Roro Sawidi membantu Panembahan Senopati mendirikan kerajaan Mataran Islam.
Salah satu legenda mistis atau mitos yang paling terkenal di pulau Jawa, termasuk di kalangan orang Sunda Sukabumi, adalah legenda Nyai Roro Kidul. Versi kisah Nyai Roro Kidul pun beragam. Walaupun masing-masing versi berbeda, namun selalu ada titik temu, yaitu bahwa Nyai Roro Kidul adalah mahluk gaib penguasa laut selatan, bahwa Nyai Roro Kidul aslinya seorang puteri raja, cantik, dan lain-lain.
Kita di Sukabumi mengidentikkan sosok Nyi Roro Kidul dengan Pelabuhan Ratu. Versi cerita yang banyak kita fahami adalah bahwa Nyai Roro Kidul aslinya puteri dari Prabu Munding Wangi bernama Dewi Kadita yang diusir oleh ibu tirinya Dewi Mutiara dan singkat cerita ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut selatan.
Nah, ternyata ada versi cerita lain tentang Nyai Roro Kidul dari Yogyakarta yang uniknya ada kemiripan dengan versi Sunda dan juga berhubungan dengan Kerajaan Pajajaran dan orang Sunda. Penasaran Gaess, berikut kisahnya!
[1] Siapa Roro Sawidi?
Sosok manusia yang kemudian menjadi Nyai Roro Kidul bernama Roro Sawidi. Ia adalah puteri Raja Pajajaran, Prabu Munding Sari. Demikian menurut versi juru kunci Pantai Parangkusumo yang juga abdi dalem Keraton Yogyakarta, Mas Penewu Surakso Jaladri.
Mbah Jaladri mengungkapkan versinya itu dalam sebuah film dokumenter produksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul “Dokumenter|The Untold Story of Java Southern Sea.” Mbah Jaladri yang diwawancarai tim LIPI dalam film itu juga menceritakan bagaimana Nyai Roro Kidul membantu Panembahan Senopati saat mendirikan Kerajaan Mataram Islam.
Jika ditelusuri dalam sejarah Kerajaan Pajajaran, tak ditemukan tokoh bernama Roro Sawidi. Namun demikian, nama Prabu Munding Sari memang ada. Disebutkan Munding Sari adalah putra dari Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) dari istri keduanya Ratu Palaga Inggris.
Menurut sejarawan Tatang M. Amirin, Prabu Munding Sari atau lengkapnya Munding Surya Sari Ageung, setelah menikah dengan Dewi Mayang Karuna, diberi kekuasan wilayah Kerajaan Maja, mencakup Garasiang (ini terletak di utara Talaga). Jadi, dapat dikatakan bahwa Prabu Munding Sari dapat diduga sebagai raja pertama Kerajaan Maja (dis ekitar Majalengka sekarang).
Jika melihat masa hidupnya Munding Sari di sekitar 1520an, maka mungkin saja ia maupun anaknya Roro Sawidi (sebagaimana versi Mbah Jaladri), sezaman dengan Panembahan Senopati yang mendirikan Mataram Islam pada tahun 1587.
[2] Kisah Roro Sawidi ingin hidup abadi
Dalam film yang sama, Mbah Jaladri berkisah:
Saat dewasa banyak raja-raja yang ingin meminang Roro Sawidi. Tapi lamaran mereka ditolak semua oleh Roro Sawidi.
Prabu Munding Sari marah kepada Roro Sawidi. “Nak, kamu kok menolak lamaran para raja, para satria. Maumu apa sih?”
“Bapak, mohon maaf. Sebenarnya aku ingin hidup abadi (selama-lamanya),” kata Roro Sawidi.
Ayahnya tambah marah. “Tidak ada manusia yang bisa hidup abadi. Seharusnya bisa mati. Kalau maumu begitu, kamu tidak boleh tinggal di keraton lagi. Sekarang kamu pergi dari sini,” Prabu Munding Sari mengusir Roro Sawidi.
BACA JUGA:
Wajib aware Gengs, 5 cerita legenda ini asli Sukabumi
Tjikasintoe, mengeksplorasi mitos dan kisah heroik di Cidadap Sukabumi
Petaka cinta segi tiga di Kalapanunggal Sukabumi menjadi headlines media Eropa
[3] Bertemu dewa di Parangkusumo
Roro Sawidi lalu pergi menyusuri pantai Selatan sampai ke pantai Parangkusumo (di Yogyakarta). Di sana, Roro Sawidi bertemu dengan dewa. “Saya dari Pajajaran ke Parangkusumo ini hendak meminta bantuanmu agar saya bisa hidup selamanya sampai kiamat,” pinta Roro Sawidi kepada dewa.
Dewa kaget, kok ada manusia yang minta hidup abadi. “Kau manusia tak bisa hidup selamanya. Bisa juga begini. Ragamu tinggalkan. Jadi kamu bisa hidup selamanya dengan ruhmu (tanpa raga),” kata dewa.
“Baiklah, Eyang,” jawab Roro Sawidi seraya meninggalkan jasadnya.
Roro Sawidi yang hanya bentuk ruh saja disuruh tinggal di laut Selatan. “Di laut Selatan sana ada keraton, tapi yang buat bukan manusia. Nah, kamu menempati keraton itu. Dan roh-roh yang menempati keraton itu harus kamu sadarkan jangan sampai mengganggu anak cucu keturunan manusia. Nanti kalau ada anak cucu manusia meminta bantuan, kamu harus menolongnya,” kata dewa.
“Baik, Eyang, Perintahmu akan saya lakukan,” kata Roro Sawidi.
“Baiklah kalau kamu sudah mengerti, sana tinggal di laut Selatan. Aku akan kembali ke Kahyangan. Jangan lupa pesanku, ya,” kata dewa.
[4] Pernikahan mistis-politis Nyai Roro Kidul dengan Panembahan Senopati
Sekian tahun berlalu, tibalah di suatu waktu di mana seorang bernama Panembahan Senopati mendapatkan wangsit untuk melakukan tapa di pantai Parangkusumo. Sang Panembahan lalu menemukan dua buah batu di pantai Parangkusumo dan ia pun bertapa di atas salah satu batu. Batu tersebut kini dikenal dengan nama batu “selo gilang” atau juga sering disebut “Batu Cinta.”
Setelah sekian lama bersemedi di atas batu, akhirnya Nyai Roro Kidul mendatangi Panembahan Senopati. Kedatangan sang ratu penguasa laut Selatan diiringi oleh gelombang air laut yang besar. Singkat cerita Nyai Roro Kidul bersedia membantu Panembahan Senopati untuk mendirikan kerajaan, seperti yang ia janjikan kepada dewa untuk membantu anak turun manusia.
Dalam tradisi Jawa diyakini Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul menikah dalam arti sebenarnya. Namun, seiring perkembangan zaman, sebagian meyakini legenda Nyai Roro Kidul adalah semacam kisah untuk melegitimasi Panembahan Senopati untuk menjdi raja Mataram Islam. Entahlah!
[5] Menalar mitos Nyai Roro Kidul untuk melacak tsunami purba
Sebenarnya, video berjudul Dokumenter|The Untold Story of Java Southern Sea adalah sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Eko Yulianto, peneliti LIPI yang ahli di bidang paleotsunami. Eko mencoba menalar mitos Nyai Roro Kidul untuk melacak jejak tsunami purba (paleotsunami) yang terjadi di pantai selatan Jawa ratusan tahun lalu.
“Ada peristiwa yang terjadi pada 5 Januari 1699. Data saya yang dari Lebak, lebih mengindikasikan boleh jadi sumbernya bukan di darat, jalur subduksi Selatan Jawa,” ujar Eko dalam video berdurasi 22 menit 50 detik tersebut.
Salah satu fragmen mitos Nyai Roro kidul beserta keretanya saat melintas menuju Tugu Yogya. Kisah ini menarik perhatian Eko. “Apakah cerita itu hanya benar-benar sebuah cerita rekaan atau mitos saja? Atau cerita itu sebenarnya sebuah metafor tentang sebuah gelombang di masa lalu?” ucap Eko.
“Nah, ketika itu tahun pendirian kerajaan Mataram Islam sendiri terjadi pada 1586, penyerbuan Hadiwijaya terjadi tahun 1584, dan hasil dating atau penanggalan (jejak tsunami purba) yang saya dapatkan plus minus 400 tahun yang lalu. Maka, seolah-olah ini menjadi waktu-waktunya sangat sinkron,” ungkapnya.
Eko menduga kisah tentang Nyi Roro Kidul ini adalah sebuah metafora. “Bahwa gelombang besar itu terjadi benar. Tapi kemudian karena kebutuhan politik dari Panembahan Senopati yang ingin menjadi raja baru sementara dia bukan berdarah biru, maka dia perlu legitimasi politik,” kata Eko.
Eko juga membuat analogi dalam mitologi Yunani di mana Kejadian gempa dan tsunami selalu dikaitkan dengan Poseidon (sosok penguasa lautan). “Tugas kita adalah mengungkap cerita-cerita lama yang sebenarnya adalah kejadian yang sungguh-sungguh terjadi,” ujarnya.
Hmmm..menarik ya, Gaess? Kalau masih penasaran, silakan cek langsung videonya di link youtube ini:
ternyata leluhurku ada yang dari inggris, Soalnya saya masih keturunan Arya Wiranatanudatar, Cianjur silsilah sampai ke Prabu mundingsari..