Sinagar jadi percontohan “Desa Jawa” (Java Villages) yang ditampilkan dalam pameran di Chicago (AS) tahun 1893 dan di Paris tahun 1899 (peresmian Menara Eiffel). Wow!
Lima fakta sejarah Sinagar (Nagrak) bikin wow gen SukabumiXYZ (Part 1)
Kerkhoven yang kaya raya mengembangkan Sinagar menjadi daerah yang sangat makmur dengan pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Banyak tokoh dunia datang berkunjung dan dibuat takjub dengan keindahan Sinagar.
Berikut lima fakta sejarah Sinagar hasil lanjutan percakapan redaksi sukabumiXYZ.com dengan peneliti sejarah Sukabumi yang juga ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Irman Firmansyah. Simak kuy Gaess.
[1] Archduke Frans Ferdinand di Sukabumi
Kalian tahu siapa Archduke Frans Ferdinand? Jika pernah membaca sejarah Perang Dunia I pasti tahu. Dialah pewaris takhta Austia-Hongaria yang dibunuh oleh nasionalis Serbia. Kematian Ferdinand lau memicu meletusnya Perang Dunia I. Nah, tahukah kalian Ferdinand pernah berkunjung ke Sukabumi dan berburu dengan pemilik perkebunan Sinagar, Eduard Kerkhoven.
Kerkhoven memang seorang pemburu. Bahkan ia dijuluki pula De Jager (Sang pemburu). Ia gemar sekali berburu dan memelihara binatang. Ditemani anaknya (Adriaan) serta rekannya yaitu administratur Sinagar Baron Van Heeckeren, serta W. Theodore Boreel administratur dari Parakansalak, dia menjelajahi tempat perburuan mulai Jawa hingga Sumatera.
Tak jarang pula dia diajak oleh tamu kehormatan pemerintah untuk berburu binatang. Salah satunya adalah Archduke Frans Ferdinand pewaris takhta Austia-Hongaria. Bersama Ferdinand, Kerkhoven berburu sampai ke Panoembangan Jampang Tengah, Tanggeung dan Sindangbarang pada pertengahan April 1899. Di tahun yang sama, Kerkhoven juga mendirikan perkumpulan berburu yang disebut Venatoria dan menyewa lahan berburu banteng di Cikepuh, Sukabumi Selatan setahun kemudian.
[2] Kebun binatang di Sinagar
Tak semua binatang yang Kerkhoven buru diawetkan. Sebagian hewan dia tangkap dan dipelihara di sebuah kebun binatang kecil yang cukup lengkap. Hasil berburu tadi menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para pelancong yang berkunjung. Salah seorang pengunjung “Taman Surga di Sinagar,” seorang pedagang besar dari Inggris bernama Arthur Earle, dalam bukunya berjudul A Month in Java 1899, menggambarkan bagaimana isi kebun binatang tersebut.
Menurut Arthur, hewan-hewan di Sinagar sangat banyak. Hewan liar seperti anjing liar, elang, ular, babi dan monyet bahkan banteng besar dipelihara di dalam kandang. Sementara itu sejumlah rusa dipelihara di padang rumput yang berpagar. Ratusan burung berbagai jenis dan warna juga ada di sana, termasuk burung beo jinak yang mengucapkan selamat datang.
Selain itu terdapat puluhan kuda yang menjadi kuda balap dan juga dipelihara dengan pejantan yang diimpor dari Inggris. Kuda-kuda ini memang digunakan Kerkhoven selain untuk pengangkutan, juga untuk kuda pacu sebagai kegiatan olahraga yang digemari kerkhoven selain berburu.
Sekitar 80 kuda yang dipelihara ini, terutama kuda balapnya yang terkenal, sempat menarik minat Pangeran Bernard, Duke of Saxony, serta Von Lerberstein, Pangeran Austria, untuk berkunjung ke Sinagar pada akhir Maret 1888.
editor’s picks:
Akhir tragis Si Tuku, kisah gajah yang pernah dipelihara di Nagrak Sukabumi
Jualan seblak, si cantik asal Nagrak Sukabumi ini omset usahanya Rp3 juta per hari
[3] Ada gajah di Sinagar
Fakta yang cukup mengherankan sekaligus mengagumkan adalah terdapat satu ekor gajah besar yang mengagumkan para pengunjung yang dinamai si Tuku. Ternyata berdasarkan ulasan Bataviaasch Niewsblaad dalam artikel bertajuk De Geschiedenis van de olifant te Sinagar, 14 Februari 1910, gajah tersebut dikirim oleh Gubernur Aceh Besar, Philip Franz Laging Tobias. Namanya diambil dari tokoh yang diperangi sekaligus dikagumi keberaniannya yaitu Teuku (Tuku) Cik Di Tiro.
Sayangnya pasca Kerkhoven meninggal tahun 1905, si Tuku ini sering mengamuk. Akhir hidupnya kemudian ditentukan oleh sebutir peluru karena membahayakan warga. Kisah tragisnya diulas di beberapa koran seperti De Preanger-bode pada tanggal 19 februari 1910 dan De Locomotief sehari sesudahnya dengan judul hampir sama: Si Toekoe die Brandal (Tuku Sang Berandalan). Hingga saat ini masih tersisa tempat pemandian gajah tersebut di sekitar sungai yang disebut Paragajen.

[4] Bangsawan-bangsawan Eropa yang berkunjung ke Sinagar
“Taman Surga di Timur” juga sempat menarik perhatian beberapa bangsawan Eropa. Wangsa Romanov, yaitu putra Mahkota Rusia, Nikolai Aleksandrovich (lebih dikenal dengan sebutan Nicholas II, sang kaisar terakhir) serta George II putra mahkota Yunani pernah berkunjung ke Sinagar saat melakukan lawatan ke Hindia Belanda pada bulan Desember 1890.
Dalam ulasan Strait Times Singapore dan Bataviaasch Nieuwsblaad terbitan 8 Desember 1890, disebutkan bahwa keduanya mengunjungi Sinagar dalam rangka merayakan Hari Neptunus. Hari Neptunus merupakan sebuah tradisi angkatan laut Rusia, di mana orang yang sudah melewati garis ekuator pertama kalinya, maka harus dirayakan dengan pesta. Pesta tersebut tidak boleh dilakukan di tempat biasa, tapi di “Taman Surga” yang merefleksikan kenyamanan sebagai ungkapan rasa syukur yang membahagiakan, dan Sinagar merupakan surga itu.
Selan itu, tokoh bangsawan Eropa yang pernah berkunjung juga adalah Pangeran Valdemar dari Denmark yang berkunjung pada bulan April 1900. Ada juga Frank G. Carpenter, seorang konsul asal Amerika Serikat yang bekunjung ke Sinagar sekitar Oktober 1901.
[5] Sinagar desa percontohan Jawa pada pameran di Chicago
Pembangunan fasilitas bukan satu-satunya upaya yang dilakukan Kerkhoven untuk membuat “Taman Surga.” Masyarakat Sinaga juga menjadi perhatian yang terus dikembangkan. Selain menjamin kecukupan penghasilan para pekerja di perkebunan, Kerkhoven juga membangun sekolah pribumi di Sinagar tahun 1884.
Dalam buku karya Prof. PJ Veth berjudul Scheten uit Insulinde disebutkan bahwa sekolah tersebut dibiayai sendiri oleh Kerkhoven dan disediakan guru-guru lokal yang mahir berbahasa Belanda. Sekolah tersebut sempat dikunjungi oleh pelukis terkenal bernama Mari Ten Kate dan diabadikan dalam bentuk gambar grafir dengan judul Inlandsche School in het Land Sinagar.
Untuk keperluan ekonomi, pasar juga dibangun di sekitar pabrik dan digunakan warga yang hampir semuanya adalah pekerja perkebunan. Perihal seni, setiap minggu digelar pentas teater dan Wayang Golek serta pentas musik tradisional seperti calung, tari dan gamelan untuk menghibur warga. Bagi para pelancong, hiburan warga ini menjadi tontonan tersendiri yang menarik. Para warga berbondong-bondong datang dari desa-desa sekitar dan nonton hingga menjelang pagi karena mereka libur.
Pangeran Valdemar yang berkunjung pada bulan Aprul 1900 sangat tertarik dengan budaya masyarakat Sinagar yang unik itu. Menurutnya, selain musik dan tari-tarian yang indah, pakaiannya bagus dan berwarna warni sangat menarik terutama ketika iringan para pemetik teh berjalan beriringan diantara rerimbunan daun teh.
Smentara itu, Frank G. Carpenter memandang masyarakat Sinagar sangat sejahtera. Mereka hidup layak dengan gaji yang cukup. Tidak ada yang terlihat miskin atau kumuh. Perilaku masyarakat sangat santun dan hormat. Seolah tak merasakan stres dan hidup dengan indeks kebahagiaan yang tinggi. Rumahnya berudara terbuka dengan drainase yang baik. Air mengalir ke setiap rumah melalui pipa-pipa, peralatan rumah dan furnitur lengkap bahkan sudah dilengkapi listrik yang dihasilkan dari turbin.
Cukup beralasan jika kemudian Sinagar menjadi desa percontohan jawa (Java Villages) yang dibawa dalam pameran di Chicago tahun 1893, kemudian di Paris tahun 1899 dalam peresmian menara Eiffel dan peringatan revolusi Perancis, karena Sinagar adalah Surga di Timur. (*)