Musim kemarau yang telah berlangsung empat bulan terakhir mengakibatkan 374 desa yang tersebar di 171 kecamatan di 20 kota dan kabupaten di Jawa Barat mengalami kekeringan, termasuk di Kokab Sukabumi.
Gaess, gen XYZ Sukabumi, perhatian kalian belakangan pasti lebih fokus ke dua kejadian luar biasa, yaitu pertama, gempa bermagnitudo 6,9 skala richter (SR) yang berpusat di Banten yang berdampak ke Sukabumi, Jumat’(02 Agustus). Kedua adalah kejadian luar biasa blackout listrik yang terjadi pada Minggu tanggal 4 Agustus lalu.
Nah, jangan lupa kondisi luar biasa lain sudah semakin parah terjadi terutama di Jawa Barat, termasuk Sukabumi. Apa itu? Bencana kekeringan yang kabarnya bulan lalu (Juli) baru tercatat terjadi di 7 kota dan kabupaten (Kokab), kini sudah mencapai 20 Kokab. Berikut lima update teranyar tentang bencana kekeringan di Jabar, termasuk Sukabumi, yang dirangkum sukabumiXYZ.com dari berbagai sumber.
[1] Kekeringan di Jabar meluas, capai 20 Kokab
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar awalnya pada 9 Juli lalu, mencatat tujuh kota/kabupaten (kokab) di Jabar alami bencana kekeringan. Kini, per 5 Agustus 2019, BPBD memutakhirkan data dan menyatakan terdapat 13 kokab tambahan di Jabar yang alami bencana kekeringan. Sehingga total wilayah yang terdampak kekeringan di Jabar menjadi 20 kokab.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Jabar, Budi Budiman Wahyu, dalam keterangan tertulisnya menuturkan ke-20 daerah yang terdampak kekeringan tersebut ialah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Garut.
“Sisanya ada tujuh kota kabupaten yaitu Depok, Cimahi, Kota Sukabumi, Pangandaran, Banjar, Kota Bandung, dan Kota Bekasi belum terdampak kekeringan karena belum ada laporan dari daerah,” ujar Budi, Selasa (6 Agustus), seperti dikutip dari Antara.
Dari 20 kokab di Jabar yang terdampak kekeringan, dua daerah yaitu Indramayu dan Kota Tasikmalaya, pemerintah daerahnya sudah menetapkan status siaga darurat kekeringan.
[2] Sekitar 374 desa di jabar kekeringan
Secara total jika dilihat berdasarkan jumlah desa, musim kemarau yang telah berlangsung empat bulan terakhir mengakibatkan 374 desa yang tersebar di 171 kecamatan di 20 kota dan kabupaten di Jabar mengalami kekeringan.
“Wilayah yang paling terdampak adalah Kabupaten Cianjur. Di kabupaten ini 30 kecamatan terdampak. Sementara itu, untuk wilayah lahan pertanian yang terdampak paling parah di Kabupaten Indramayu,” kata Budi.
[3] Dampak kekeringan di Jabar
Budi lebih lanjut mengatakan, total luas lahan yang terdampak kekeringan di seluruh provinsi Jabar sementara ini mencapai 20.621,57 hektare (ha). Sementara itu, jumlah kepala keluarga (KK) terdampak kekeringan di Jabar sebanyak 166.957 KK. Sejauh ini, BPBD Jabar menyatakan telah menyalurkan bantuan air bersih sebanyak 1.799.100 liter untuk warga yang kekurangan air bersih.
editor’s picks:
Suhu udara capai 15o celcius, 5 fakta di Sukabumi dingin sampai menusuk tulang
Gunung Salak dan Gede berstatus waspada, ini 5 info gen XYZ Sukabumi mesti aware
[4] Gubernur akan bangun waduk
Di tempat terpisah, Gubernur Ridwan Kamil (RK) mengatakan, pihaknya terus memantau kondisi kekeringan di setiap daerah sejak dimulainya musim kemarau. Sejumlah langkah disiapkan termasuk langkah jangka menengah yaitu membangun waduk-waduk untuk mengatasi bencana kekeringan.
“Kami sudah kordinasi sama PUPR percepatan proyek skala jangka menengah yaitu pembangunan waduk-waduk. Ada negara yang hari ini tidak ada air karena saat hujan tidak ditampung jadi ada perbanyakan proyek-proyek penampungan air dalam bentuk waduk kita kebut termasuk yang di Citarum sekarang sudah pembebasan lahan,” kata RK seperti dikutip dari Antara.
Sementara untuk jangka pendek, pihak Pemprov mengaku sudah rapat dengan bupati untuk penggiliran pengairan. “Jadi air yang biasanya 100 persen wayahnya sawahnya secukupnya saja dengan komunikasi antar petani, ” ungkap RK.
[5] Bencana kekeringan di Sukabumi terus meluas
Bencana kekeringan yang melanda wilayah Sukabumi (kokab) sendiri memang kian meluas. Dalam satu bulan terakhir ini, dilaporkan sebanyak 17 kecamatan di Kabupaten Sukabumi mengalami krisis krisis air bersih akibat sumber air mengering. Inilah 5 kejadian miris yang harus dialami warga Sukabumi dalam mengatasi krisis air bersih, dirangkum Sukabumixyz.com dari berbagai sumber.
Warga manfaatkan air kubangan:Sebanyak kurang lebih 15 kepala keluarga (KK) yang bermukim di Kampung Gunungbuleud, Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, terpaksa harus memanfaatkan sebuah kubangan yang terletak di dalam hutan Cisarakan. Genangan air dalam kubangan tersebut berasal dari resapan pepohonan yang ada di kawasan tersebut. Sayangnya air dari kubangan tersebut tidak layak diminum karena berbau dan tidak jernih.
Membeli air seharga Rp75 ribu per tangki: Warga yang bermukim di empat perkampungan di Desa Tamanjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi harus menanggung beban baru untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejak dilanda musim kemarau ini, mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp75 ribu untuk air bersih sebanyak satu tengki atau sekitar 1.000 liter.
Mengandalkan air resapan pepohonan di hutan: Sebagian besar warga Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi harus mengandalkan air dari daerah resapan yang ada di dalam kawasan hutan di sekitar pemukiman warga. Air yang diperoleh dari dalam hutan tersebut digunakan untuk kebutuhan harian seperti minum, mandi, cuci dan kakus.
Menempuh jarak 2 km sampai mata air: Sekitar 400 KK di Kedusunan Cibungur dan Kedusunan Bojongmalang, Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi terpaksa harus mengambilnya langsung mata air yang berjarak hingga 2 km dari pemukiman.
Mengantre di sumur bor hingga lebih dari 5 jam: Di Kampung Panyairan, Desa Bojonggaling, Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, warga mulai berkurang setelah pemerintah daerah setempat membuat sumur bor dan pipanisasi. Mereka pun rela mengantre di sumur bor sampai 5 jam.