Cerpen karya: Anisa Siti Rizkia
“Kita kena sawan manten!!” Dimas berteriak mulai putus asa, sementara hatiku berteriak lain; “Nadya!!!!”
Dimas mengetuk-ngetuk jemarinya di meja sambil sesekali memutar sendok di cangkir kopinya dengan malas, dahinya terlihat berkerut seperti sedang berpikir amat keras.
“Dim, udahlah jangan dipikirin terus,” aku mencoba membuka percakapan.
“Sarah, aku khawatir semuanya berjalan jauh dari yang kita semua harapkan.”
“Kamu khawatirin apalagi? Mitos itu?”
“Lha emang aku mesti pikirin apalagi?”
“Sayang, tolong deh pernikahan kita tinggal seminggu, apa mesti mundur karna hal begini?”
“Ak… Aku… Juga gak nyangka bisa sepanik ini, Sarah… Kamu sih ngoceh terus soal itu, aku jadi takut.”
“Lah, kamu yang bilang kan kalo kamu itu orang Sunda, jadi ya mitos yang asalnya dari keluargaku ya cuma berlaku buat keluargaku ‘toh? Jadi gak mungkin ngefek buat kamu ‘kan?”
“Mmm tapi.. Oya bentar, berarti hari ini kita terakhir ketemu?”
“Jadi kamu yakin mau ikut pingitan?”
Dimas terdiam sejenak, menarik napas sedikit dalam lalu menarik kedua telapak tanganku dan menggenggamnya.
“Aku cuma mau hormatin keluarga kamu, Sarah.”
“Uhh makasih Dim, Aku gak sabar hari itu terjadi.”
“Sebentar lagi sayang, satu kata merubah segalanya.”
Dimas menggenggam telapak tanganku semakin erat lalu mengecupnya lembut.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Kado dari mama
Malam masih kaku, suara jangkrik masih memegang kendali di telingaku. Rasanya sulit sekali untuk ikut terlelap di dalamnya. Berbeda dengan sahabatku Nadya yang tadi pagi jauh-jauh datang dari Manado hanya untuk menemaniku melewati masa pingitan, habis magrib saja Nadya sudah nyenyak tidur di sampingku, mungkin karena kelelahan habis perjalanan jauh. Sementara aku masih terjaga, memikirkan Dimas, sedang apa ya dia, besok hari pertama kami menjalani pingitan, artinya selama seminggu tak boleh bertemu satu sama lain, pasti rindu sekali.
“Sarah kok belum tidur sih…” Ucap Nadya lirih membuyarkan lamunanku.
“Ini juga mau tidur kok Nad, kamu lanjutin tidurnya gih.”
“Calon pengantin gak boleh kurang tidur loh, ntar nikahan wajah kamu gak bercahaya.”
“Iya Nad, bentar lagi tidur kok.”
“Kamu mikirin apa sih, Sar?”
“Hmm, Dimas.. Dia jadi fanatik banget sama mitos, padahal sebelumnya dia nyangkal abis-abisan dan bilang mitos yang pernah keluargaku bilang itu cuma buah hasil pemikiran orang yang gak terbuka.”
“Mitos apa Sar ? Pingitan?”
“Bukan Nad, tapi Sawan Manten.”
“Oya, aku tau Sar… Itu semacam kutukan yang bikin acara pernikahan berantakan ‘kan?”
“Iya Nad, lebih parahnya lagi kutukan berupa musibah.”
“Iya Sar, aku pernah denger tentang itu dari pernikahan Arya yang batal dengan tragis karna kecelakaan yang jadi penyebab Arya sekeluarga tewas dalam perjalanan sebelum sampai ke rumah mempelai wanita, terus tentang pernikahan Widya yang kabarnya dihinggapi Sawan Manten karena gak ada satu orangpun undangan yang datang.”
“Iya Nad, Dimas panik tentang itu… Dia takut pernikahan kita hancur karena kutukan Sawan Manten.”
“Loh, Sawan Manten ‘kan ada sebabnya Sarah… Misalnya karma, dendam, atau karena pihak salah satu calon pernah berbuat hal buruk yang mendatangkan bala.”
“Kamu kok tau Nad, aku aja yang asli jawa gak pernah cari tau tentang itu.”
“Jaman sekarang apa sih yang gak bisa dicari tau Sar.”
“Ya, tapi sejatinya Sawan manten itu Cuma mitos yang berkmbang kan Nad, takdir Tuhan di atas segalanya.”
“Iya Sarah, kamu tenang aja… Mudah-mudahan gak akan terjadi apa-apa sama pernikahan kamu dan Dimas, udah mending sekarang kita tidur yuk, besok kan kita harus ke salon buatperawatan kamu.”
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Ash Lee Soon
Hari pernikhan hampir tiba, semua anggota keluargaku sibuk mempersiapkan acara siraman dan pengajian yang akan berlangsung nanti sore, aku ikut adat sundanya Dimas, melangsungkan prosesi siraman satu hari menjelang pernikahan dan di hadiri keluarga terdekat, beberapa kerabat juga tetangga.
Dari balik tirai kulihat Nadya sedang ikut memasak, Ia sama sibuknya dengan ibu dan keluargaku yang tengah bekerja keras membuat jamuan untuk para tamu nanti, dia memang gadis yang sangat baik, meskipun pernah ada kenangan buruk yang menimpaku dan Nadya, tapi Nadya sepertinya sudah mengubur dalam dan melupakan semua itu, dia memang sahabat terbaikku.
Sore tengah tiba, tamu undangan mulai berdatangan untuk menyaksikan proses siramanku dan setelahnya dilanjutkan dengan pengajian, rasanya kakiku gemetar, masih tak percaya pernikahanku hampir tiba, Dimas yang tiga tahun ini kupacari akhirnya meminangku dan esok kami bersatu di pelaminan, aku sangat bahagia.
Aku duduk di meja rias, melihat bayanganku di cermin. Aku merasa sangat cantik dengan kemben sarung yang melilit di tubuhku, rambutku tergerai menutupi bahu, tinggal memakai bando yang terbuat dari bunga melati aku siap melakukan siraman, dari cermin kulihat pintu kamarku terbuka, ibuku masuk membawa sebuah baki.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: I have selulit, so what?
“Bandonya dipasang dulu nak, ibu pakaikan ya,” ibu mengusap kepalaku lalu memasangkan bando melati.
“Iya Bu, maturnuwun,” jawabku haru.
“Sarah.. Seperti mimpi saja besok kamu jadi pengantin, rasanya baru kemarin ibu menguncir rambutmu, menyuapi sarapan lalu mengantarmu sekolah.”
“Ah ibu…” Aku membalikkan badan lalu mrangkul ibuku.
“Kalo temanmu Nadya kapan mau nyusul ndok? Dia sudah punya calon?”
“Sudah bu, katanya orang sukabumi, seorang guru lho.”
“Walah, seneng ibu dengernya. Oya bukannya calon suamimu itu dulu juga pernah pacaran sama Nadya ya?”
“Sudah lewat bu, itu masa lalu kita waktu sekolah dulu, namanya juga ABG, rebut-rebutan pacar sudah biasa.”
“Iya, tapi dulu kalian pernah bertengkar lama sekali juga gara-gara itu kan?”
“Ah ibu, itu kan dulu, sudah lama sekali, Nadya dan aku sudah lupain itu kok.”
“Iya ndok, wong Dimas memang jodohnya sama kamu toh?”
“Iya bu.. Nadya juga sudah lama lupain semua itu kok.”
Aku kembali memandangi wajahku di cermin, riasanku sudah sempurna, aku siap mengikuti siraman lalu pengajian bersama para tamu, Dimas selangkah lebih dekat menjadi suamiku, ya Tuhan suara-suara cinta seakan bersorak semakin ramai di hatiku.
Aku melangkah menuju teras rumah di mana sebelum siraman, tradisi Bleketepe lebih dulu dilangsungkan yaitu dengan memasang anyaman daun pisang di langit-langit pintu utama rumah oleh ayahku, lalu pemasangan tuwuhan seperti padi-padian dan pisang. Setelah rangkaian proses itu selesai, barulah aku digiring menuju kendi siraman di mana di sana sembilan anggota keluargaku tengah menunggu sesuai dengan adat jawa yang mengharuskan pengguyur siraman berjumlah ganjil, suasana khidmat seketika mengharu biru, selangkah lagi. Selangkah lagi.
Bunyi petasan begitu ramai menandakan Dimas pengantinku sudah tiba, iring-iringan pmbawa baki seserahanpun tak kalah ramainya, aku berdiri di gerbang rumah bersama kedua orangtuaku yang bersiap mengalungkan bunga melati untuk calon menantunya, senyuman terukir jelas di wajah Dimas, selangkah lagi.
Sejak tadi pagi aku tak melihat Nadya, padahal sebentar lagi akad nikahku mulai, tinggal menunggu tamu undangan berdatangan, mungkin Nadya masih berdandan pikirku, aku kembali membetulkan posisi duduk, mengatur napas agar terlihat tenang di hadapan penghulu.
Aneh, hampir satu jam tamu undanganku belum rampung, mungkin masih bisa dihitung dengan jari, tetangga dekatku pun belum Nampak, aku gelisah begitupun dengan Dimas. Sementara di depanku sang penghulu terlihat mulai kegerahan, aku semakin gelisah, tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara kerumunan orang begitu ramai, di antara mereka terdengar berteriak setengah menghardik, keluargaku dan keluarga Dimas terlihat sangat terkejut lalu kami brhmburan keluar rumah memastikan apa yang terjadi.
“Gimana nih warga keracunan gara-gara makan besekan dari sini kemarin” Seru seorang warga.
“Iya, saya sekeluarga harus dirawat di rumah sakit nih!” Seru warga yang lain.
Aku semkin panik, mengapa mereka keracunan? Ya Tuhan warga mulai agresif merusak riasan di depan rumahku, menendang meja penjaga tamu dan merusak gapura bertahta melati serta mengobrak-abrik kursi tamu yang sudah ditata rapi. Aku melihat ayah Dimas mulai geram, calon mertuaku itu lalu menarik Ibu Dimas untuk pulang meninggalkan rumahku, meninggalkan pernikahan kita yang belum sempat dimulai.
“Kita kena sawan manten!!” Dimas berteriak mulai putus asa, sementara hatiku berteriak lain; “Nadya!!!!”