Sukabumi di masa lampu tak selalu identik dengan hal positif.
Sukabumi kini terus bersolek terutama mempromosikan pariwisata alam yang menjadi andalan, sebut saja Ciletuh Geopark, jembatan gantung di Situgunung, dan masih banyak lainnya. Maka, tak heran jika kemudian Sukabumi identik dengan keindahan alamnya yang membuat wisatawan dalam dan luar negeri berdecak kagum.
Namun demikian, Sukabumi di masa lampu tak selalu identik dengan hal positif. Di masa Orde Baru (Orba), kata Sukabumi pernah mempunyai konotasi negatif. Generasi X yang lahir tahun 70-80an mungkin pernah mendengar tentang istilah “disukabumikan.” Namun, gen Y dan Z mungkin belum tahu.
Ini dia lima fakta tentang istilah “disukabumikan” agar kalian tahu sejarah baik dan buruk daerah kalian! Lalu, kalian belajar dari fakta sejarah tersebut.
1. “Disukabumikan” maksudnya bukan diajak wisata ke Sukabumi lho, Gaess
Kata “disukabumikan” pada zaman itu bukan berarti diajak berwisata ke Sukabumi dan menikmati kue mochi atau menyantap sate marangi. “Disukabumikan” artinya mayat yang sudah dikarungkan dibawa petugas untuk dibuang ke laut lepas di Sukabumi Selatan. Itu cerita yang tersisa dari zaman Orba yang hingga kini tetap membekas.
Menurut Aan Franata dalam artikelnya tentang analisa teks media berdasarkan teori semantik dan hermeneutika, kata “disukabumikan” tersebut digunakan sebagai eufemisme (penghalusan makna) untuk kata dibunuh atau dihabisi.
Tapi mengapa harus kata sukabumi, ya? Rupanya dulu memang ada tahanan politik yang suka dikirimkan ke Sukabumi, namun tak pernah kembali lagi. Rupanya itu menjadi kebiasaan untuk menyebut tahanan yang “hilang.” Selain itu juga ada yang memahami “disukabumikan” maksudnya dimasukan ke dalam bumi atau dibunuh. Walllahualam!
BACA JUGA:
Ngeri Gaess, setiap bulan terjadi penganiayaan di Sukabumi, ini 5 faktanya
Januari-Mei, sepuluh warga Kabupaten Sukabumi ditangkap polisi karena 5 kasus ini
Horor, Gengs, Januari-Mei 2018, setiap bulan ada kasus gantung diri di Kabupaten Sukabumi
2. Tapol dan preman yang “disukabumikan”
Zaman dulu ada dua jenis kategori tahanan yang “disukabumikan,” yaitu tahanan politik (tapol) pelaku G-30 S/PKI (tahun 60-70an) dan preman-preman bertato di era tahun 1980an (tatkala ramainya penembak misterius alias petrus). Coba digoogle saja ya kalau mau tahu banyak tentang “petrus.”
Kabarnya, ide tapol “disukabumikan” berawal ketika aparat kala itu tak mempunyai cukup dana untuk memberi makan sisa-sisa anggota PKI yang ditahan. Saat itu ada yang mengusulkan untuk “disukabumikan” saja.
Sementara itu saat terjadi fenomena “petrus,” banyak preman bertato yang dibunuh tanpa pengadilan. Istilah yang digunakan saat itu juga “disukabumikan.” Biasanya preman dibunuh lalu ditinggali uang Rp.10 ribu di mayatnya. Katanya, uang itu untuk biaya penguburannya. Terdengar tidak manusiawi, namun itulah faktanya kala itu.
3. Korban prahara politik “disukabumikan”
Ada hal yang menyedihkan dari prahar politik zaman dulu. Banyak orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah juga menjadi korban sampai “disukabumikan.” Salah satu di antaranya adalah seorang pelukis bernama Trubus Soedarsono.
Menurut buku yang ditulis sosiolog kawakan LIPI, Hermawan Sulistyo (Kiki) berjudul “Palu Arit di Ladang Tebu,” pelukis Trubus yang bego politik disebutkan telah “disukabumikan.” Kiki menilai pelukis Trubus adalah korban prahara politik. Diperkirakan pelukis Trubus telah tewas pada tahun 1966. Padahal pelukis Trubus tidak menciptakan lukisan-lukisan bermuatan politik dan protes sosial.
Trubus, pelukis dan pematung. Karya-karyanya kebanyakan berupa lukisan penari Bali dan gadis berkebaya. Bahkan patung-patung buatannya berupa patung pahlawan yang dipajang di sejumlah kota. Salah satu karya patungnya dalah patung Jenderal Oerip Soemohardjo di Magelang. Lukisan-lukisannya sangat disukai oleh sang Proklamator. Banyak karyanya yang menghiasi dinding istana.
Karena kedekatannya dengan Lekra (organisasi seni binaan PKI), Trubus pun menjadi salah satu orang yang “disukabumikan” dalam gerakan penumpasan pemberontakan G-30 S/PKI.
BACA JUGA:
Dari Sukabumi sampai Cianjur dan buron 22 tahun, 5 fakta penjahat legendaris Eddy Sampak
Si Jampang urang Sukabumi bukan orang Betawi, ini 5 faktanya
4. “Dijiku-kecilkan”
Rupanya selain istilah “disukabumikan” ada juga istilah lain yang mempunyai arti kira-kira sama, yaitu “diJiku-Kecilkan.” Istilah itu diambil dari sebuah desa kecil bernama Jiku Kecil yang terletak di Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Kata “jiku” terkadang juga dilafalkan sebagai jigo, jigu, ciku, ciko oleh orang setemp at Namlea yang artinya sudut atau tanjung. Jiku Kecil terletak di tepi Teluk Kayeli, kira-kira 4 km di utara Namlea, ibukota Kecamatan Buru Utara.
Dahulu di Jiku Kecil terdapat tangsi dua kompi pasukan Kodam Pattimura, yang satu pagar dengan unit transito. Unit ini merupakan tempat perhentian sementara buat tapol yang baru tiba dari pulau Jawa (di zaman penumpasan PKI), sebelum mereka digiring ke unit-unit pedalaman yang terletak bertebaran di lembah Wai Apo.
Pada tahun 1972, unit transito Jiku Kecil berubah menjadi tempat isolasi khusus bagi tapol “kepala batu” yang bisa ditembak mati begitu saja. Itulah saat istilah “dijikukecilkan” muncul. (sumber: buku “Kamus Gestok” penulis Hersri Setiawan).
5. Istilah “disukabumikan” masih digunakan sampai kini
Sayangnya, istilah negatif “disukabumikan” sampai kini masih dipakai, padahal sudah tidak tidak kontekstual. Sebagai contoh, berita di sripoku.com tertanggal 20 Oktober 2016 memuat judul, Begal Besar Sudah “Disukabumikan.”
Jika membaca beritanya, kata “disukabumikan” diungkapkan oleh Kapolda Sumsel, Irjen. Pol. Joko Prastowo. “Begal besar sudah kita Sukabumikan, yang kecil kita kasih cendramata. Namun topik saat ini terkait reformasi hukum, khusus di internal Polri,” katanya.
Bagi kita orang Sukabumi, bisa jadi istilah negatif itu agak mengganggu, walaupun fakta tak mendukung istilah itu saat ini. Sukabumi kini adalah daerah yang terus bersolek mempercantik diri, tidak ada mayat-mayat yang dibuang di Sukabumi. Sukabumi aman, nyaman, dan layak kunjung oleh siapapun. Betul gak, Gaess? (dari berbagai sumber)