang berisiko tinggi terdampak letusan, terutama wilayah Kota dan Kabupaten Sukabumi di sisi utara.
Mantap….khususnya historis gunung gede begitu menginfirasi bagi khasanah hidup dan kehidupan warga pasundan dulu, sekarang dan nanti..akan tetapi digunung gede tersebut ada pesawahan berpetak2 yg oleh warga setempat tdk bisa digarap apalagi dimiliki..itulah bekas “warga panceur pangawinan” bersawah sebelum menyebar keberbagai peloksok dibumi pasundan…etc