*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 16): Kematian misterius Arlos Birsch
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
Mobil Grace melaju dengan pelan, ia sengaja mengurangi kecepatan karena merasa dibuntuti. Matanya menatap ke belakang melalui kaca spion. Sebuah mobil berwarna hitam mencoba menjaga jarak dari mobilnya.
“Sepertinya kalian ingin bermain, preman receh,” Grace tersenyum geli. “Baiklah, kita cari tempat untuk bersenang-senang. Kebetulan sekali aku ingin berolah raga.” Grace melajukan mobilnya dengan sangat cepat menuju sebuah tempat parkir sepi dekat Madison Ave. Mobil hitam itu terus melaju mengikuti Grace, hingga akhirnya mereka sampai di tempat yang jarang ‘dikunjungi’ orang. Grace mematikan mobilnya, lalu berjalan ke luar. Mobil hitam itu turut berhenti, lima orang pria keluar.
“Sepertinya kalian sudah bosan hidup,” ucap Grace. Tangannya mengeluarkan sepasang sarung tangan hitam dari dalam sakunya. Ke lima orang itu tertawa terbahak. Si pria berambut punk dan pria brewok membawa sebuah tongkat bisbol, sementara tiga lainnya membawa tongkat besi.
“Hahaha, bukankah sebaliknya, Nona? Sayang sekali, kami tidak bisa bermain-main dulu denganmu. Padahal kau memiliki tubuh yang bagus,” sergah pria dengan tangan kanan penuh tato sambil maju mendekati Grace dengan tampang mesumnya.
“Jadi, kalian ingin mengajakku bermain bisbol? Maaf. Aku lebih suka bermain tinju!” Grace melayangkan sebuah tinju pada si pria bertato hingga pria itu tersungkur jatuh. Keempat temannya yang melihat itu langsung maju bersamaan. Mereka menyerang secara membabi-buta. Grace hanya berusaha bertahan dan menghindar. Beberapa kali tubuhnya terkena pukulan hingga akhirnya, sebuah pukulan mendarat tepat di pipi kirinya. Rasa sakit membuatnya jatuh berlutut. Pandangannya terasa sedikit berputar. Samar-samar Grace mendengar suara tawa preman Harem itu. Ia berusaha menguasai diri. Dan sepertinya kemarahan mulai menguasai pikirannya.
“Sial! Kenapa kau memukul wajahku? Kenapa harus wajahku?!” Suara bentakan Grace membuat kelima pria itu terkejut. Grace bangkit dengan sedikit terhuyung.
“Kau masih bisa bangun?” ujar si pria bertato terkekeh seraya mendekat.
“Kau akan menyesal karena telah memukul wajahku bedebah!” Grace maju dan mulai menyerang. Ia mengeluarkan sebuah liontin dari sakunya, lalu menarik ujungnya. Terlihatlah sebuah kawat tipis, kelima preman itu sedikit kewalahan dengan serangan Grace yang cepat dan tepat. Mereka berusaha menyerang kembali dengan lebih brutal, berkali-kali Grace berusaha menahan serangan mereka dengan menggunakan kawat itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menggunakan senjata lain miliknya. Ia memasukkan liontin itu kembali ke dalam kantong. Kali ini, Grace tersenyum seraya menahan sebuah pukulan dari tongkat besi.
“Kau cukup mahir ternyata,” ucap pria kurus bergigi hitam.
“Tentu. Tapi, tahu kah kau? Besi adalah konduktor yang baik,” ucap Grace seraya menghindari serangan lain dengan tetap memegang tongkat itu. Si pria gigi hitam sedikit bingung.
“Apa maksudmu?” tanyanya. Grace tersenyum sinis seraya menekan tombol kancing pada sarung tangannya.
“Ini maksudku.” Saat tombol itu ditekan, tubuh si Pria gigi hitam bergetar hebat, bola matanya menatap keatas hingga yang terlihat hanya bagian putih saja. Keempat temannya yang melihat hal itu sedikit terkejut. Mereka lalu menyerang Grace kembali dengan mengepungnya. Grace menarik tongkat besi dari si gigi hitam yang kini terkapar tak bernyawa di lantai karena sengatan listrik tegangan tinggi dari sarung tangannya.
BACA JUGA:
“Sial! Energinya langsung habis!” umpat Grace.
“Kurang ajar!” ucap si pria bertato. Ia berusaha memukul kepala Grace dengan tongkat besi milikinya, namun Grace mampu menahannya. Mereka saling berjibaku, menyerang dan bertahan. Fisik para preman itu ternyata tidak sebagus yang Grace pikir. Mereka sudah terlihat kepayahan walaupun hanya beberapa menit mereka bertarung. Grace mundur sesaat.
“Kalian payah. Ini menyebalkan! Baiklah, bagaimana jika kita akhiri saja sampai disini?” ucap Grace. Para preman itu saling memandang, lalu memutuskan untuk menyerang bersamaan. Dan saat itulah Grace dengan tongkat besi ditangannya membuat mereka babak belur hingga tak berkutik. Pukulan demi pukulan dilayangkannya dengan cepat dan akurat. Dan keempat preman itupun akhirnya tumbang dengan tubuh lebam dan berdarah. Grace mengatur napasnya yang mulai tersendat. Ia sedikit lelah, lalu terduduk di lantai. Ia menyentuh pipi kirinya yang terkena pukulan tadi,
“Brengsek! Pipiku memar! Dasar preman sialan! Aargghhhh! Bagaimana aku menutupi ini?” Grace meraung kesal. Ia lalu bangkit dan berdiri. Berjalan dengan lemas ke arah mobilnya. Ia membuka pintu mobil itu, lalu duduk dengan jengkel. Ditatapnya memar biru di pipinya. Ia mendesah. “Mom, bagaimana caranya kau menghindari pukulan di wajah? Argh! Ini membuatku frustasi!”
Grace melajukan mobilnya dengan kesal dan meninggalkan para preman itu terkapar tak berdaya di parkiran itu. Mobilnya terus melaju cepat menuju rumahnya. Dan dengan insting yang kuat, disadarinya, sebuah mobil van warna putih mengikutinya dari belakang.
“Apa lagi ini? Jadi, kalian ingin bermain kucing-kucingan denganku? Baiklah. Jika dalam hitungan. Dua puluh kalian bisa mengejarku, aku akan berhenti dan menemui kalian. Tapi jika tidak… Itu nasib kalian.” Grace berbicara sendiri dalam hati. Ia menginjak gas dalam-dalam, mobilnya melaju dengan sangat cepat. Dengan tangkas ia terus melaju dengan mulus, dari Madison Ave, berbelok di Fifth Avenue, lalu mempercepat lajunya lagi di belokan Starbucks di jalan Ninth Six.
Ketangkasan Grace dalam mengendarai mobil cukup bagus, mobil Van putih itu tertinggal jauh. Grace sampai pada hitungan dua puluhnya. Ia menghela napas lega. Dibawanya mobil itu menuju rumah utama.
Namun di tengah jalan, sebuah mobil Alphard menyalipnya dengan cepat, dan berhenti tepat di depan mobilnya. Grace terpaksa menginjak rem secara mendadak. Seseorang dari dalam mobil itu keluar dengan santai. Grace terpaku, ia memukul stir mobilnya dengan keras. Sosok yang keluar itu tersenyum padanya. Grace memandangnya dingin.
(To the next chapter)