*The previous chapter:#FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 6): Rencana misi pertama
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
“APA?” Alice, Brian dan Kevin serentak berseru.
Grace terkejut, lalu melayangkan protesnya. “Tunggu! Baboon, apa kau sudah gila? Aku yang memimpin? Kau membuat lelucon yang tidak lucu, kau tahu?”
Grace memiringkan wajahnya seraya mengangkat sebelah alisnya. Wajahnya menyiratkan bahwa ia merasa dipermainkan.
“Nak, itu keputusan kami berempat,” kata Einstein sambil memainkan rambutnya yang berantakan dengan kedua tangannya. Matanya tak lepas dari sosok Grace. Baik Alice, Brian dan Kevin terdiam tak dapat memprotes keputusan itu. Baboon tersenyum sinis.
“Apa kau masih berpikir kau yang terbaik, Alice?” Baboon mencondongkan tubuhnya. Alice semakin menunduk.
Tiba-tiba Kevin maju dan bertanya pada Baboon. “Apa ada alasan khusus kenapa dia yang dipilih?” Kevin menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
“Apa kau ingin mendengarnya?” tanya Fang spontan, matanya bertemu dengan mata Kevin. Mereka saling memandang seolah tak berkedip.
“Iya, aku ingin tahu alasannya. Aku harap, kalian memiliki alasan yang bagus untuk itu,” Kevin menjawab tegas. Baboon dan Einstein tertawa.
“Sebaiknya kau jawab dia, Fang. Brian dan Alice juga pasti aamat sangat penasaran,” Baboon menengok ke arah Fang yang terlihat menghela napas panjang.
“Akan kujawab dengan jujur,” ucap Fang. Matanya menatap Kevin dengan tajam. “Kami memilih Grace karena dia tidak tahu apa-apa.”
Jawaban singkat Fang membuat Kevin, Alice dan Brian saling pandang. Grace mengerutkan keningnya. Tiba-tiba Nerd yang sedari tadi tidak diam akhirnya angkat bicara.
“Ini bukan tentang siapa yang sudah berpengalaman atau belum. Juga bukan tentang siapa yang terbaik. Kami memilih Grace, karena memang dia patut dipertimbangkan. Dia tidak tahu apapun tentang Shadow. Tapi dia tetap maju dan mengajukan diri untuk ikut dalam misi menembus pertahanan Shadow. Itu membuatnya memungkinkan untuk bertindak sesuai naluri.” Kata-kata Nerd membuat keempat muridnya berpikir lagi. Kali ini Baboon bangkit dan maju menghampiri Alice.
“Alice, kau pernah memimpin tim ini untuk menembus pertahanan pertama Shadow. Tapi kau gagal. Apa kau ingat? Tiga temanmu yang lain tewas karena keteledoranmu,” kata Baboon sambil memandnag tajam Alice.
“Itu bukan salahku!” sergah Alice. “Mereka yang tidak menuruti apa yang yang ku katakan! Kau tahu itu! Benar, kan?” Alice memandang Brian dan Kevin meminta dukungan. Namun Brian dan Kevin menunduk tak bergeming. Alice mendengus dan membuang muka.
“Kau harus bisa introspeksi dirimu. Aku diam karena ingin melihat adanya perubahan darimu. Tapi ternyata, kau tetap tidak berubah.” Baboon berbalik, lalu duduk di kursinya lagi. Einstein tertawa lagi, kali ini dia bangkit dari kursinya lalu berjalan mondar-mandir di hadapan Baboon. Namun tak lama, ia berjalan ke arah Grace, berdiam di hadapannya, lalu berkata dengan serius.
“Nak, Shadow memiliki tujuh lapis pertahanan, dan yang aku tahu, orang yang kau cari ada di lapisan terakhir. Kabar baiknya, jika kau mampu melewati pertahanan dasar mereka, maka kau akan dengan mudah masuk ke level selanjutnya. Apa kau yakin kau sanggup melalui ini?” mata Einstein menatap Grace dengan lekat.
“Tentu saja aku yakin,” jawab Grace mantap.
“Aku tidak tahu seperti apa pertahanan Shadow itu, tapi tidak ada salahnya mencoba. Lebih baik mencoba, daripada tidak sama sekali. Lebih baik aku mati dalam perjuanganku, daripada harus kalah sebelum bertanding.” Grace balik menatap Einstein dengan tajam dan penuh tekad. Einstein terbahak, Baboon mengangguk seraya tersenyum. Sementara Nerd dan Fang mengacungkan jempolnya.
“Aku suka semangatmu,” Einstein menepuk bahu Grace. Wajahnya begitu serius, tidak seperti kakek tua gila yang selama ini dilihatnya. “Lakukan yang terbaik. Akan kujelaskan detail misi kita kali ini di labku. Dan kau Alice, jika kau merusaknya lagi, kau akan tamat!” Einstein menatap tajam ke arah Alice yang terlihat menggeretakan giginya.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Ash Lee Soon
“Aku tahu, aku tidak akan melakukan kesalahan lagi kali ini,” ucap Alice, wajahnya menunduk. Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri.
“Bagus,” Baboon berkata seraya menepuk tangannya tiga kali. “Sekarang, kita akan membahas detailnya di lab Einstein. Kami tunggu kalian di sana.” Baboon, Fang, Nerd dan Einstein bangun dari tempat duduknya dan beranjak pergi. Hanya tinggal empat orang yang tersisa di dalam ruangan itu: Grace, Alice, Brian dan Kevin.
Brian berjalan mendekati Grace, lalu menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. “Selamat bergabung dengan kami. Semoga kita bisa bekerja sama,” ucapnya seraya tersenyum.
Grace menyambut uluran tangan itu, dan balas tersenyum. “Mohon bantuannya,” ucapnya tulus.
Kevin ikut mendekat dan berjabat tangan. Alice terlihat tidak peduli, ia memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Namun Grace menyusul, lalu menepuk pundaknya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian di masa lalu. Yang pasti, aku ingin kita bekerja sama. Aku yakin kita memiliki tujuan dengan jalan yang sama. Kau pernah memimpin tim ini, aku yakin kau memiliki banyak pengalaman dalam strategi. Karena itu, aku mohon bantuanmu,” ujar Grace mengulurkan tangannya.
Alice nampak ragu, ia melihat ke arah Brian dan Kevin, hingga akhirnya Alice menyambut uluran tangan Grace. “Baiklah. Kita bekerja sama, kapten,” ucap Alice seraya tersenyum.
Grace merasa puas. Mereka berjalan menuju lab Einstein beriringan, kekakuan mulai mencair. Namun sesuatu yang besar telah menunggu mereka.
***
Di suatu tempat, di markas Shadow, Si Pria bertato ular alias Anonymous memainkan sebilah pisau di tangan kanannya, matanya menatap foto sesosok wanita yang tertancap di sebuah papan besar yang berisi puluhan foto lainnya. Ia terus memandangi sosok di dalamnya dengan tatapan marah.
“Kali ini, semua akan berakhir, Brigith!” Anonymous melemparkan pisau itu hingga menancap di bagian tengah foto itu. Ia mengerang keras, meraung laksana seekor harimau yang sedang marah. Di papan itu, tepat di tempat pisau itu menancap, terlihat gambar sosok Grace yang sedang mengenakan jas putihnya tersenyum menatap ke arah kamera. Sepertinya Anonymous menyadari satu hal, Grace adalah ancaman untuknya.
(To the next Chapter)