Kematian Cece Subrata menjadi misteri hingga kini, yang jelas hingga akhir hayatnya ia tidak pernah menyerahkan diri ataupun tertangkap.
Baca juga:
Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 2)
Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 3)
Wilayah Jampang yang bergunung-gunung serta rimbun dengan hutan menjadi tempat ideal Cece dan pasukannya untuk bergerilya melawan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Dengan kepiawaian Cece dalam strategi perang serta pengaruhnya yang luas, pertarungan itu menjadi sangat panjang dan melelahkan. Militansi para pendukung Cece sangat kuat sehingga awalnya TNI sulit membongkar pertahanan pasukannya.
Bagaimana akhir dari perlawanan Cece dan para pengikutnya? Simak bagian akhir dari tulisan berseri ini ya, Gaess!
Kekacauan semakin menjadi di Pajampangan
“In 1951 the Bambu Runcing group of Sukabumi even threatened to massacre all Islamic ulamas during the Fast,” tulis C. (Kees) van Dijk dalam bukunya berjudul Rebellion under the Banner of Islam.
Meskipun pembantaian ulama tak sepenuhnya terjadi, namun banyak masyarakat yang kena dampak kekacauan ini. Misalnya saja dalam berita Java Bode tanggal 12 Desember 1951 di Jampangtengah, seorang ustad diserang dan rumahnya ditembaki. Di Purabaya dua orang terbunuh dan di Nyalindung kendaraan-kendaraan barang dicegat dan ditembaki.
Tak hanya masyarakat biasa, di Pasir Gabig Cikembar, sebuah mobil yang ditumpangi administrator perkebunan Mandaling (Van Beekom), tiga orang pasukan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia sesudah kembali ke negara kesatuan), penjaga desa dan seorang pekerja, diberondong peluru. Satu tewas dan lainnya terluka parah. Polisi yang datang memberi bantuan juga diberondong peluru sehingga mengakibatkan satu polisi tewas dan dua lainnya.
Van Dijk dalam bukunya bahkan menyebutkan bahwa Cece berhasil membentuk masyarakat koperasi dan lumbung padi desa bersama, kemudian mengerjakan ladang bersama dengan imbalan makanan. Hal ini senada dengan kesaksian Kamal (baca:
Kisah Bambu Runcing Berlumur Darah dari Pajampangan (Part 1) ), “Di wilayah-wilayah pengaruhnya seperti Bojongkalong, Surade, Padabeunghar, Cece sangat dihormati. Kapan saja dia datang pasti disiapkan makanan, karena memang anggota pasukannya sebagian besar adalah muridnya sendiri yang dia bawa berperang saat masih bersekolah,” ujar Kamal.
Kamal juga menyebutkan bahwa strategi perangnya dipelajari dari ilmu perang leluhur. ”Pak Cece itu jago menghilangkan jejak dan juga ahli mengendus jejak. Dia mengetahui sudah berapa berapa lama jasad tewas. Selain itu, dia punya bahasa sandi BR dan juga kode morse menggunakan supa lamur (jamur yang bisa menyala di malam hari),” ujarnya.
Cece kukuh dengan prinsipnya
Hal berbeda tercantum dalam buku Propinsi Djawa Barat, disebutkan bahwa Cece mempengaruhi masyarakat melalui brosur-brosur GERPOLEK (gerilya politik dan ekonomi) karangan Tan Malaka. Bahan yang dipakai adalah Madilog yang merupakan buah tangan Tan Malaka.
Terlepas mana yang benar, area basis pasukan Cece di selatan Sukabumi memang cukup luas di antaranya kecamatan Sagaranten, Nyalindung, Lengkong dan Bojonglopang di daerah Jampang tengah. “Pokoknya ciri mereka di selatan itu memakai dudukuy laken (semacam topi koboy), jika saat itu bertemu pasukan dengan dandanan seperti itu di Sukabumi selatan, bisa dipastikan itu pasukan BR Cece Subrata,” ujar Kamal.
Sikap Cece yang dinilai sukar berkompromi, menyulitkan pemerintah untuk mengajaknya berdialog. Konon menurut Apih Yance (baca Part 1) pernah ada utusan pemerintah yang diwakili Adam Malik mengajaknya berunding, namun ditolak.
Upaya penumpasan laskar Cece makin digencarkan
Ekses dari konflik panjang itu tentulah sangat merugikan rakyat. Banyak rumah dibakar. Lumbung dijarah dan tak jarang masyarakat ada yang meregang nyawa jika diketahui membantu pasukan TNI. Korban yang jatuh pun tidak sedikit. Perekonomian menurun drastis karena perusahaan-perusahaan banyak mendapat gangguan. Media-media seperti Pikiran Rakjat banyak mengulas gangguan pasukan Cece terutama pada sektor pembangunan, misalnya saja 3 Januari 1953 supir truk perkebunan karet Sindu Agung, diculik dan dibunuh dan keesokan harinya sebuah truk di Bojong Jengkol dibakar.
Untuk memulihkan keamanan bupati Sukabumi kala itu, Suria Hudaya dan jajarannya melakukan rapat-rapat penerangan ke masyarakat sebagai operasi politik untuk melihat kesetiaan masyarakat kepada pemerintah. Lokasi safarinya di antaranya Sagaranten, Cipamingkis, Cidolog, Rambay, Tegalbuleud, Bangbayang hingga ke kampung Panginuman.
Menjelang akhir Desember 1953, TNI semakin ofensif mengepung pasukan pasukan BR, dengan tujuan menyudutkan area perlawanan BR. Hasilnya segera terlihat, salah satu orang kuat Cece Subrata bernama Jaja Karson tewas oleh pasukan Siliwangi di Kampung Padaringan, Desa Cimerang, Jampang Tengah. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama tanjakan Karson.
Namun perlawanan Cece belum selesai. Memasuki tahun 1954, pertempuran semakin sengit terjadi. Pembersihan dilakukan oleh Batalyon 311 di beberapa wilayah kekuasaan BR yang berhasil menyita puluhan pucuk senjata. Semakin menyempitnya ruang gerak, menjadikan pasukan BR kesulitan bahan pangan, Maka penjarahan dan pembakaran seringkali dilakukan, misalnya pembakaran di Kampung Legok Nyenang dekat Pelabuhanratu.
Seringnya kejadian pembakaran dan pembunuhan ini menyebabkan kecaman dari masyarakat dan seketika muncul antipasti terhadap BR. TNI mendapatkan keuntungan dari sentimen masyarakat yang mulai berubah terhadap BR, Masyarakat kemudian dilibatkan dalam kegiatan menumpas BR.
Kamal melihat bahwa inilah kesalahan paling fatal Cece dalam perjuangannya. “Akibat pembakaran, pembunuhan dan penculikan terhadap masyarakat, banyak masyarakat yang marah dan sakit hati, jika sekarang disebut nama Cece Subrata, mungkin arwah-arwah yang sudah terbunuh akan hidup lagi,” ujarnya mengumpamakan.
editor’s picks:
Mengintip bekas persembunyian DI/TII di Goa Coblong, 5 fakta gen XYZ mesti tahu
Membuka catatan kelam DI/TII di Sukabumi, benarkah dilatarbelakangi persoalan agama?
Cece di-back-up Belanda?
Pertempuran terus berlangsung meskipun senjata BR sudah banyak disita oleh TNI. Kala itu muncul pertanyaan dari mana BR mendapatkan tambahan senjata dan amunisi mengingat peluru sulit diproduksi di Pajampangan. Isunya Cece di-back-up oleh NIGO (Nederlandsch Indies Guerilla Organisatie), organisasi gerilya mantan KNIL (tentara didikan Belanda di zaman penjajahan) yang hendak memberontak.
Salah satu indikasinya terungkap dalam pengadilan gerakan NIGO sekitar tahun 1955. Cece disebut-sebut telah ditunjuk pemimpin NIGO, Leon Nicolaas Hubert Jungschläger (baba: https://id.wikipedia.org/wiki/Leon_Nicolaas_Hubert_Jungschl%C3%A4ger) sebagai pimpinan dari batalyon 871 yang dijuluki SSS (Schmidt-Sungkawa-Subrata). Dugaan kuat dua nama terakhir adalah Achmad Sungkawa, tokoh DI/TII di Sukabumi dan Cece Subrata. Dua nama yang juga sangat dikenal di Sukabumi pada masa itu.

Pintu masuk Kantor Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Kami buka 24 jam.
Akhir perlawanan dan kematian Cece yang misterius
Selepas tahun 1956, kontak senjata TNI dengan BR semakin berkurang sebagai dampak dari didatangkan pasukan Brimob untuk membantu menumpas Cece dan pasukannya. Suatu saat markas Cece di Ciangsana yang dijaga oleh Amat Maulani (salah satu wakil Cece) diserang oleh Batalyon 311. Terjadi kontak senjata yang menewaskan beberapa anggota BR, Meskipun berhasil kabur namun markas Cece dibakar oleh TNI.
Cece terus berpindah-pindah dari satu persembunyian ke persembunyian lain. Namun TNI terus melakukan pengejaran. Markas lascar Cece di darah Cikidang dekat Bangbayang di bawah komando Pepe dan Sarjono juga diserang patroli TNI dan markasnya dibakar.
Lambat laun kekuatan BR mengecil dan wilayah kekuasaannya menyempit. Satu persatu anak buah Cece ditangkap atau tewas. Sebagian lagi menyerah dan senjata serta peralatan mereka disita. Namun demikian pasukan Cece masih eksis dan sesekali melakukan manuver. Misalnya, De nieuwsgier tanggal 6 Mei 1955 melaporkan penyerangan dan penjarahan terhadap pos militer Batalyon 311 di Ciguha (Ciracap) yang dilakukan oleh laskar BR.
Selepas itu, kontak senjata semakin jarang. Keberadaan Cece juga tidak diketahui. Hingga suatu hari di tahun 1960, seluruh anggota pasukan BR turun gunung namun tanpa Cece. Mereka menyatakan menyerah dan bersumpah setia kepada pemerintah Indonesia di lapangan BDOM (kantor Koramil Surade sekarang).
Lalu, bagaimana dengan akhir hayat Cece?
Beberapa sumber seperti Apih Yance dan Kamal menyebutkan bahwa Cece meninggal tahun 1959 karena sakit malaria di hutan Ciangsana (Leuweung Denuh) Jampang Tengah, dan dikuburkan oleh pasukannya tepat di Karet Buntung yang diapit dua sungai.
Namun mengutip informasi dari koran De nieuwsgier tanggal 11 Januari 1956 yang memberitakan tewasnya Tajudin, seorang pimpinan laskar BR di Karawang. Cece Subrata disebutkan sudah setahun sebelumnya (berarti tahun 1955) “dihilangkan” alias tewas dibunuh, menyusul kemudian kematian Tajudin.
Belum ada kejelasan apakah berita ini keliru, artinya saat itu Cece masih hidup hingga meninggal karena sakit pada tahun 1959 (seperti kata Apih Yance dan Kamal). Atau sebenarnya sudah tewas namun dirahasiakan oleh sebagian kecil anak buahnya supaya perlawanan terus berjalan (sampai akhirnya berhenti di tahun 1960).
Intinya, kematian Cece tetap menjadi misteri hingga kini. Satu hal yang pasti, hingga akhir hayatnya Cece tidak pernah menyerahkan diri ataupun tertangkap.
Demikianlah gen SukabumiXYZ, salah satu kisah heroik pejuang kemerdekaan dari Pajampangan-Sukabumi yang karena dinamika pergulatan politik di masa Revolusi Kemerdekaan, membuatnya mengakhiri akhir hayat dengan tragis dan justru mendapat cap “pengkhianat.”
Terlepas dari benar tidaknya Cece Subrata menjadi pengkhianat, satu hal yang pasti Gaess, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa-jasa pahlawannya.
Sampai jumpa di kisah sejarah Sukabumi lainnya ya, Gaess!