Selama masa pengasingan di Sukabumi banyak dikunjungi ulama dan wartawan. Bahkan ulama Muhammadiyah dari Yogyakarta sengaja datang ke Sukabumi untuk menjenguknya.
Generasi XYZ Sukabumi, setelah membaca #Part1: Pahlawan dan pejuang pernah dibuang ke Sukabumi selain Hatta dan Sjahrir, #Part2: Kisah dua raja dibuang ke Sukabumi dan dimakamkan di Palabuhanratu, dan #Part3 Dua kali dibuang ke Sukabumi, Raja Sulawesi Tengah menikah dan meninggal dunia di Gunung Puyuh, kalian juga wajib tahui betapa sentralnya Sukabumi pada masa kolonial.
Selain hawanya sejuk dan alamnya yang indah, kota kebanggan kalian ini juga menjadi tempat pembuangan para pahlawan dan pejuang yang dianggap membahayakan penjajah Belanda. Selain Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, ternyata masih ada pahlawan dan pejuang lainnya yang dibuang ke Sukabumi lho.
Haji Rasul, yang merupakan ayahanda dari Buya Hamka, merupakan salah seorang pejuang yang pernah dibuang ke Sukabumi selain Hatta dan Sjahrir.
Simak kuy kisahnya.
[1] Haji Rasul (Ayah Buya Hamka)
Haji Rasul adalah nama populer dari Abdul Karim Amrullah, ia ayahanda dari ulama Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ia lahir di Sungai Batang, Danau Maninjau pada 10 Februari 1879 dan wafat di Jakarta pada 2 Juni 1945.
Haji Rasul anak seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Amarullah bergelar Tuanku Kisai. Beliau adalah ulama dan pendidik di Minangkabau. Ia memiliki dua orang anak yakni Abdul Malik Karim Amrullah dan Willy Amrull, dan tiga orang cucu, Irfan Hamka, Rusydi Hamka, dan Azizah.
Haji Rasul adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatra Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Tablighnya bersifat keras dan menyerang penjajahan, diapun sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Ranah Minangkabau pada 1925.
Bahkan, suraunya di Padang Panjang berkembang menjadi Sumatera Thawalib yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, sebuah partai politik pada awal 1930.
[2] Menentang ajaran komunis
Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan 1928 ia juga menyerang Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932. Dalam berbagai kesempatan, ia juga selalu melontarkan kecaman keras terhadap hukum dan peraturan Belanda kerap dinilai mengganggu pihak penjajah.
Kata-katanya yang fenomenal adalah, “Sedangkan cacing dipijakkan akan menggeleng, tentulah manusia.” Sebuah kata-kata yang ditafsirkan sebagai perlawanan oleh pemerintah Hindia Belanda. Belanda bahkan menganggap bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak berfungsi selama Haji Rasul tinggal di daerahnya.
BACA JUGA:
Sempat ingin bunuh diri, HAMKA, ayah dan adiknya pernah ditahan di Sukabumi, ini 5 fakta sejarahnya
Hari Pahlawan, ini 5 fakta ulama pejuang Sukabumi yang tak kunjung digelari pahlawan nasional
[3] Dipenjara kemudian diasingkan ke Sukabumi
Akhirnya, pada 12 Januari 1941, Haji Rasul ditangkap dan harus mendekam di penjara Bukitinggi. Kemudian pada 8 Agustus 1941 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke Sukabumi.
Pertengahan Agustus 1941, ia dibawa oleh sebuah kapal ke Batavia, kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat pembuangan, Sukabumi. Tiba di Sukabumi, ia ditempatkan di Kampung Cikiray (kini Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi). Namun, sepertinya Belanda gagal “menyiksa” dirinya selama di pengasingan, karena hawa sejuk Sukabumi saat itu justru membuat Haji Rasul merasa betah.
Konon, Sukabumi adalah tempat yang direkomendasikan oleh Sukarno kepada sang ulama. Sehingga selama di Sukabumi ia benar-benar bisa beristirahat karena tidak banyak hal yang diadukan masyarakat kepadanya.
Abdullah Salim, seorang tokoh Muhammadiyah di Sukabumi saat itu, sudah mendengar kabar pembuangan ulama besar tersebut ke Sukabumi. Sehingga ia pun bersiap menyambut kedatangan Haji Rasul yang saat kedatangannya dikawal ketat oleh polisi.
Setibanya di Sukabumi, Haji Rasul disambut Abdullah Salim. Setelah saling memperkenalkan diri. Haji Rasul ditempatkan di rumah tuan Iskandar di Jalan Cikiray nomor 8.
[4] Haji Rasul di Sukabumi
Kabar Haji Rasul dibuang ke Sukabumi tersiar ke berbagai pelosok negeri, sehingga wajar jika kemudian banyak ulama mengunjunginya. Bahkan, Pengurus Besar Muhammadiyah dari Yogyakarta-pun tak luput mengunjunginya.
Saat diwawancara oleh wartawan, Haji Rasul ditanya, apakah pembuangan ini karena persoalan politik? Haji rasul menjawab, “Seumur hidup saya hanya mengurusi masalah agama dan bukan politik.”
Selama di Sukabumi, Haji Rasul sering diundang dalam acara-acara keagamaan. Bahkan, banyak yang datang untuk berguru kepadanya, salah satunya adalah Abdullah Salim sendiri. Pengaruh Haji Rasul memang sangat besar selama di Sukabumi, tidak heran jika PB Muhammadiyah di Yogyakarta menginstruksikan kepada pengurusnya di Sukabumi untuk berguru kepadanya. Sedangkan sang istri, mengajar kursus bagi jamaah Aisyiah.
Selama berada di Sukabumi, Haji Rasul tidak mendapatkan uang saku sama sekali. Untuk bertahan hidup, ia dibantu oleh murid-murid dan kenalannya.
Empat bulan kemudian, Desember 1941, pecah perang pasifik. Akibat munculnya peperangan tersebut, ia pun akhirnya bisa kembali ke tanah kelahirannya, Sumatera Barat.
[5] Pembela Qunut Subuh
Haji Rasul dikenal berpengaruh di Muhammadiyah. Ia banyak menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab Melayu, seperti al Syir’ah fi Radd man Qala al Qunut fi al Shubh Bid’ah wa Anna al Jahr bi al Basmallah Bid’ah Aidan (Syariat menolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan/membaca keras Bismillah bid’ah) (Boekhandek & Drukkerij Tsamaratoel Ichwan, Fort de Cock, Bukittinggi, 1938).
Inti dari kitab setebal 52 halaman tersebut adalah berisi dalil yang terdiri dari hadits dan qaul fuqaha: qunut Subuh tidak bid’ah malah sunnah jika diamalkan, begitu pun menjaharkan bismillah dalam salat rawatib Maghrib, Isya dan Subuh.
Itu sebabnya ketika Prof. Mahmud Yunus (penulis buku Tafsir Mahmud Yunus) dan Buya Datuak Palimo Kayo diundang ke madrasah al Manar Batu Hampar Payakumbuh, menurut kesaksian Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno, pimpinan madrasah itu, saat mengimami salat Subuh keduanya membaca qunut.
Pun ketika Buya Hamka menjadi imam shalat Subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Kota Padang, juga berqunut Subuh. Padahal perkara qunut selama ini kerap diidentikkan dengan praktek bid’ah kaum sarungan di Nahdlatul Ulama (NU).
Duh, begitulah indahnya menjalankan ajaran agama bermahkotakan ilmu dan tasamuh, tenggangrasa yang luhur seperti diamalkan para ikon penting dan ulama masyhur Muhammadiyah itu ya, Gengs.
Nah, Gaess, masih banyak lho para pejuang lainnya yang konon dibuang ke Sukabumi atau sempat tinggal sementara sebelum pembuangan terakhir, dari mulai Sultan Madailing Natal hingga Tjut Nyak Dien sebelum dibuang ke Sumedang.
Sampai jumpa dalam tulisan-tulisan berikutnya.